Wednesday, August 11, 2010

[65 Tahun Indonesia] Korupsi Kemanusiaan, Kemanusiaan yang Terkorupsi

-- Ahmad Arif

TAK seorang pun yang meragukan kekayaan negeri ini. Itu pula yang menggerakkan para penjajah dari Eropa silih berganti datang ke negeri ini. Demikian halnya tak seorang pun mungkin akan membantah bahwa sejak dulu kala korupsi telah merajalela dan menyengsarakan rakyat di negeri ini.

Untaian zamrud khatulistiwa, yang menggambarkan kekayaan alam yang terhampar sejak dari Pulau Rondo di barat Sabang, Aceh, hingga ke Merauke di Papua, memang tak terbantahkan. Akan tetapi, kenapa rakyat negeri ini masih tetap miskin?

Pertanyaan sederhana ini mestinya menggelitik nalar kita untuk kemudian mencari apa yang salah karena dari beberapa kali perjalanan menelusuri pelosok negeri ini senantiasa bertemu dengan kisah tentang rakyat yang gigih berjuang untuk hidup.

Jika bukan karena kemalasan rakyat, lalu apa?

Persekongkolan penguasa dan pengusaha korup patut menjadi tumpuan kesalahan atas kemelaratan rakyat di negeri kaya sumber daya alam ini.

Pengisapan dan korupsi memang dimulai sejak dulu kala, bahkan sebelum negara ini bernama Indonesia. Dalam catatan Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963), upaya Belanda meraih pasar dunia dilakukan dengan mempertahankan pribumi tetap pribumi. Sistem yang dikenal sebagai ekonomi mendua: pembangunan dengan mengisap pihak lain.

Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam, 1989) menyebutkan, di tingkat desa, pengisapan dilakukan pemilik tanah dan perangkat desa yang menjadi pemungut pajak dan mandor. Jawa menjadi perkebunan besar dengan aristokrasi pribumi dan elite desa yang korup, sebagai kaki tangan Belanda.

Boomgaard juga menyebutkan, citra Jawa pada awal abad ke-19 adalah kemiskinan dan kemandekan rakyatnya. Dan sebaliknya, kegemilangan para penguasa Belanda dan priayi pribumi.

Dua ratus tahun kemudian, gambaran suram itu tak beranjak pergi.

Bahkan, kini, semakin menegas dengan kesenjangan yang makin tinggi, dan gambaran tentang birokrat yang korup juga makin menguat. Kini, semua sendi birokrasi di negeri ini tak bebas dari korupsi. Bahkan, korupsi juga menjerat para penegak hukum, mulai dari pengacara, polisi, jaksa, hingga hakim.

Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) soal tren korupsi pada semester I-2010 menyebutkan, kalangan eksekutif menjadi aktor utama korupsi. Sebanyak 280 pejabat dari berbagai tingkatan menjadi tersangka korupsi (63,49 persen). Disusul pihak swasta sebanyak 85 orang yang menjadi tersangka korupsi (19.27 persen), lalu anggota Dewan sebanyak 52 orang yang jadi tersangka korupsi (11,79 persen).

Dan yang lebih mengkhawatirkan, korupsi telah menjadi suatu yang lumrah di negeri ini. Korupsi tak lagi memalukan. Nyatanya, para koruptor tak lagi risih memamerkan kemewahan yang mereka dapatkan dari korupsi kepada rakyat yang miskin, dan rakyat pun nyatanya tak menghukum para pejabat yang korup dengan memilih kembali para pejabat tersangka korupsi dalam pemilihan kepala daerah baru-baru ini. Artinya, korupsi telah menyusup ke dalam kebudayaan.

Lima incumbent (petahana) tersangka korupsi yang memenangi pilkada periode 2010-2015 itu adalah Bupati Rembang (Jawa Tengah) Moch Salim, Bupati Kepulauan Aru (Maluku) Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur (Lampung) Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan (Bangka Belitung) Jamro H Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin.

Korupsi dana sosial

Korupsi di negeri ini bahkan telah menjadi pukulan langsung terhadap kemanusiaan melalui tren korupsi terhadap dana yang seharusnya disalurkan kepada rakyat miskin. Penelitian oleh ICW menyebutkan, kasus korupsi yang paling sering muncul selama tahun 2009 adalah korupsi dana bantuan sosial (bansos) dengan total merugikan negara Rp 215.57 miliar.

Kasus dugaan korupsi pengadaan sarung, mesin jahit, dan sapi impor di Kementerian Sosial pada tahun 2004-2006, yang menyeret mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, juga menjadi contoh menarik bagaimana bantuan untuk rakyat miskin ternyata dikorup hingga senilai Rp 38,6 miliar.

Kasus lain adalah korupsi pengadaan alat kesehatan untuk 32 rumah sakit umum daerah di daerah tertinggal dan kawasan timur Indonesia pada 2003 sehingga merugikan negara hingga Rp 104,47 miliar. Mantan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi telah divonis dua tahun tiga bulan atau 27 bulan oleh Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, terkait kasus ini. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian menambah hukuman Achmad Sujudi menjadi empat tahun penjara.

Tak hanya melibatkan aktor dari pusat, koruptor di daerah ternyata tak kalah mengerikan. Bahkan, tren korupsi terbaru, korupsi paling banyak dilakukan terhadap dana keuangan daerah. Dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu contoh klasik bagaimana korupsi turut menyumbang kemiskinan, bahkan juga penderitaan rakyat.

Berdasarkan data dari Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT sepanjang 2009 terhadap 16 dari 21 kabupaten/kota di NTT, ada 125 kasus dugaan korupsi dengan total indikasi kerugian negara Rp 256,3 miliar. Padahal, dana sejumlah itu jika digunakan untuk melakukan intervensi pemulihan gizi buruk anak balita yang dalam 90 hari membutuhkan Rp 1,5 juta per anak balita bisa menjangkau sekitar 170.000 anak balita. Jumlah anak balita penderita gizi buruk di NTT mencapai 60.616 dari total 504.900 anak balita di sana.

Kejahatan kemanusiaan

Almarhum Prof Mubyarto dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, 1 September 2004, pernah mengatakan, kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan.

”Korupsi harus dianggap menghambat perwujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat,” kata dia.

Jika sudah begini, agaknya kategorisasi dari Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan perlu disikapi lebih serius. Misalnya, dengan menciptakan hukuman lebih berat terhadap para koruptor.

Namun, anehnya, ancaman hukuman berat buat terpidana korupsi justru diamputasi. Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor versi Agustus 2008 menghilangkan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto No 20/2001. Ayat tersebut secara tegas menyebutkan, koruptor bisa dihukum mati.

Bahkan, secara keseluruhan, semangat RUU yang saat ini menjadi prioritas Legislasi Nasional 2010 memang memberikan angin surga kepada para koruptor. Misalnya, Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor yang selama ini cukup digdaya menjerat koruptor justru dihilangkan. Akibatnya, banyak koruptor diperkirakan akan lolos dari jerat hukum jika pasal seperti ini tidak ada di RUU.

Ancaman pidana maksimal dalam RUU ini secara keseluruhan juga menurun.

Barangkali, kemanusiaan para penguasa negeri ini memang telah terkorupsi.

Sumber: Kompas, Rabu, 11 Agustus 2010

No comments: