-- Nafisatul Husniah
ING ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Sebaris kalimat penuh makna inilah yang dibawa Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara untuk membangun negeri ini melalui semangat juangnya. Hingga akhirnya tanggal 2 Mei yang merupakan tanggal kelahiran beliau, sampai sekarang terus diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional dan beliau sendiri dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Ki Hajar Dewantara sosok tokoh yang rela berkorban, menguras tenaga dan pikirannya demi memperjuangkan pendidikan untuk anak negeri. Menurut beliau, pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Bisa dikatakan bahwa antara ketiga hal tersebut harusnya mendapatkan posisi yang seimbang dalam proses pendidikan. Namun melihat realitas yang terjadi di masyarakat kita, tampaknya tidak demikian. Lembaga pendidikan saat ini cenderung hanya mengasah kemampuan kognitif peserta didiknya saja. Sekolah lebih banyak menuntut siswanya untuk berpikir melalui latihan-latihan soal yang diberikan. Ironisnya, hanya berdasarkan angka-angka saja seorang siswa bisa di-judge bodoh atau pandai.
Sebagai hasilnya, banyak upaya yang dilakukan siswa agar mereka bisa dikatakan pandai. Termasuk di dalamnya melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan makna pendidikan itu sendiri. Contoh konkritnya, dalam pelaksaan Ujian Nasional (UN), sejumlah kasus kecurangan ditemukan di beberapa sekolah. Kecurangan-kecurangan seperti itu selalu mengiringi pelaksanaan UN, seakan tidak afdol jika hal tersebut ditinggalkan. Persoalan utama yang mendasarinya tidak lain adalah keinginan untuk mendapakan angka (nilai) yang tinggi. Ketika kejadian semacam ini terjadi, jelas ada hal lain yang bertentangan yaitu mengenai pendidikan karakter.
Melalui semboyannya yang biasa disebut juga dengan 'Trilogi Pendidikan', Ki Hajar Dewantara telah menunjukkan bagaimana seharusnya guru mendidik muridnya.
Pertama, Ing ngarsa sung tuladha memiliki makna, di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik. Selain mengajar atau mentransfer ilmu, guru harus bisa meberikan teladan kepada siswanya, setidaknya mengenai hal yang diajarkannya. Namun, kenyataannya, di negara kita sekarang masih sering dijumpai guru yang sama sekali tidak menunjukkan sikap yang patut untuk diteladani. Peristiwa pencabulan anak dengan pelaku oknum guru kepada siswinya yang beberapa kali diberitakan media sudah cukup menjadi bukti akan hal tersebut.
Kedua, Ing madya mangun karsa, maksudnya, di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide. Di sini guru harus bisa memberi wawasan pengetahuan kepada siswa-siswinya. Harus dicermati, bahwa mereka harus bisa memberi wawasan bukan hanya membaca ulang apa-apa yang sudah tertera di buku yang dipegang siswa. Atau, malah hanya memberi soal-soal saja dan siswa diminta mengerjakan. Di wilayah ini, sebisa mungkin guru menanamkan pendidikan karakter kepada siswa meskipun tidak secara langsung. Dari materi-materi yang disampaikan pasti ada muatan karakter yang bisa ditunjukkan pada siswa. Nilai-nilai pembangun karakter sangat urgen untuk dimiliki setiap siswa yang merupakan generasi bangsa kita.
Ketiga, Tut wuri handayani, yakni, dari belakang, seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan. Inilah tugas utama guru yang harus pula dilakukan yaitu sebagai motivator. Bagaimana para pendidik bisa menumbuhkan dan merangsang serta mengarahkan setiap potensi yang dimiliki siswa, merupakan hal yang harus difikirkan. Harapannya, mereka dapat memanfaatkan potensinya secara tepat, sehingga lebih tekun dan semangat dalam belajar untuk mengejar cita-cita yang diinginkan.
