-- Junaidi
TARI adalah satu cabang seni yang lebih memfokuskan pada gerak tubuh. The power of dance terletak pada gerak. Bagian lain seperti kostum, tata rias, tata lampu, musik dan tata panggung diarahkan untuk mendukung permainan gerak dalam tari. Berjalan, berlari, melompat dan mengerakan bagian tubuh dalam situasi tertentu diindentifikasi sebagai tari. Tentu saja tidak semua gerak tubuh manusia dikategorikan sebagai tari. Tari itu hadir bersifat kontekstual. Gerak dalam tari bukanlah gerak sembarangan atau tanpa tujuan. Gerak tari bersifat ritmis dan tentu saja bermakna. Sifat ritmis inilah yang membedakan gerak tari dengan gerak lainnya. Gerak itu language of dance. Bahasa verbal dan bahasa tari sama-sama mempunyai sistem dan konvensi seperti vocabulary, grammar dan semantic meaning (Hanna, 2008: 491).
Dalam tari, perbendaharaan kata berupa locomotion atau penggerak dan gesture atau gerak-isyarat. Dalam bahasa verbal ada tata bahasa yang mengatur penggunaan kata sedangkan dalam tari ada aturan, yakni satu gerak akan diikuti gerak berikutnya. Secara semantik, bahasa verbal tersusun atas susunan kata-kata sedangkan dalam tari makna dibangun berdasarkan atas rangkaian gerak. Dalam tari tubuh itu bicara. Jika demikian, menari bermakna berbicara. Adakah para penari dan penikmat tari menyadari bahwa menari adalah berbicara, menari adalah menyampaikan pesan, menari adalah menyampaikan makna, menari adalah berdialog, menari adalah menafsir, menari adalah bermain tanda-tanda, menari adalah memainkan estetika dan menari beralaskan etika?
Sedyawati ddk (1986: 73-74) menyimpulkan tari sebagai gerak ritmis dari anggota badan, perpaduan pola-pola dalam ruang, gerak spontan yang dipengaruhi emosi yang kuat, paduan gerak-gerak indah dan ritmis, dan gerak terlatih yang disusun secara beraturan untuk menyatakan tindakan dan rasa. Pendapat lain menyatakan Dance can be conceptualized as human behaviour composed of purposeful, intentionally rhythmical, and culturally influenced sequences of nonverbal body movements and stillness in time and space and with effort (Hanna, 2008: 491). Gerak dalam tari tentu saja berbeda dengan gerak manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Gerak dalam tari adalah gerak imajinatif dan kreatif yang dihasilkan melalui proses interpretasi terhadap realitas. Pencipta tari mengkonstruksi realitas menjadi gerak imajinatif ke dalam seni pertunjukkan. Artinya, gerak tari biasanya tidak menampilkan gerak sehar-hari tetapi ia tetap merujuk pada gerak sehari-hari. Gerak orang makan nasi goreng tidak ditampilkan seperti gerak makan nasi goreng, tetapi ia bisa ditampilkan dengan gerak simbolik yang bermakna orang makan nasi goreng. Realitas itu sumber utama pencipataan tari. Daya kreativitas dan imajinasi sangat besar perannya dalam penciptaan tari.
Bahasa tari tidak kalah pentingnya dengan bahasa verbal. Bahasa tari telah hadir semenjak manusia ada di bumi dan telah dianggap sebagai elemen penting dalam kebudayaan manusia (Wiltermuth dan Heath, 2009). Umat manusia sudah terbiasa untuk menggunakan tari sebagai media bahasa untuk berkomunikasi. Dalam perkembangan awalnya -mungkin juga sampai sekarang- tari dilakukan untuk tujuan-tujuan ritual penyembahan tuhan. Penyembahan tuhan memang harus dilakukan dengan gerak. Agaknya tuhan sangat suka gerak manusia. Ini bermakna tidak cukup hanya dengan niat dan batin memuja tuhan. Ketaatan kepada tuhan perlu diwujudkan melalui media gerak. Ketika sholat kita tidak hanya membaca bacaan sholat tetapi kita juga melakukan gerak. Gerak itu juga diwujudkan dalam tari. Sehingga ketika kita menari kita sebenarnya melakukan penyerahan diri secara totalitas, lahir-batin.
Gerak tari dihasilkan oleh proses kreatif yang melibatkan eksistensi lahir-batin manusia. Sehingga tari tidak bisa hanya dipahami melalui gerak tubuh panari di atas panggung. Gerak tubuh hanya bersifat lahir. Ada kekuatan batin yang mengerakan tubuh manusia. Sehingga gerak batin yang tak tampak itu juga perlu diperhatiakn untuk memahami tari. Ada energi dibalik gerak.
