-- Ibnu Wahyudi*
BUKAN sebuah kebetulan jika bentuk karya sastra modern tertua di Indonesia adalah puisi. Dibanding prosa maupun drama, secara alami, bentuk puisi memang berkemungkinan lebih dulu muncul. Bentuk seperti ini mudah diasumsikan, dikenal luas di dalam budaya suatu masyarakat yang masih lebih mengandalkan kelisanan atau masih belum mengenal baca-tulis secara merata.
Keringkasan dan selalu adanya formula dari sebuah puisi di masa seperti itu, paling tidak semenjak penyair-tunanetra Yunani bernama Homeros menciptakan Iliad dan Odyssey sekira 3.000 tahun lampau, memudahkan masyarakat pendukung sastra dalam mengucapkan, menerapkan, mempraktikkan, atau juga menghafalkannya. Tapi, yang terjadi dalam pelisanan puisi atau juga kisah prosaik lainnya, sesungguhnya bukan suatu penghafalan ketat dan lengkap. Aktivitas berkesenian itu lebih sebagai suatu penciptaan kembali secara spontan dan mungkin juga baru, dengan mengandalkan unsur-unsur bahasa yang berima maupun berirama.
Konvensi seperti ini melekat kuat dalam puisi bukan sebagai suatu pencapaian estetik tertentu dari pencipta atau masyarakat penghasil sastra itu tapi lebih sebagai semacam keotomatisan estetik atau kelisanan psikodinamis—meminjam isilah Walter J Ong—yang menjadi sarana atau jembatan. Kualitas bunyi, dengan begitu, sangat penting sebagai pemicu akan bunyi yang sama tanpa harus ”melihat” bunyi itu. Tidak ada yang dapat dilihat karena memang tidak ada wujud tulisnya. Dalam ungkapan Ong, ”They are sounds. You might ’call’ them back—’recall’ them. But there is nowhere to ’look’ for them.”
Kumpulan puisi tertua
Sajak-sajak modern tertua di Indonesia ini terkumpul dalam buku puisi berjudul Boek Saier Oetawa Terseboet Pantoen yang ditulis oleh Sa-Orang jang Bangsjawan tahun 1857, lebih dari 150 tahun lalu. Himpunan syair ini diterbitkan oleh Lange & Co di Batavia.
Khazanah perpuisian menjelang akhir abad ke-19 di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, memang sudah marak. Beberapa di antara buku puisi itu adalah karya Tan Kit Tjoan (Saier Boeroeng dan Saier Mengimpie, Batavia, 1882), karya Lie Kim Hok (Orang Prampoewan, Bogor, 1885), karya Boen Sing Hoo (Boekoe Sair Binatang, Semarang, 1889), karya Tjiat Abdul Karim (Sjair atau Pantoen aken Djoedoh Perak deri Bangsawan Ambon, 1865-14 Maret 1890, Ambon, 1890), karya Tan Teng Kie (Syai’ir Djalanan Krèta Api, Batavia, 1890), karya Tan Tjiook San (Sair Komedi Stamboel, Djokjakarta, 1893), dan karya Ang I Tong berjudul Inilah Pantoen Pelawanan Orang Panipi dan Pantoen Waktoe Kadatangan Prins Frederik Hendrik di Ambon dan Pantoen Kapitan Ambon Serta Lagi Terhoeboeng Pantoen Sedikit pada Menjoekaken Hati, Batavia, 1899).
Kenyataan bahwa bentuk puisi lazimnya mendahului bentuk prosa maupun drama, dengan mudah dapat disimak dari perjalanan kehidupan sastra di berbagai belahan dunia. Puisi bersifat universal, demikian simpul Sir Philip Sydney dalam The Defense of Poesie. Sementara Michael Alexander dalam A History of English Literature menjelaskan bahwa di Inggris, misalnya, Beowulf yang merupakan sebuah epik yang terdiri atas 3.182 bait, dianggap sebagai penanda awal keberadaan sastra Inggris kuna.
Begitu pun di Korea, bentuk puisi telah terlebih dahulu dikenal luas dalam masyarakat dibandingkan dengan prosa atau drama. Bentuk puisi yang disebut sebagai hyangga, yang muncul sekira 2.000 tahun lalu, merupakan khazanah awal dalam perjalanan sastra Korea sebelum kemudian dikenal bentuk puisi yang biasa dinyanyikan secara spontan dan luas oleh masyarakat dari generasi ke generasi yang melintasi masa ratusan tahun, yang disebut dengan ”sizo”.