Trilogi pendidikan ini sangat penting diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran sehari-hari di kelas. Sekarang sudah bukan saatnya lagi guru mengajar hanya sekedar menuntaskan tuntutan kurikulum saja. Mereka harus memiliki idealisme untuk mengajar dan mendidik siswa. Hakikat dari mengajar harus benar-benar diterapkan. Melalui merekalah generasi bangsa kita berproses. Setiap proses situ semestinya berjalan sebaik-baiknya agar menghasilkan produk pendidikan yang benar-benar umggul. Bukan yang secara intelektual unggul namun moralitasnya hancur.
Sudah cukup kita melihat pemandangan di pemerintahan yang dipenuhi pejabat korup sekarang ini. Mereka adalah bukti produk pendidikan yang tidak bisa memberikan penguatan pada karakter siswanya. Meski sebenarnya ada hal lain yang berpengaruh. Mereka yang duduk di kursi pemerintahan jelas bukan orang bodoh. Mereka adalah orang-orang pintar yang merupakan produk dari pendidikan pula. Namun, kita pun bisa melihatnya sendiri bahwa kerusakan lah yang terjadi ketika ketinggian intelektual tidak diikuti dengan kualitas kebaikan karakter. Kepintarannya bukan membawa bangsa kita pada kemajuan tetapi malah membawa bangsa pada kehancuran.
Sebagai awal mula setiap generasi penerus bangsa berproses, trilogi pendidikan yang dicanamgkan Ki Hajar Dewantara adalah cara yang tepat untuk diterapkan. Dengan benar-benar mengimplementasikan ketiganya dalam dunia pendidikan maka akan lebih mudah bagi bangsa ini untuk bangkit. Lepas dari julukan negara terkorup, dan membersihkan birokrasi dari tindakan-tindakan penyelewengan yang merugikan rakyat. Negara kita benar-benar sedang membutuhkan generasi yang selain tinggi intelektualnya juga tinggi kualitas karakternya. Dengan menjunjung tinggi konsep Trilogi Pendidikan-lah, semua itu bisa didapatkan. ***
Nafisatul Husniah, aktivis di Laskar Ambisi dan mahasiswa Santri Pesantren Mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sumber: Suara Karya, Jumat, 10 Mei 2013
ING ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Sebaris kalimat penuh makna inilah yang dibawa Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara untuk membangun negeri ini melalui semangat juangnya. Hingga akhirnya tanggal 2 Mei yang merupakan tanggal kelahiran beliau, sampai sekarang terus diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional dan beliau sendiri dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Ki Hajar Dewantara sosok tokoh yang rela berkorban, menguras tenaga dan pikirannya demi memperjuangkan pendidikan untuk anak negeri. Menurut beliau, pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Bisa dikatakan bahwa antara ketiga hal tersebut harusnya mendapatkan posisi yang seimbang dalam proses pendidikan. Namun melihat realitas yang terjadi di masyarakat kita, tampaknya tidak demikian. Lembaga pendidikan saat ini cenderung hanya mengasah kemampuan kognitif peserta didiknya saja. Sekolah lebih banyak menuntut siswanya untuk berpikir melalui latihan-latihan soal yang diberikan. Ironisnya, hanya berdasarkan angka-angka saja seorang siswa bisa di-judge bodoh atau pandai.
Sebagai hasilnya, banyak upaya yang dilakukan siswa agar mereka bisa dikatakan pandai. Termasuk di dalamnya melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan makna pendidikan itu sendiri. Contoh konkritnya, dalam pelaksaan Ujian Nasional (UN), sejumlah kasus kecurangan ditemukan di beberapa sekolah. Kecurangan-kecurangan seperti itu selalu mengiringi pelaksanaan UN, seakan tidak afdol jika hal tersebut ditinggalkan. Persoalan utama yang mendasarinya tidak lain adalah keinginan untuk mendapakan angka (nilai) yang tinggi. Ketika kejadian semacam ini terjadi, jelas ada hal lain yang bertentangan yaitu mengenai pendidikan karakter.
Melalui semboyannya yang biasa disebut juga dengan 'Trilogi Pendidikan', Ki Hajar Dewantara telah menunjukkan bagaimana seharusnya guru mendidik muridnya.
