-- Raudal Tanjung Banua
PRAMOEDYA Ananta Toer (Blora, 6 Februari 1925-Jakarta, 30 April 2006) tersohor sebagai novelis kenamaan Indonesia. Di tanah air kita yang masih bermasalah dengan identitas, sebuah status tak jarang menenggelamkan status yang lain. Meskipun seseorang punya potensi besar menyandang beberapa status sekaligus, baik karena bakatnya yang besar, etos kerjanya yang baik maupun tuntutan zaman yang mengharuskannya demikian. Selain lintas ilmu dan profesi, di dalam kesenian juga ada sosok yang menekuni semua genre secara bersamaan. Misalnya, sastrawan yang menulis puisi, cerpen, novel, drama, bahkan sekaligus sebagai pelukis.
Tapi potensi tersebut tidak jarang terhalangi oleh potensi yang lain, sehingga identitasnya kerap kali diringkas dalam satu status paling populer. Padahal seseorang memang bisa menjelma menjadi ‘manusia renaissance’, sebuah istilah merujuk alaf aufkalarung yang melahirkan sosok semacam Leonardo da Vinci; tak hanya sebagai pelukis, juga arsitek dan saintek. Sebaliknya, situasi itu menjadi ironi pada zaman kita kini. Tidak jarang orang menyandang status macam-macam hanya karena aji mumpung, tapi diterima dengan tangan terbuka.
Latar itulah agaknya yang membuat Pram dianggap tak pernah menulis naskah drama. Saya sendiri tidak tahu seberapa banyak naskah drama yang pernah ditulis Pramoedya. Saya hanya bertemu naskah drama Mangir terbitan KPG tahun 2005. Naskah dramanya yang lain ialah Calon Arang. Sedangkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan, juga memiliki unsur panggung, sebagaimana Pram menyarankan pada pengantarnya bahwa naskah tersebut bisa dipentaskan.
Terlepas dari itu, saya tertarik membicarakan naskah drama Pramoedya berjudul Mangir. Lewat satu naskah itu saja sudah cukup bagi kita menaruh hormat atas kemampuannya mengolah genre sastra yang lain, di luar prediketnya sebagai novelis dan itu bukan aji mumpung! Hanya saja, sungguh disayangkan Pram tidak menekuni drama lebih lanjut. Dapat dibayangkan, jika kiprahnya di dalam drama seperti kiprahnya di dalam prosa, mungkin gagasannya memiliki ruang lain yang langsung dapat disaksikan.
Di tengah keterbatasan naskah drama di tanah air, kelompok teater kita memilih mementaskan drama terjemahan atau mendaur-ulang naskah-naskah dalam negeri yang nyaris usang. Sayang Mangir yang menarik luput dipentaskan. Sepanjang pengetahuan saya, Mangir baru dua kali dipentaskan, pertama di Yogyakarta oleh kelompok teater Bandung (saya lupa namanya, tapi sempat saya saksikan) dan satu lagi kelompok teater di Jakarta.
Drama Kehidupan
Dalam masa pembuangannya, banyak karya Pram telah hilang, baik dirampas oleh militer maupun tercecer dalam perpindahannya dari penjara ke penjara. Mangir yang ditulis Pram di Pulau Buru sekitar tahun 1976, termasuk karya yang sempat hilang. Ucapan terima kasih Pram kepada Gereja Katholik Namlea dan Universitas Cornell, Ithaca, sekaligus menyatakan bahwa kedua lembaga itu telah menyelamatkan karyanya tersebut. Sebuah drama lain segera membayang begitu unsur ekstrinsik karya ini disinggung, ialah drama kehidupan Pram sendiri yang panjang, tak terperi. Kehidupannya dalam merumuskan konsep-konsep ideologis dan estetika yang dipanggulnya, ternyata telah menjadi alur kisah yang sangat dramatik.