Kesemua contoh ini merujuk pada kehidupan puisi dalam masyarakat yang masih terkungkung oleh kelisanan, masyarakat tradisional yang sisi kolektivitasnya banyak ditentukan oleh rujukan atau informasi bersama. Ketika aksara atau huruf mulai dikenal pun, seiring dengan mulai dibukanya sekolah atau lembaga pendidikan yang tentu masih sederhana, dapat diduga bentuk sastra yang formulaik sebagaimana puisi, yang mula-mula ditulis atau dipublikasi.
Dalam kaitannya dengan perubahan penjabaran puisi ini, dari semula lisan menjadi tertulis, ada sejumlah konsekuensi yang mau tidak mau mengikuti. Dalam tradisi lisan, bukan penghafalan yang terjadi, melainkan penciptaan kembali dengan pengingatan kepada formula, peribahasa, serta pepatah dan petitih. Aspek yang terdengar dalam kuasa lisan itu, telah mampu menempatkan diri sebagai pemersatu. Dicontohkan oleh Teeuw, dalam sekolah atau ceramah, ketika guru atau penceramah berbicara, hadirin, audience, bersama-sama terlibat dalam penghayatan atau penanggapan terhadap apa yang diceramahkan. Sedangkan dalam membaca, orang cenderung berada dalam kondisi terceraikan meski teks atau buku yang dibaca sama.
Penanda awal sastra Indonesia modern
Jika kemudian perhatian kita arahkan kepada genealogi sastra Indonesia modern, munculnya Boek Saier Oetawa Terseboet Pantoen ini jelas bukan sesuatu yang perlu diherankan. Yang barangkali akan dipersoalkan adalah pada label yang melekat, yaitu adanya istilah ”modern” di situ kendati istilah ini sudah banyak dimafhumi sebagai istilah yang selalu lentur dan tidak terlepas dari kontroversi. Dalam kaitan ini, kumpulan sajak ini dinyatakan sebagai karya ”modern” setidak-tidaknya terpicu pula oleh keberanian Teeuw yang secara tegas pernah menyatakan bahwa karya Hamzah Fansuri saja yang telah dibuat lebih dari 400 tahun lalu sudah dapat disebut sebagai ”melambangkan era baru dalam sastra” dan ”menunjukkan ciri khas kemodernan”.
Penegasan Teeuw bahwa karya Hamzah Fansuri merupakan bagian dari lintasan sastra Indonesia, juga merupakan suatu kenyataan bahwa dalam ranah ilmu-ilmu humaniora pada umumnya, penetapan seperti itu sangat dimungkinkan. Oleh kenyataan seperti ini, tidak pula mengherankan jika MC Riklefs pun berani menyatakan bahwa ”keindonesiaan” maupun ”kemodernan Indonesia” sudah layak disebutkan ada pada abad ke-13 kendati jelas nama ”Indonesia” sendiri pada saat itu belum ada. Dengan memberi judul pada bukunya sebagai Sejarah Indonesia Modern, yang terbit pertama kali pada tahun 1981, dari aspek peristilahan, apalagi kalau bukan suatu kebebasan dan sekaligus keberanian ilmiah yang ia terapkan?
Walaupun Teeuw atau Ricklefs sudah menyatakan bahwa kemodernan Indonesia layak dinyatakan ada sejak abad XIII atau abad XVI itu, penegasan akan kemodernan sastra Indonesia dalam tulisan ini tidak sama dengan pendapat kedua ahli itu. Kemodernan yang dipakai sebagai landasan dalam tulisan ini cenderung mengikuti pendapat Sapardi Djoko Damono ketika membicarakan sejumlah novel Jawa yang terbit tahun 1950-an dalam disertasinya, bahwa kemodernan tersebut bertumpu pada ”dipergunakannya huruf Latin dan disebarluaskannya dalam bentuk tercetak dan tidak secara langsung berkaitan dengan pandangan atau sikap hidup yang tersurat dan tersirat di dalamnya”.