Pertama, Ing ngarsa sung tuladha memiliki makna, di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik. Selain mengajar atau mentransfer ilmu, guru harus bisa meberikan teladan kepada siswanya, setidaknya mengenai hal yang diajarkannya. Namun, kenyataannya, di negara kita sekarang masih sering dijumpai guru yang sama sekali tidak menunjukkan sikap yang patut untuk diteladani. Peristiwa pencabulan anak dengan pelaku oknum guru kepada siswinya yang beberapa kali diberitakan media sudah cukup menjadi bukti akan hal tersebut.
Kedua, Ing madya mangun karsa, maksudnya, di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide. Di sini guru harus bisa memberi wawasan pengetahuan kepada siswa-siswinya. Harus dicermati, bahwa mereka harus bisa memberi wawasan bukan hanya membaca ulang apa-apa yang sudah tertera di buku yang dipegang siswa. Atau, malah hanya memberi soal-soal saja dan siswa diminta mengerjakan. Di wilayah ini, sebisa mungkin guru menanamkan pendidikan karakter kepada siswa meskipun tidak secara langsung. Dari materi-materi yang disampaikan pasti ada muatan karakter yang bisa ditunjukkan pada siswa. Nilai-nilai pembangun karakter sangat urgen untuk dimiliki setiap siswa yang merupakan generasi bangsa kita.
Ketiga, Tut wuri handayani, yakni, dari belakang, seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan. Inilah tugas utama guru yang harus pula dilakukan yaitu sebagai motivator. Bagaimana para pendidik bisa menumbuhkan dan merangsang serta mengarahkan setiap potensi yang dimiliki siswa, merupakan hal yang harus difikirkan. Harapannya, mereka dapat memanfaatkan potensinya secara tepat, sehingga lebih tekun dan semangat dalam belajar untuk mengejar cita-cita yang diinginkan.
Trilogi pendidikan ini sangat penting diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran sehari-hari di kelas. Sekarang sudah bukan saatnya lagi guru mengajar hanya sekedar menuntaskan tuntutan kurikulum saja. Mereka harus memiliki idealisme untuk mengajar dan mendidik siswa. Hakikat dari mengajar harus benar-benar diterapkan. Melalui merekalah generasi bangsa kita berproses. Setiap proses situ semestinya berjalan sebaik-baiknya agar menghasilkan produk pendidikan yang benar-benar umggul. Bukan yang secara intelektual unggul namun moralitasnya hancur.
Sudah cukup kita melihat pemandangan di pemerintahan yang dipenuhi pejabat korup sekarang ini. Mereka adalah bukti produk pendidikan yang tidak bisa memberikan penguatan pada karakter siswanya. Meski sebenarnya ada hal lain yang berpengaruh. Mereka yang duduk di kursi pemerintahan jelas bukan orang bodoh. Mereka adalah orang-orang pintar yang merupakan produk dari pendidikan pula. Namun, kita pun bisa melihatnya sendiri bahwa kerusakan lah yang terjadi ketika ketinggian intelektual tidak diikuti dengan kualitas kebaikan karakter. Kepintarannya bukan membawa bangsa kita pada kemajuan tetapi malah membawa bangsa pada kehancuran.
Sebagai awal mula setiap generasi penerus bangsa berproses, trilogi pendidikan yang dicanamgkan Ki Hajar Dewantara adalah cara yang tepat untuk diterapkan. Dengan benar-benar mengimplementasikan ketiganya dalam dunia pendidikan maka akan lebih mudah bagi bangsa ini untuk bangkit. Lepas dari julukan negara terkorup, dan membersihkan birokrasi dari tindakan-tindakan penyelewengan yang merugikan rakyat. Negara kita benar-benar sedang membutuhkan generasi yang selain tinggi intelektualnya juga tinggi kualitas karakternya. Dengan menjunjung tinggi konsep Trilogi Pendidikan-lah, semua itu bisa didapatkan. ***
Nafisatul Husniah, aktivis di Laskar Ambisi dan mahasiswa Santri Pesantren Mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sumber: Suara Karya, Jumat, 10 Mei 2013
No comments:
Post a Comment