Potensi lahir-batin yang ada dalam diri manusia menghasilkan gerak dan rasa. Sehingga antara gerak dan rasa tidak bisa dipisahkan seperti tidak bisa dipisahkannya lahir-batin dalam kehidupan manusia. Kita sering melupakan potensi rasa karena terlalu percaya dengan gerak fisik yang bersifat kasat mata. Karenanya perlu adanya kesadaran untuk memahami rasa. Gerak fisik terbatas tetapi gerak rasa yang bersifat non-fisik tak terbatas. Gerak rasa tidak terhambat oleh ruang dan waktu. Ia bisa bergerak ke mana saja. Ada kebebasan dalam gerak rasa.
Dalam tari unsur fisik dan batin telah melebur menjadi satu gerak, yakni gerak lahir-batin. Dalam peradaban kuno seperti di Mesir para pendeta melakukan tarian dengan dilengkapi alat musik. Di tempat lainnya, untuk mengekpresikan rasa kesedihan, para perempuan Mesir melakukan tarian pada upacara pemakaman. Di Yunani, berbagai permainan di Olympia di resmikan dengan tarian untuk memuja dewa yang dibawakan oleh gadis-gadis muda. Masih di Yunani, tari juga dipersembahkan untuk menyampaikan rasa syukur setelah panen anggur. Di India, gerak tangan pendeta Hindu juga dianggap bermakna. Konon kabarnya, dahulu tarian makyong yang dilakukan orang Melayu juga bertujuan untuk pemujaan roh dan sosok Mak Inang dianggap sebaga dewi padi sebagai simbol kesuburan. Untuk memuliakan tamu, orang Melayu menampilkan tari. Untuk merayakan syukur orang Melayu juga menari. Tari menjadi bagian penting dalam kehidupan berbagai bangsa, termasuk Melayu.
Tari dilakukan juga untuk mengekpresikan sesuatu yang tidak bisa disampaikan melalui bahasa verbal. Berbagai kritik terhadap realitas kehidupan sosial sering disampaikan melalui tari. Tari dapat dikategorikan dalam nonverbal communication. Dalam komunikasi verbal orang menggunakan kata-kata untuk menyampaikan pesan sedangkan dalam tari kata-kata itu digantikan oleh gerak. Jika demikian tari bukanlah random movement atau gerak sembarangan. Tari sama halnya dengan percakapan dengan bahasa verbal juga mempunyai konsep dan konvensi.
Tari bukanlah gerak tanpa makna. Setiap gerak dalam tari bermakna dan memiliki motif tertentu. Hadirnya tari dalam kehidupan manusia merupakan respon manusia terhadap gerak kehidupan di alam semesta ini. Bahkan hadirnya ritma dalam tari disebabkan adanya ritma jantung manusia. Ritma tak bisa dipisahkan dari tari sebagaimana ritma menjadi elemen dasar musik. Ini semakin menegaskan betapa eratnya hubungan manusia dengan tari. Tari hadir bersamaan dengan peradaban manusia di muka bumi. Dari sejak zaman dahulu kala hingga sekarang manusia terus menari. Bentuk dan fungsi tari tentu saja bersifat dinamis sesuai dengan dinamika zamannya. Ada berbagai alasan mengapa orang menari, misalnya memuja tuhan, hiburan, terapi fisik, terapi psikologis dan merayakan sesuatu.
Tari lahir dalam ruang kehidupan manusia sehingga pencipataan dan pemaknaan tari tidak boleh lepas dari ruang kebudayaannya. Gerak manusia sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural. Dengan demikian, gerak tari pun harus dimakanai secara sosial dan kultural. Misalnya, gerak menggoyangkan pinggul dalam budaya A mungkin berbeda maknanya dengan budaya B. Gerak dalam tari diciptakan berdasarkan imajinasi terhadap penafsiran terhadap sesuatu. Proses interpretasi dapat dilakukan melalui penglihatan, pendengaran dan perabaan. Hubungan budaya dan tari bersifat reciprocal atau timbal balik. Artinya, budaya akan memberikan makna pada siapa menari apa, mengapa, bagaimana, bila, dimana, dengan siapa, dan untuk siapa (Hanna, 2008: 492). Karena itu, tari bisa menghasilkan berbagai makna seperti orientasi seks, identias etnis, identitas kelompok, jati diri, karakter bangsa, sedih, perang, damai dan apapun.
