-- Iwan Kurniawan
KISAH kehidupan pilu masih menjadi sebuah notasi bagi cerpenis Weni Suryandari. Ia mengkritik tradisi, perjodohan, dan tema klasik dalam susastra. Semuanya ia jadikan benang merah beberapa karyanya.
Lewat buku kumpulan cerpen terbaru Kabin Pateh, guru bahasa Inggris di sebuah SD di Bogor, Jawa Barat, itu menghadirkan cerpen Pelacur untuk Suamiku.
Weni menulis, 'Mulai kini, aku bukan lagi istri bagi suamiku. Aku, perempuan utuh yang menikmati kehidupan dan pengalaman yang harus kuciptakan senikmat mungkin bagi diriku sendiri.' Kendati berlarut-larut dalam isu perjodohan, Weni juga berhasil eksis sebagai salah satu cerpenis produktif. Meski sehari-hari bergelut dengan suami dan tiga putrinya, ia berhasil mempertahankan napas kreatifnya.
"Ada rasa yang mengganjal bila saya tak menuliskan apa yang saya temukan. Saya mau menulis hingga mati," ujar Weni dalam sebuah perbincangan.
Karya Weni, cerpenis yang bermukim di Bogor, menjadi penanda kiprah sastrawan daerah. Di kawasan yang berjarak dengan Ibu Kota, baik itu yang terpaut dekat maupun jauh, banyak penyair hingga cerpenis yang konsisten berkarya.
"Saya pernah hidup dan berkarya di Jakarta. Saya memilih untuk pulang kampung untuk mendirikan ruang berekspresi bagi sastrawan di daerah. Saya lebih enak berkarya di desa," ujar salah satu sastrawan di Makassar yang enggan namanya dikutip.
Komunitas sastra
Sebagian sastrawan di daerah bahkan berani menjadikan profesi penulis sebagai pekerjaan tetap. Mereka pun mendirikan komunitas-komunitas sastra buat menjaga semangat bersama rekan-rekan mereka.
Thoni Mukarrom salah satunya. Ia bergiat di Sanggar Sastra di Universitas Ronggolawe Tuban. Ia konsisten menjalankan fungsi sebagai pengamat, penggiat, kritikus, dan tentunya penulis.
Cerpen Di Bawah Cahaya Purnama merupakan salah satu karya terbarunya. Ia menuliskan, 'Bulan berwajah penuh. Angin berdesir menusukkan jarum ghaib. Perempuan itu datang lagi malam ini, di sebuah air terjun, menunggu di bawahnya sambil memandang bulan yang tersenyum sempurna.....' Thoni mengulas kisah percintaan, seseorang yang cemas menunggu, dan cinta platonik.
Bahasa daerah
Cerpenis Ngatini Rasdi, asal Desa Selo, Tawangharjo, Purwodadi, Jawa Tengah, menjaga betul ritme produktivitasnya.
Kantong-kantong budaya, geliat komunitas yang tersebar dari Aceh hingga Papua, serta koran-koran daerah menjadi pegangan seniman itu buat terus berkarya.
Di Lampung, sastrawan Udo Z Karzi bahkan memuliakan bahasa Lampung dengan puisi-puisinya. Ia juga rutin menghasilkan esai dan cerpen.
Kekayaan dan ketenangan di daerah merupakan surga kecil yang senantiasa mengalirkan energi buat mereka. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 5 Mei 2013
KISAH kehidupan pilu masih menjadi sebuah notasi bagi cerpenis Weni Suryandari. Ia mengkritik tradisi, perjodohan, dan tema klasik dalam susastra. Semuanya ia jadikan benang merah beberapa karyanya.
Lewat buku kumpulan cerpen terbaru Kabin Pateh, guru bahasa Inggris di sebuah SD di Bogor, Jawa Barat, itu menghadirkan cerpen Pelacur untuk Suamiku.
Weni menulis, 'Mulai kini, aku bukan lagi istri bagi suamiku. Aku, perempuan utuh yang menikmati kehidupan dan pengalaman yang harus kuciptakan senikmat mungkin bagi diriku sendiri.' Kendati berlarut-larut dalam isu perjodohan, Weni juga berhasil eksis sebagai salah satu cerpenis produktif. Meski sehari-hari bergelut dengan suami dan tiga putrinya, ia berhasil mempertahankan napas kreatifnya.
"Ada rasa yang mengganjal bila saya tak menuliskan apa yang saya temukan. Saya mau menulis hingga mati," ujar Weni dalam sebuah perbincangan.
Karya Weni, cerpenis yang bermukim di Bogor, menjadi penanda kiprah sastrawan daerah. Di kawasan yang berjarak dengan Ibu Kota, baik itu yang terpaut dekat maupun jauh, banyak penyair hingga cerpenis yang konsisten berkarya.
"Saya pernah hidup dan berkarya di Jakarta. Saya memilih untuk pulang kampung untuk mendirikan ruang berekspresi bagi sastrawan di daerah. Saya lebih enak berkarya di desa," ujar salah satu sastrawan di Makassar yang enggan namanya dikutip.
Komunitas sastra
Sebagian sastrawan di daerah bahkan berani menjadikan profesi penulis sebagai pekerjaan tetap. Mereka pun mendirikan komunitas-komunitas sastra buat menjaga semangat bersama rekan-rekan mereka.
Thoni Mukarrom salah satunya. Ia bergiat di Sanggar Sastra di Universitas Ronggolawe Tuban. Ia konsisten menjalankan fungsi sebagai pengamat, penggiat, kritikus, dan tentunya penulis.
Cerpen Di Bawah Cahaya Purnama merupakan salah satu karya terbarunya. Ia menuliskan, 'Bulan berwajah penuh. Angin berdesir menusukkan jarum ghaib. Perempuan itu datang lagi malam ini, di sebuah air terjun, menunggu di bawahnya sambil memandang bulan yang tersenyum sempurna.....' Thoni mengulas kisah percintaan, seseorang yang cemas menunggu, dan cinta platonik.
Bahasa daerah
Cerpenis Ngatini Rasdi, asal Desa Selo, Tawangharjo, Purwodadi, Jawa Tengah, menjaga betul ritme produktivitasnya.
Kantong-kantong budaya, geliat komunitas yang tersebar dari Aceh hingga Papua, serta koran-koran daerah menjadi pegangan seniman itu buat terus berkarya.
Di Lampung, sastrawan Udo Z Karzi bahkan memuliakan bahasa Lampung dengan puisi-puisinya. Ia juga rutin menghasilkan esai dan cerpen.
Kekayaan dan ketenangan di daerah merupakan surga kecil yang senantiasa mengalirkan energi buat mereka. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 5 Mei 2013
1 comment:
Halo Iwan yang baik, saya baru membaca artikel ini. apa punya FB juga? senang membaca artikel lamamu yang tak sengaja saya temukan di blog, dari google...
Bolehkah saya share link ini? terima kasih, salam
Post a Comment