Jika teater hadir sebagai ‘subversi’ atas kehidupan yang mapan, sebagaimana pernah dinyatakan Yudi Ahmad Tajuddin, maka drama hidup Pram memperlihatkan subversi yang kelewat tajam. Sebagai ‘aktor kehidupan’ jelas ia tidak bermain dalam tertib dramaturgis sebagaimana Studi Teater Bandung (STB) di bawah arahan Suyatna Anirun, tidak pula dalam kapasitas teror mental sebagaimana Teater Mandiri Putu Wijaya, atau rujukan teater lainnya. Drama Pram adukan itu semua: keakraban pada realisme sosial yang mengakar pada masyarakatnya, namun prakteknya absurd, jungkir-balik. Ia ditangkap, dijerumuskan ke penjara lalu dibuang sebagai tahanan politik tanpa pengadilan. Namun drama kehidupan itu telah meninggalkan narasi besar dalam sosok kepengarangannya, lebih dari sekedar curicculum vitae.
Ini analog dengan narasi besar dalam berbagai bidang seperti sejarah dan politik, yang bukan kebetulan selalu disentuh Pram. Ya, Pramoedyalah pengarang yang berani dan berhasil mengolah narasi-narasi besar ke dalam karyanya, di tengah barisan pengarang di zona nyaman tema-tema kecil-ringan. Bukan berarti tema kecil tak berarti, namun realitas negara ketiga yang belum lepas dari kolonialisme, rasa-rasanya tema besar sangat dibutuhkan. Dan itu diambil Pram, nyaris sendirian. Soal kebangsaan, pergerakan, identitas, pemerdekaan manusia dan visi negara merdeka, bukankah memang itu yang terus-menerus bergaung di dalam karyanya?
Latar Mangir
Naskah Mangir (Pram menyebutnya Cerpang= Cerita panggung) merupakan drama tiga babak yang mengangkat kisah perseteruan Mataram dengan Perdikan Mangir. Waktu kisah merujuk masa awal kekuasaan Panembahan Senopati (1575-1601). Suatu masa di mana Mataram dalam proses babat alas, setelah Ki Ageng Pamanahan (ayahnda Senopati) beroleh kompensasi ‘hak pakai’ lahan dari Demak. Tambahan ‘konflik keluarga’ dengan Pajang, membuat lahan Mataram benar-benar terbuka (Savitri Scherer, dalam Prakata Mangir).
Namun di sisi lain, tanah perdikan sebagai sisa warisan Majapahit masih berdiri. Mangir merupakan salah satunya. Wilayah di bantaran Kali Bedog dan Progo itu diperkirakan mendapat status perdikan semasa Perang Paregreg (Majapahit vs Blambangan) lantaran keikutsertaannya melawan Bhre Wirabumi.
Karena sudah memiliki sistem pemerintahannya sendiri yang teratur, Perdikan Mangir tak mudah diatur apalagi tunduk kepada Mataram. Akibatnya Senopati beberapa kali mengirim pasukan, namun dapat dikalahkan pasukan Mangir di bawah pemimpinnya, Wanabaya. Tak mau kehilangan muka untuk kesekian kali, Senopati menempuh cara lain. Ia mengirim telik sandi (mata-mata), namun selalu terungkap atas kecerdikan Baru Klinting, tetua Mangir, dan Suriwang, si pandai tombak. Senopati akhirnya mengirim anaknya sendiri, Putri Pembayun, yang menyamar sebagai ledhek (penari tayub).
Putri Pembayun (artinya Putri Tertua) berangkat bersama rombongan yang dipimpin langsung Ki Juru Martani, pujangga dan penasehat Mataram. Demikianlah akhirnya, Ki Ageng Mangir Wanabaya terpikat, dan si penari pun jatuh hati melebihi tujuan sebagai telik sandi. Percintaan murni mereka menimbulkan konflik tidak saja dalam rombongan tayub, juga di kalangan tetua Mangir sendiri, terutama beberapa demang yang mencium gelagat bahaya. Apa lacur, Pambayun hamil, dan dengan sifat ksatrianya Wanabaya melamarnya langsung ke Mataram. Saat bersujud di kaki calon mertuanya itulah, Senopati yang dendam segera membenturkan kepala calon menantu ke watu gilang (batu landasan).