Kata-kata adalah simbol. Demikian juga dengan gerak dalam tari. Tari seperti puisi, penuh dengan tanda-tanda simbolik. Karena itu, tanda-tanda dalam gerak tari perlu dilakukan pembacaan untuk mengetahui maknanya. Penari dan penikmat tari perlu memperdalam pengetahuan tentang semiotics of dance. Semiotika tari sangat membantu kita dalam memahami makna gerak dan tari. Konsep-konsep kunci tari lainnnya seperti emotional experience dan culture sangat perlu direlasikan dengan konsep symbolization dalam tari dengan melibatkan pendekatan semiotika tari. Hanna (2008: 493) lebih lanjut menyatakan bahwa paling tidak ada enam perangkat simbolik untuk melakukan pemaknaan tari: concretization (mengkonretkan), icon (karakter khusus), stylization (gerak konvensional dan gerak bebas), metonym (sesuatu menggantikan yang lain), metaphor (perumpamaan), dan actualization (aktualisasi). Pemaknaan tari secara lebih serius akan memberikan kebermaknaan yang lebih mendalam terhadap tari agar tari lebih memberikan manfaat bagi manusia.
Pemaknaan tari tentu saja perlu memperhatikan unsur estetika sebab tari lahir dari proses olah rasa. Karena itu, para penari dan peminat tari perlu memahami ilmu estetika untuk lebih menyelami makna tari secara mendalam. Pendalam estetika pada tari semakin membuat manusia manyadari betapa indahnya gerak tubuh manusia. Gerak itu menjadi petanda hidup manusia. Gerak tubuh manusia yang indah itu tentu saja bersandar pada suatu sistem budaya yang dalam masyarakat. Karena itu, gerak indah tari perlu beralaskan etika yang terdapat dalam masyarakat. Etika dibuat bukan untuk mengkebiri daya estetika. Estetika lebih bermakna bila direlasikan dengan etika. Perpaduan estetika dan etika akan menghasilkan karya tari yang luar biasa dan penuh makna.
Penghormatan pada estetika-etika merupakan wujud dari penghormatan pada kamanusian. Maknanya, estetika itu etis dan etika itu estetis.***
Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak. Selain rajin menulis, ia juga dikenal sebagai pemerhati budaya Melayu.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 5 Mei 2013
TARI adalah satu cabang seni yang lebih memfokuskan pada gerak tubuh. The power of dance terletak pada gerak. Bagian lain seperti kostum, tata rias, tata lampu, musik dan tata panggung diarahkan untuk mendukung permainan gerak dalam tari. Berjalan, berlari, melompat dan mengerakan bagian tubuh dalam situasi tertentu diindentifikasi sebagai tari. Tentu saja tidak semua gerak tubuh manusia dikategorikan sebagai tari. Tari itu hadir bersifat kontekstual. Gerak dalam tari bukanlah gerak sembarangan atau tanpa tujuan. Gerak tari bersifat ritmis dan tentu saja bermakna. Sifat ritmis inilah yang membedakan gerak tari dengan gerak lainnya. Gerak itu language of dance. Bahasa verbal dan bahasa tari sama-sama mempunyai sistem dan konvensi seperti vocabulary, grammar dan semantic meaning (Hanna, 2008: 491).
Dalam tari, perbendaharaan kata berupa locomotion atau penggerak dan gesture atau gerak-isyarat. Dalam bahasa verbal ada tata bahasa yang mengatur penggunaan kata sedangkan dalam tari ada aturan, yakni satu gerak akan diikuti gerak berikutnya. Secara semantik, bahasa verbal tersusun atas susunan kata-kata sedangkan dalam tari makna dibangun berdasarkan atas rangkaian gerak. Dalam tari tubuh itu bicara. Jika demikian, menari bermakna berbicara. Adakah para penari dan penikmat tari menyadari bahwa menari adalah berbicara, menari adalah menyampaikan pesan, menari adalah menyampaikan makna, menari adalah berdialog, menari adalah menafsir, menari adalah bermain tanda-tanda, menari adalah memainkan estetika dan menari beralaskan etika?