Penetapan kumpulan puisi ini sebagai karya terawal, mengikuti kriteria yang intinya berdasarkan kriteria adanya nama pengarang, ditulis dengan aksara atau huruf Latin, dan dipakainya bahasa Melayu. Dengan kriteria ini, maka penetapan buku puisi ini sebagai bagian integral khazanah sastra Indonesia modern telah melalui langkah seleksi yang berbeda, baik dengan Teeuw maupun dengan pengamat sastra Indonesia lainnya.
Dalam kaitan dengan ilmu humaniora atau ilmu-ilmu sosial umumnya, segala sesuatu yang tampak, yang mewujud, tidak muncul begitu saja melainkan ada prakondisi yang mengitarinya yang berkaitan dengan tradisi, kehidupan sosial, pertautan nilai, atau kepolaritasan antara kelisanan dengan keberaksaran—masih meminjam istilah Walter Ong—yang tidak mungkin dinafikan. Berkenaan dengan keinginan mengungkap suatu entitas yang berada dalam perpindahan ekspresi, tak ayal selalu akan merupakan suatu kajian yang tidak akan ada ujungnya.
Representasi kegamangan
Kumpulan puisi ini jelas menunjukkan kegamangan. Dinyatakan sendiri oleh penulisnya bahwa buku ini ya syair, ya pantun sebagaimana tersurat dari judul ”boek saier oetawa pantoen”. Dipandang sepintas, kegamangan penyebutan ini sangat boleh jadi sekadar suatu ketidakpahaman sebagai akibat belum mentradisinya dunia pendidikan yang antara lain mengajarkan hal tersebut, namun jika dikaji lebih mendalam, kegamangan tersebut bisa saja merupakan suatu kenyataan historis yang berkaitan dengan identitas ”syair” maupun ”pantun” itu yang barangkali saja telah disalahpahami hingga saat ini.
Kata ”oetawa” dalam judul mengindikasikan bahwa apa yang disebut dengan syair itu diposisikan sebagai sama saja atau lazim disebut sebagai pantun, dan yang dinamakan pantun sama juga dengan syair. Berkaitan dengan kenyataan ini maka apa yang pernah dikemukakan Sapardi Djoko Damono bahwa ”dalam berbagai karangan yang ditulis oleh sastrawan peranakan Cina, istilah pantun dan syair sering dipertukarkan” tepat juga ditujukan untuk kumpulan puisi ini meskipun penulis karya ini belum terbukti sebagai seorang peranakan China.
Jika dirunut berdasarkan praksis atau pemakaian istilah ”pantun” dalam kegiatan bersastra masa itu, yang kemudian dapat dipahami adalah kenyataan bahwa pengertian ”pantun” tidak bermakna sama dengan pengertian sekarang. Begitu terdengar atau terbaca istilah ”pantun”, di benak orang sekarang niscaya segera terbayang suatu pola atau formula bentuk puisi tertentu. Sementara di kala itu, kata ”pantun” atau juga ”syair” adalah suatu cara mengekspresikan maksud dengan tidak mengindahkan pola sebagaimana di dalam perkembangannya yang dibagi atas sampiran dan isi untuk pantun, atau berupa rangkaian kisah berlarik empat dengan rima sama untuk syair.
Begitu pula dengan ”pantun” atau ”berpantun”, awalnya tampak serupa dengan istilah ”syair” atau ”bersyair” itu. Apa yang dikatakan oleh Kwee Tek Hoay dalam Bouquet Panorama: Koempoelan Sair Melayoe (1931) dapat memperjelas pengertian ”pantun” sebagai sekadar ungkapan atau ekspresi dari suatu maksud tertentu yang tidak biasa, atau yang ”nyastra” belaka. Ia mengatakan, ”sadari satenga abad jang laloe soedah ada banjak diterbitken boekoe-boekoe sairan, jang kabanjakan berisi pantoenan soeal bertjinta-tjinta”.
Dengan memahami situasi bersastra yang tidak terlalu terikat oleh aturan atau konvensi pada masa pertumbuhan sastra Indonesia modern itu, maka adanya kerancuan pengertian antara ”syair” dengan ”pantun” adalah hal yang wajar. Bukan hanya kumpulan puisi ini saja yang memperlihatkan kerancuan pengertian itu; kumpulan puisi yang lain, seperti telah disebutkan, juga memperlihatkan hal serupa. Sebagai contoh, pantun-pantun dalam Pantoen Balapan Koeda di Djokjakarta yang ditulis oleh Tan Tjiook San, terbit tahun 1894, secara sekilas memang memperlihatkan pola pantun (a-b-a-b), namun secara isi ia berupa syair karena bercerita mengenai peristiwa balapan kuda itu dan juga tidak mengindahkan adanya sampiran dan isi. //Slama-lamanja poen belon ada/ Balapan koeda di ini negri/ Serta di Solo bikin toelada/ Djokja poen djoega bikin sendiri//.