Pertanggungjawaban
Cerpang Mangir dilengkapi ‘’Pertanggungjawaban’’ Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang. Ulasannya sangat panjang, berangkat dari wawasan sejarah yang kaya, persoalan yang melingkupi serta visi-misinya menulis Mangir. Boleh dikata pertanggungjawaban semacam ini jarang ada di dalam naskah drama Indonesia. Paling tidak keutuhannya menjelaskan tak hanya konsep estetik, juga ideologis. Di sana dapat dibaca kegelisahan Pram melihat Mangir berhadapan dengan Mataram yang ingin menjadi penguasa tunggal di Jawa. Sebuah kegelisahan yang analog dengan obsesinya untuk terus-menerus melihat bagaimana kekuasaan bekerja dan bagaimana seharusnya kita bersikap.
Pram mempertanyakan kenapa kisah Mangir terlalu lama tidak ditulis, bahkan juga lenyap dalam khazanah sastra Jawa kuno, seolah pujangga istana menganggap kejadian itu tak perlu diabadikan. Padahal Ki Juru Martani, penasehat utama Mataram, adalah juga seorang pujangga yang berjuluk Tumenggung Mandaraka. Jika pun ada ditulis, lebih banyak dalam bentuk sanepa alias kiasan sehingga tafsirnya menjadi bermacam-macam dan melenceng dari inti kisah yang sebenarnya. Pram sendiri mencoba merekonstruksi mitos-mitos, dongeng, dan sanepa di dalam dramaturgi Mataram abad ke-15 ini. Ia misalnya dengan jeli melihat bahwa ada feodalisme Hindu sebelum kemudian feodalisme Islam, meskipun tidak ditegaskan apakah potensi feodalisme itu ada pada agama ataukah lantaran pelembagaan agama, atau mungkin karena adat.
Pram menafsirkan banyak hal sampai ke persoalan etimologi, seperti nama taktik perang, atau asal kata nama tokoh Baru Klinting. Baru kemungkinan berasal dari kata beri, yakni gong besar sebagai kelengkapan perang; dan klinting bisa berarti giring-giring atau bunyinya. Baru bisa pula berasal dari kata bahu, bahuning praja (pelaksana perintah negara); bahu desa (tangan kanan kepala desa), atau bisa saja baru berasal dari kata baro yang artinya barongsai atau barong. Dalam sejumlah kemungkinan itu, Pram mengambil yang paling mendekati, yakni bahu, sebab Baru Klinting aktif dalam mengatur Perdikan Mangir bersama saudaranya yang menjadi Ki Ageng (gelar turun-temurun), Wanabaya.
Terhadap cerita rakyat yang menyatakan bahwa Baru Klinting adalah keris pusaka yang berasal dari lidah ular sakti yang melingkari Gunung Merapi, Pram memaknainya sebagai kemampuan diplomasi. Ini justru kian memperkuat status Baru Klinting sebagai bahuning praja, dan dengan itu ia merasionalisasi mitos menjadi tokoh yang ‘berdarah-daging’ bernama Baru Klinting. Bahkan kematian Ki Ageng Mangir Wanabaya yang selama ini dipercayai di watu gilang, diubah Pram dengan cara yang lebih wajar. Tidak dengan cara dibenturkan, namun dikepung pasukan istana Mataram yang membuat Wanabaya tak berkutik. Menariknya, meskipun Pram mengaku tidak suka wayang, namun sumber referensi yang ia ajukan juga berasal dari Sedjarah Wayang Purwa yang disusun Hardjowirgo, 1965. Tampaknya, persoalan suka atau tidak suka bagi Pram bukan berarti menutup upaya untuk tetap mempelajari segala sesuatu.