Sedyawati ddk (1986: 73-74) menyimpulkan tari sebagai gerak ritmis dari anggota badan, perpaduan pola-pola dalam ruang, gerak spontan yang dipengaruhi emosi yang kuat, paduan gerak-gerak indah dan ritmis, dan gerak terlatih yang disusun secara beraturan untuk menyatakan tindakan dan rasa. Pendapat lain menyatakan Dance can be conceptualized as human behaviour composed of purposeful, intentionally rhythmical, and culturally influenced sequences of nonverbal body movements and stillness in time and space and with effort (Hanna, 2008: 491). Gerak dalam tari tentu saja berbeda dengan gerak manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Gerak dalam tari adalah gerak imajinatif dan kreatif yang dihasilkan melalui proses interpretasi terhadap realitas. Pencipta tari mengkonstruksi realitas menjadi gerak imajinatif ke dalam seni pertunjukkan. Artinya, gerak tari biasanya tidak menampilkan gerak sehar-hari tetapi ia tetap merujuk pada gerak sehari-hari. Gerak orang makan nasi goreng tidak ditampilkan seperti gerak makan nasi goreng, tetapi ia bisa ditampilkan dengan gerak simbolik yang bermakna orang makan nasi goreng. Realitas itu sumber utama pencipataan tari. Daya kreativitas dan imajinasi sangat besar perannya dalam penciptaan tari.
Bahasa tari tidak kalah pentingnya dengan bahasa verbal. Bahasa tari telah hadir semenjak manusia ada di bumi dan telah dianggap sebagai elemen penting dalam kebudayaan manusia (Wiltermuth dan Heath, 2009). Umat manusia sudah terbiasa untuk menggunakan tari sebagai media bahasa untuk berkomunikasi. Dalam perkembangan awalnya -mungkin juga sampai sekarang- tari dilakukan untuk tujuan-tujuan ritual penyembahan tuhan. Penyembahan tuhan memang harus dilakukan dengan gerak. Agaknya tuhan sangat suka gerak manusia. Ini bermakna tidak cukup hanya dengan niat dan batin memuja tuhan. Ketaatan kepada tuhan perlu diwujudkan melalui media gerak. Ketika sholat kita tidak hanya membaca bacaan sholat tetapi kita juga melakukan gerak. Gerak itu juga diwujudkan dalam tari. Sehingga ketika kita menari kita sebenarnya melakukan penyerahan diri secara totalitas, lahir-batin.
Gerak tari dihasilkan oleh proses kreatif yang melibatkan eksistensi lahir-batin manusia. Sehingga tari tidak bisa hanya dipahami melalui gerak tubuh panari di atas panggung. Gerak tubuh hanya bersifat lahir. Ada kekuatan batin yang mengerakan tubuh manusia. Sehingga gerak batin yang tak tampak itu juga perlu diperhatiakn untuk memahami tari. Ada energi dibalik gerak.
Potensi lahir-batin yang ada dalam diri manusia menghasilkan gerak dan rasa. Sehingga antara gerak dan rasa tidak bisa dipisahkan seperti tidak bisa dipisahkannya lahir-batin dalam kehidupan manusia. Kita sering melupakan potensi rasa karena terlalu percaya dengan gerak fisik yang bersifat kasat mata. Karenanya perlu adanya kesadaran untuk memahami rasa. Gerak fisik terbatas tetapi gerak rasa yang bersifat non-fisik tak terbatas. Gerak rasa tidak terhambat oleh ruang dan waktu. Ia bisa bergerak ke mana saja. Ada kebebasan dalam gerak rasa.
Dalam tari unsur fisik dan batin telah melebur menjadi satu gerak, yakni gerak lahir-batin. Dalam peradaban kuno seperti di Mesir para pendeta melakukan tarian dengan dilengkapi alat musik. Di tempat lainnya, untuk mengekpresikan rasa kesedihan, para perempuan Mesir melakukan tarian pada upacara pemakaman. Di Yunani, berbagai permainan di Olympia di resmikan dengan tarian untuk memuja dewa yang dibawakan oleh gadis-gadis muda. Masih di Yunani, tari juga dipersembahkan untuk menyampaikan rasa syukur setelah panen anggur. Di India, gerak tangan pendeta Hindu juga dianggap bermakna. Konon kabarnya, dahulu tarian makyong yang dilakukan orang Melayu juga bertujuan untuk pemujaan roh dan sosok Mak Inang dianggap sebaga dewi padi sebagai simbol kesuburan. Untuk memuliakan tamu, orang Melayu menampilkan tari. Untuk merayakan syukur orang Melayu juga menari. Tari menjadi bagian penting dalam kehidupan berbagai bangsa, termasuk Melayu.
Tari dilakukan juga untuk mengekpresikan sesuatu yang tidak bisa disampaikan melalui bahasa verbal. Berbagai kritik terhadap realitas kehidupan sosial sering disampaikan melalui tari. Tari dapat dikategorikan dalam nonverbal communication. Dalam komunikasi verbal orang menggunakan kata-kata untuk menyampaikan pesan sedangkan dalam tari kata-kata itu digantikan oleh gerak. Jika demikian tari bukanlah random movement atau gerak sembarangan. Tari sama halnya dengan percakapan dengan bahasa verbal juga mempunyai konsep dan konvensi.