Dari pantun ini, sukar untuk menyatakan bahwa larik pertama dan kedua adalah sampiran. Bagaimana akan menyatakan bahwa larik pertama dan kedua sebagai sampiran sedangkan puisi ini sendiri berjudul ”Pantoen Balapan Koeda di Djokjakarta”? Bukankah larik-larik itu justru berupa ”isi”? Inilah contoh akan kebelummantapan istilah, baik untuk ”pantun” maupun ”syair” ketika itu. Atau, inikah bentuk yang di kemudian hari disebut sebagai ”pantun mulia”, yaitu pantun yang sampirannya tidak hanya mempersiapkan isi secara fonetis, tetapi juga mengisyaratkan isi secara semantik? Rasanya tidak juga.
Sementara itu, sejumlah syair dalam Boekoe Sair Roepa-roepa seperti Sair orang Bersobat, Sair Nona Boedjang dan Sair Segala Boea-boeahan yang ditulis oleh Oetj Peng Long tidak semuanya mengikuti pola syair tapi malahan serupa pantun. Contohnya, //Kelapa Poewan Tjelintjing di makan goeri/ Poehoenja tinggi di liat ngeri/ Saija pandang nona sahari-hari/ Saija rasa kiamat didalem diri//.
Jika hanya dilihat pada rima akhirnya saja, sepintas memang menyerupai syair. Semuanya bersajak /a-a-a-a/. Tapi begitu dilihat pola dalamnya, kelihatan bahwa baris pertama dan kedua dari ketiga puisi ini lebih tepat disebut sampiran daripada isi yang merupakan hakikat pola pantun yang lazim. Baris yang berbunyi //Kelapa Poewan Tjelintjing di makan goeri/ Poehoenja tinggi di liat ngeri/ tidak lain merupakan semacam stimulus untuk lahirnya, terutama, kata-kata ”sahari-hari” dan ”diri” yang dipicu oleh kata ”goeri” dan ”ngeri” sedangkan di antara baris-baris itu tidak ada kesejajaran makna.
Demikianlah, telah terjadi kerancuan atau kebelummantapan bentuk syair dan pantun pada pertengahan abad ke-19 itu. Kenyataan ini dipandang dari sisi genealogi atau perkembangan suatu bentuk kesenian harus dinyatakan sebagai wajar dan alami mengingat bahwa kedua bentuk itu baru muncul sebagai bentuk komunikasi tulis atau cetak. Namun begitu, meski kerancuan dalam penyebutan syair atau pantun itu terjadi, secara keseluruhan kumpulan Boek Saier Oetawa Terseboet Pantoen ini dapat dikatakan sebagai syair. Ke-80 bait syair yang terhimpun dalam kumpulan ini bersajak a-a-a-a yang artinya adalah syair. Demikian pula dengan pola sampiran dan isinya, kesemua larik adalah isi, sehingga tidak ada keraguan lagi untuk menyebutnya sebagai syair.
Dengan kata lain, kerancuan hanya ditunjukkan pada judul, sementara isinya ternyata kesemuanya syair. Pertanyaannya kemudian, mengapa pengarang harus pula menyertakan embel-embel ”Oetawa Terseboet Pantoen”? Jawaban yang sementara ini dapat diberikan, berdasarkan dugaan rekonstruktif sosiologis, adalah bahwa kata ”pantun” agaknya merupakan suatu sebutan umum masa itu yang dilekatkan pada semua bentuk yang bukan prosa atau hikayat. Frase ”terseboet pantoen” seolah-olah menegaskan hal ini, yaitu bahwa bentuk sastra dengan bait-bait itu lazim disebut dengan ”pantun” terlepas dari pola yang ada di dalamnya itu sesungguhnya lebih tepat dinamakan syair atau pantun.
* Ibnu Wahyudi, Redaktur Jurnal Puisi yang Tengah Tertidur Panjang
Sumber: Kompas, Jumat, 6 Juni 2008
No comments:
Post a Comment