Baik di dalam ‘’pertanggung jawaban’’ maupun di dalam teks dramanya, silsilah mendapat tempat terhormat. Tidak hanya silsilah raja yang berkuasa, katakanlah Pamanahan-Senopati, juga tokoh-tokoh Mangir, mendapatkan asal-usulnya dengan jelas. Selain menjelaskan asal-usul Baru Klinting, status dan silsilah Wanabaya tidaklah ahistoris. Ini sepadan dengan obsesi Pram yang memiliki penghormatan tinggi pada sejarah. Itulah sebabnya, setiap kali ia menyebut nama tokoh yang berkuasa atau peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, selalu diikuti angka tahun. Misalnya, masa pemerintahan Panembahan Senopati (1575-1601), Sultan Agung (1613-1645), pemerintahan Gubernur Jendral Van Heutsz (1904-1909) dan seterusnya.
Aspek Dramaturgis
Selain detail dan jelas menuliskan ‘’pertanggung jawaban’’, Pram juga cermat membuat petunjuk pentas, tidak hanya karakter para pelaku, tetapi bahkan profil dan kostum pelaku ia cantumkan lengkap dengan gambarnya. Dari sini tampak bahwa Pram tidak ingin naskahnya ditafsirkan ‘terlalu jauh’ -sebab bukankah visi-misinya sudah begitu jelas dalam pertanggungjawaban? Tersirat juga keinginannya yang kuat untuk mengembalikan teks kepada posisi yang jelas. Tidak sekadar permainan tafsir yang kadang kian menjauhkan dari kenyataan, setidaknya realitas panggung yang ia bayangkan. Ini merupakan upaya mengawal ide sampai ‘titik darah penghabisan’.
Hal menarik lainnya dari drama ini adalah hampir semua tokohnya berusia muda. Sebutlah Wanabaya, sebagai Ki Ageng, kita pasti membayangkan bahwa ia sudah tua. Tapi ternyata tidak. Meskipun Wanabaya panglima dan tua Perdikan, usianya + 23 tahun. Ini pun ditegaskan di dalam cerita bahwa Wanabaya adalah Ki Ageng Mangir Muda yang karena kemampuan dan wibawanya lantas terpilih (bukan turunan) sebagai pemimpin Mangir.
Ada pun Baru Klinting, ahli siasat Mangir, berusia 26 tahun. Hanya Suriwang yang berusia 50 tahun, tapi posisinya disebutkan ‘fanatik Baru Klinting’, yang bisa diartikan bahwa Mangir tetap dipimpin orang muda. Tokoh-tokoh lain dari kubu Mataram juga demikian. Putri Pembayun, tokoh yang awalnya antagonis (dalam persfektif Mangir) lantas jadi protogonis lantaran ‘cinta murni’-nya yang bebas kekuasaan, berumur + 16 tahun. Pendek kata, pemegang kunci cerita, terutama yang memiliki proyeksi ke depan, merupakan anak muda berusia antara 16-30 tahun. Ini tentu bukan kebetulan. Kita tahu, Pram sudah lama mengangkat profil kaum muda dalam narasi besar kepemimpinan masa depan!