Tari bukanlah gerak tanpa makna. Setiap gerak dalam tari bermakna dan memiliki motif tertentu. Hadirnya tari dalam kehidupan manusia merupakan respon manusia terhadap gerak kehidupan di alam semesta ini. Bahkan hadirnya ritma dalam tari disebabkan adanya ritma jantung manusia. Ritma tak bisa dipisahkan dari tari sebagaimana ritma menjadi elemen dasar musik. Ini semakin menegaskan betapa eratnya hubungan manusia dengan tari. Tari hadir bersamaan dengan peradaban manusia di muka bumi. Dari sejak zaman dahulu kala hingga sekarang manusia terus menari. Bentuk dan fungsi tari tentu saja bersifat dinamis sesuai dengan dinamika zamannya. Ada berbagai alasan mengapa orang menari, misalnya memuja tuhan, hiburan, terapi fisik, terapi psikologis dan merayakan sesuatu.
Tari lahir dalam ruang kehidupan manusia sehingga pencipataan dan pemaknaan tari tidak boleh lepas dari ruang kebudayaannya. Gerak manusia sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural. Dengan demikian, gerak tari pun harus dimakanai secara sosial dan kultural. Misalnya, gerak menggoyangkan pinggul dalam budaya A mungkin berbeda maknanya dengan budaya B. Gerak dalam tari diciptakan berdasarkan imajinasi terhadap penafsiran terhadap sesuatu. Proses interpretasi dapat dilakukan melalui penglihatan, pendengaran dan perabaan. Hubungan budaya dan tari bersifat reciprocal atau timbal balik. Artinya, budaya akan memberikan makna pada siapa menari apa, mengapa, bagaimana, bila, dimana, dengan siapa, dan untuk siapa (Hanna, 2008: 492). Karena itu, tari bisa menghasilkan berbagai makna seperti orientasi seks, identias etnis, identitas kelompok, jati diri, karakter bangsa, sedih, perang, damai dan apapun.
Kata-kata adalah simbol. Demikian juga dengan gerak dalam tari. Tari seperti puisi, penuh dengan tanda-tanda simbolik. Karena itu, tanda-tanda dalam gerak tari perlu dilakukan pembacaan untuk mengetahui maknanya. Penari dan penikmat tari perlu memperdalam pengetahuan tentang semiotics of dance. Semiotika tari sangat membantu kita dalam memahami makna gerak dan tari. Konsep-konsep kunci tari lainnnya seperti emotional experience dan culture sangat perlu direlasikan dengan konsep symbolization dalam tari dengan melibatkan pendekatan semiotika tari. Hanna (2008: 493) lebih lanjut menyatakan bahwa paling tidak ada enam perangkat simbolik untuk melakukan pemaknaan tari: concretization (mengkonretkan), icon (karakter khusus), stylization (gerak konvensional dan gerak bebas), metonym (sesuatu menggantikan yang lain), metaphor (perumpamaan), dan actualization (aktualisasi). Pemaknaan tari secara lebih serius akan memberikan kebermaknaan yang lebih mendalam terhadap tari agar tari lebih memberikan manfaat bagi manusia.
Pemaknaan tari tentu saja perlu memperhatikan unsur estetika sebab tari lahir dari proses olah rasa. Karena itu, para penari dan peminat tari perlu memahami ilmu estetika untuk lebih menyelami makna tari secara mendalam. Pendalam estetika pada tari semakin membuat manusia manyadari betapa indahnya gerak tubuh manusia. Gerak itu menjadi petanda hidup manusia. Gerak tubuh manusia yang indah itu tentu saja bersandar pada suatu sistem budaya yang dalam masyarakat. Karena itu, gerak indah tari perlu beralaskan etika yang terdapat dalam masyarakat. Etika dibuat bukan untuk mengkebiri daya estetika. Estetika lebih bermakna bila direlasikan dengan etika. Perpaduan estetika dan etika akan menghasilkan karya tari yang luar biasa dan penuh makna.
Penghormatan pada estetika-etika merupakan wujud dari penghormatan pada kamanusian. Maknanya, estetika itu etis dan etika itu estetis.***
Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak. Selain rajin menulis, ia juga dikenal sebagai pemerhati budaya Melayu.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 5 Mei 2013
No comments:
Post a Comment