Jelaslah, drama Mangir menyusupkan ideologi humanisme Pram dari berbagai aspek mana pun. Aneh, ini membuat saya merenung: mengapa sekarang begitu banyak pentas-pentas teater mewah-kolosal diadakan, tapi hanya mengusung dagelan, lelucon dan gaya hidup? Mengapa sekarang berhamburan novel-novel berlatar-belakang sejarah tetapi kehilangan misi sejarah, dan justru kian mengukuhkan ‘mitos-mitos kecemasan’? Apakah karena proyek-proyek itu dikerjakan tanpa visi yang kuat? n
Raudal Tanjung Banua, Koordinator Komunitas Rumahlebah Yogyakarta
Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Mei 2013
PRAMOEDYA Ananta Toer (Blora, 6 Februari 1925-Jakarta, 30 April 2006) tersohor sebagai novelis kenamaan Indonesia. Di tanah air kita yang masih bermasalah dengan identitas, sebuah status tak jarang menenggelamkan status yang lain. Meskipun seseorang punya potensi besar menyandang beberapa status sekaligus, baik karena bakatnya yang besar, etos kerjanya yang baik maupun tuntutan zaman yang mengharuskannya demikian. Selain lintas ilmu dan profesi, di dalam kesenian juga ada sosok yang menekuni semua genre secara bersamaan. Misalnya, sastrawan yang menulis puisi, cerpen, novel, drama, bahkan sekaligus sebagai pelukis.
Tapi potensi tersebut tidak jarang terhalangi oleh potensi yang lain, sehingga identitasnya kerap kali diringkas dalam satu status paling populer. Padahal seseorang memang bisa menjelma menjadi ‘manusia renaissance’, sebuah istilah merujuk alaf aufkalarung yang melahirkan sosok semacam Leonardo da Vinci; tak hanya sebagai pelukis, juga arsitek dan saintek. Sebaliknya, situasi itu menjadi ironi pada zaman kita kini. Tidak jarang orang menyandang status macam-macam hanya karena aji mumpung, tapi diterima dengan tangan terbuka.
Latar itulah agaknya yang membuat Pram dianggap tak pernah menulis naskah drama. Saya sendiri tidak tahu seberapa banyak naskah drama yang pernah ditulis Pramoedya. Saya hanya bertemu naskah drama Mangir terbitan KPG tahun 2005. Naskah dramanya yang lain ialah Calon Arang. Sedangkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan, juga memiliki unsur panggung, sebagaimana Pram menyarankan pada pengantarnya bahwa naskah tersebut bisa dipentaskan.
Terlepas dari itu, saya tertarik membicarakan naskah drama Pramoedya berjudul Mangir. Lewat satu naskah itu saja sudah cukup bagi kita menaruh hormat atas kemampuannya mengolah genre sastra yang lain, di luar prediketnya sebagai novelis dan itu bukan aji mumpung! Hanya saja, sungguh disayangkan Pram tidak menekuni drama lebih lanjut. Dapat dibayangkan, jika kiprahnya di dalam drama seperti kiprahnya di dalam prosa, mungkin gagasannya memiliki ruang lain yang langsung dapat disaksikan.
Di tengah keterbatasan naskah drama di tanah air, kelompok teater kita memilih mementaskan drama terjemahan atau mendaur-ulang naskah-naskah dalam negeri yang nyaris usang. Sayang Mangir yang menarik luput dipentaskan. Sepanjang pengetahuan saya, Mangir baru dua kali dipentaskan, pertama di Yogyakarta oleh kelompok teater Bandung (saya lupa namanya, tapi sempat saya saksikan) dan satu lagi kelompok teater di Jakarta.
Drama Kehidupan
Dalam masa pembuangannya, banyak karya Pram telah hilang, baik dirampas oleh militer maupun tercecer dalam perpindahannya dari penjara ke penjara. Mangir yang ditulis Pram di Pulau Buru sekitar tahun 1976, termasuk karya yang sempat hilang. Ucapan terima kasih Pram kepada Gereja Katholik Namlea dan Universitas Cornell, Ithaca, sekaligus menyatakan bahwa kedua lembaga itu telah menyelamatkan karyanya tersebut. Sebuah drama lain segera membayang begitu unsur ekstrinsik karya ini disinggung, ialah drama kehidupan Pram sendiri yang panjang, tak terperi. Kehidupannya dalam merumuskan konsep-konsep ideologis dan estetika yang dipanggulnya, ternyata telah menjadi alur kisah yang sangat dramatik.
Jika teater hadir sebagai ‘subversi’ atas kehidupan yang mapan, sebagaimana pernah dinyatakan Yudi Ahmad Tajuddin, maka drama hidup Pram memperlihatkan subversi yang kelewat tajam. Sebagai ‘aktor kehidupan’ jelas ia tidak bermain dalam tertib dramaturgis sebagaimana Studi Teater Bandung (STB) di bawah arahan Suyatna Anirun, tidak pula dalam kapasitas teror mental sebagaimana Teater Mandiri Putu Wijaya, atau rujukan teater lainnya. Drama Pram adukan itu semua: keakraban pada realisme sosial yang mengakar pada masyarakatnya, namun prakteknya absurd, jungkir-balik. Ia ditangkap, dijerumuskan ke penjara lalu dibuang sebagai tahanan politik tanpa pengadilan. Namun drama kehidupan itu telah meninggalkan narasi besar dalam sosok kepengarangannya, lebih dari sekedar curicculum vitae.
Ini analog dengan narasi besar dalam berbagai bidang seperti sejarah dan politik, yang bukan kebetulan selalu disentuh Pram. Ya, Pramoedyalah pengarang yang berani dan berhasil mengolah narasi-narasi besar ke dalam karyanya, di tengah barisan pengarang di zona nyaman tema-tema kecil-ringan. Bukan berarti tema kecil tak berarti, namun realitas negara ketiga yang belum lepas dari kolonialisme, rasa-rasanya tema besar sangat dibutuhkan. Dan itu diambil Pram, nyaris sendirian. Soal kebangsaan, pergerakan, identitas, pemerdekaan manusia dan visi negara merdeka, bukankah memang itu yang terus-menerus bergaung di dalam karyanya?
Latar Mangir
Naskah Mangir (Pram menyebutnya Cerpang= Cerita panggung) merupakan drama tiga babak yang mengangkat kisah perseteruan Mataram dengan Perdikan Mangir. Waktu kisah merujuk masa awal kekuasaan Panembahan Senopati (1575-1601). Suatu masa di mana Mataram dalam proses babat alas, setelah Ki Ageng Pamanahan (ayahnda Senopati) beroleh kompensasi ‘hak pakai’ lahan dari Demak. Tambahan ‘konflik keluarga’ dengan Pajang, membuat lahan Mataram benar-benar terbuka (Savitri Scherer, dalam Prakata Mangir).
Namun di sisi lain, tanah perdikan sebagai sisa warisan Majapahit masih berdiri. Mangir merupakan salah satunya. Wilayah di bantaran Kali Bedog dan Progo itu diperkirakan mendapat status perdikan semasa Perang Paregreg (Majapahit vs Blambangan) lantaran keikutsertaannya melawan Bhre Wirabumi.
Karena sudah memiliki sistem pemerintahannya sendiri yang teratur, Perdikan Mangir tak mudah diatur apalagi tunduk kepada Mataram. Akibatnya Senopati beberapa kali mengirim pasukan, namun dapat dikalahkan pasukan Mangir di bawah pemimpinnya, Wanabaya. Tak mau kehilangan muka untuk kesekian kali, Senopati menempuh cara lain. Ia mengirim telik sandi (mata-mata), namun selalu terungkap atas kecerdikan Baru Klinting, tetua Mangir, dan Suriwang, si pandai tombak. Senopati akhirnya mengirim anaknya sendiri, Putri Pembayun, yang menyamar sebagai ledhek (penari tayub).
Putri Pembayun (artinya Putri Tertua) berangkat bersama rombongan yang dipimpin langsung Ki Juru Martani, pujangga dan penasehat Mataram. Demikianlah akhirnya, Ki Ageng Mangir Wanabaya terpikat, dan si penari pun jatuh hati melebihi tujuan sebagai telik sandi. Percintaan murni mereka menimbulkan konflik tidak saja dalam rombongan tayub, juga di kalangan tetua Mangir sendiri, terutama beberapa demang yang mencium gelagat bahaya. Apa lacur, Pambayun hamil, dan dengan sifat ksatrianya Wanabaya melamarnya langsung ke Mataram. Saat bersujud di kaki calon mertuanya itulah, Senopati yang dendam segera membenturkan kepala calon menantu ke watu gilang (batu landasan).
Pertanggungjawaban
Cerpang Mangir dilengkapi ‘’Pertanggungjawaban’’ Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang. Ulasannya sangat panjang, berangkat dari wawasan sejarah yang kaya, persoalan yang melingkupi serta visi-misinya menulis Mangir. Boleh dikata pertanggungjawaban semacam ini jarang ada di dalam naskah drama Indonesia. Paling tidak keutuhannya menjelaskan tak hanya konsep estetik, juga ideologis. Di sana dapat dibaca kegelisahan Pram melihat Mangir berhadapan dengan Mataram yang ingin menjadi penguasa tunggal di Jawa. Sebuah kegelisahan yang analog dengan obsesinya untuk terus-menerus melihat bagaimana kekuasaan bekerja dan bagaimana seharusnya kita bersikap.
Pram mempertanyakan kenapa kisah Mangir terlalu lama tidak ditulis, bahkan juga lenyap dalam khazanah sastra Jawa kuno, seolah pujangga istana menganggap kejadian itu tak perlu diabadikan. Padahal Ki Juru Martani, penasehat utama Mataram, adalah juga seorang pujangga yang berjuluk Tumenggung Mandaraka. Jika pun ada ditulis, lebih banyak dalam bentuk sanepa alias kiasan sehingga tafsirnya menjadi bermacam-macam dan melenceng dari inti kisah yang sebenarnya. Pram sendiri mencoba merekonstruksi mitos-mitos, dongeng, dan sanepa di dalam dramaturgi Mataram abad ke-15 ini. Ia misalnya dengan jeli melihat bahwa ada feodalisme Hindu sebelum kemudian feodalisme Islam, meskipun tidak ditegaskan apakah potensi feodalisme itu ada pada agama ataukah lantaran pelembagaan agama, atau mungkin karena adat.
Pram menafsirkan banyak hal sampai ke persoalan etimologi, seperti nama taktik perang, atau asal kata nama tokoh Baru Klinting. Baru kemungkinan berasal dari kata beri, yakni gong besar sebagai kelengkapan perang; dan klinting bisa berarti giring-giring atau bunyinya. Baru bisa pula berasal dari kata bahu, bahuning praja (pelaksana perintah negara); bahu desa (tangan kanan kepala desa), atau bisa saja baru berasal dari kata baro yang artinya barongsai atau barong. Dalam sejumlah kemungkinan itu, Pram mengambil yang paling mendekati, yakni bahu, sebab Baru Klinting aktif dalam mengatur Perdikan Mangir bersama saudaranya yang menjadi Ki Ageng (gelar turun-temurun), Wanabaya.
Terhadap cerita rakyat yang menyatakan bahwa Baru Klinting adalah keris pusaka yang berasal dari lidah ular sakti yang melingkari Gunung Merapi, Pram memaknainya sebagai kemampuan diplomasi. Ini justru kian memperkuat status Baru Klinting sebagai bahuning praja, dan dengan itu ia merasionalisasi mitos menjadi tokoh yang ‘berdarah-daging’ bernama Baru Klinting. Bahkan kematian Ki Ageng Mangir Wanabaya yang selama ini dipercayai di watu gilang, diubah Pram dengan cara yang lebih wajar. Tidak dengan cara dibenturkan, namun dikepung pasukan istana Mataram yang membuat Wanabaya tak berkutik. Menariknya, meskipun Pram mengaku tidak suka wayang, namun sumber referensi yang ia ajukan juga berasal dari Sedjarah Wayang Purwa yang disusun Hardjowirgo, 1965. Tampaknya, persoalan suka atau tidak suka bagi Pram bukan berarti menutup upaya untuk tetap mempelajari segala sesuatu.
Baik di dalam ‘’pertanggung jawaban’’ maupun di dalam teks dramanya, silsilah mendapat tempat terhormat. Tidak hanya silsilah raja yang berkuasa, katakanlah Pamanahan-Senopati, juga tokoh-tokoh Mangir, mendapatkan asal-usulnya dengan jelas. Selain menjelaskan asal-usul Baru Klinting, status dan silsilah Wanabaya tidaklah ahistoris. Ini sepadan dengan obsesi Pram yang memiliki penghormatan tinggi pada sejarah. Itulah sebabnya, setiap kali ia menyebut nama tokoh yang berkuasa atau peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, selalu diikuti angka tahun. Misalnya, masa pemerintahan Panembahan Senopati (1575-1601), Sultan Agung (1613-1645), pemerintahan Gubernur Jendral Van Heutsz (1904-1909) dan seterusnya.
Aspek Dramaturgis
Selain detail dan jelas menuliskan ‘’pertanggung jawaban’’, Pram juga cermat membuat petunjuk pentas, tidak hanya karakter para pelaku, tetapi bahkan profil dan kostum pelaku ia cantumkan lengkap dengan gambarnya. Dari sini tampak bahwa Pram tidak ingin naskahnya ditafsirkan ‘terlalu jauh’ -sebab bukankah visi-misinya sudah begitu jelas dalam pertanggungjawaban? Tersirat juga keinginannya yang kuat untuk mengembalikan teks kepada posisi yang jelas. Tidak sekadar permainan tafsir yang kadang kian menjauhkan dari kenyataan, setidaknya realitas panggung yang ia bayangkan. Ini merupakan upaya mengawal ide sampai ‘titik darah penghabisan’.
Hal menarik lainnya dari drama ini adalah hampir semua tokohnya berusia muda. Sebutlah Wanabaya, sebagai Ki Ageng, kita pasti membayangkan bahwa ia sudah tua. Tapi ternyata tidak. Meskipun Wanabaya panglima dan tua Perdikan, usianya + 23 tahun. Ini pun ditegaskan di dalam cerita bahwa Wanabaya adalah Ki Ageng Mangir Muda yang karena kemampuan dan wibawanya lantas terpilih (bukan turunan) sebagai pemimpin Mangir.
Ada pun Baru Klinting, ahli siasat Mangir, berusia 26 tahun. Hanya Suriwang yang berusia 50 tahun, tapi posisinya disebutkan ‘fanatik Baru Klinting’, yang bisa diartikan bahwa Mangir tetap dipimpin orang muda. Tokoh-tokoh lain dari kubu Mataram juga demikian. Putri Pembayun, tokoh yang awalnya antagonis (dalam persfektif Mangir) lantas jadi protogonis lantaran ‘cinta murni’-nya yang bebas kekuasaan, berumur + 16 tahun. Pendek kata, pemegang kunci cerita, terutama yang memiliki proyeksi ke depan, merupakan anak muda berusia antara 16-30 tahun. Ini tentu bukan kebetulan. Kita tahu, Pram sudah lama mengangkat profil kaum muda dalam narasi besar kepemimpinan masa depan!
Jelaslah, drama Mangir menyusupkan ideologi humanisme Pram dari berbagai aspek mana pun. Aneh, ini membuat saya merenung: mengapa sekarang begitu banyak pentas-pentas teater mewah-kolosal diadakan, tapi hanya mengusung dagelan, lelucon dan gaya hidup? Mengapa sekarang berhamburan novel-novel berlatar-belakang sejarah tetapi kehilangan misi sejarah, dan justru kian mengukuhkan ‘mitos-mitos kecemasan’? Apakah karena proyek-proyek itu dikerjakan tanpa visi yang kuat? n
Raudal Tanjung Banua, Koordinator Komunitas Rumahlebah Yogyakarta
Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Mei 2013
No comments:
Post a Comment