Sunday, May 26, 2013

[Tifa] Evawani Hadir Mengenang si Binatang Jalang

KEPENYAIRAN Chairil Anwar masih menjadi sebuah daya magis yang terus diperbincangkan. Keberadaan ‘si binatang jalang’ itu semakin menjadi simbol kebebasan dalam dunia kesusastraan, terutama sajak.

CHAIRIL ANWAR DALAM KENANGAN: Penyair Sutardji Calzoum Bachri tampil
dalam acara "Chairil Anwar Dalam Kenangan" di Teater Kecil Taman Ismail
Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, Kamis (23/5). Acara tersebut merupakan
kegiatan untuk mengenang penyair besar Chairil Anwar yang karyanya
sangat berpengaruh dalam dunia perpuisian Indonesia dan terus bertahan
hingga saat ini. (MI/IMMANUEL ANTONIUS)
Lewat malam mengenang Chairil bertajuk Chairil Anwar dalam Kenangan, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini, sederet penyair mencoba mengenang dia lewat kata.

Mereka mengumandangkan petilan-petilan sajak-sajak yang Chairil buat semasa hidupnya. Setiap hembusan kata masih enak didengar, merdu dilantunkan, dan tentunya penuh kritikan.

“Saya mengenal ayah (Chairil Anwar) dari cerita HB Jassin, Asrul Sani, dan Rosihan Anwar. Saya ditinggal ayah saat usia 1 tahun 10 bulan. Saya baru tahu ayah saya pada kelas 3 SD,” ujar putri Chairil Anwar, Evawani Alissa, di sela-sela acara tersebut.

Eva, yang terlahir dari ibunda Hapsah, merasa terharu dengan pergelaran malam mengenang Chairil tersebut. Untuk itulah, ia berharap para seniman dapat menjadikan peristiwa itu sebagai sebuah momen yang bersejarah. “Saya seakan kehilangan kata-kata,” tuturnya, datar.

Pada acara tersebut, sederet penyair hadir membacakan karya-karya Chairil. Mereka antara lain Leon Agusta, Fatin Hamama, dan Jose Rizal Manua. Ada pula Sutardji Calzoum Bachri hadir dengan memberikan orasi kesusastraan. Keberadaan sajak-sajak Chairil masih terdengar merdu. Leon, misalnya, lantang membacakan Catatan Tahun 1946. Ia terlihat menjiwai dalam membacakan petilan syair-syair yang sangat melegenda itu.

Pada kesempatan tersebut, sajak-sajak lain juga dibacakan, seperti Aku dan Sebuah Kamar. Dua ratusan penonton yang hadir cukup antusias memberikan apresiasi. Ini menjadi penampilan cukup 'megah'.

Pada 2012, acara mengenang Chairil hanya dilakukan ala kadarnya di Plaza Taman Ismail Marzuki. Saat itu, Sutardji juga turut hadir membacakan beberapa sajak Chairil.

Simbol kebebasan

Kendati sebagai sosok yang ‘diagungkan’ dan simbol kebebasan pada zamannya, sajak-sajak Chairil masih memiliki relevansi dengan kehidupan masa kini. Sajak Aku, misalnya, begitu kental dengan kondisi hidup individualistis yang tanpa disadari terjadi di sekitar kita. “Sangat penting untuk mengenang Chairil. Ini menjadi hal menarik untuk melihat sisi kreativitas sang tokoh angkatan '45 itu,” ujar Sutardji.

Perhelatan acara tersebut juga menjadi penting. Apalagi, kita akan merayakan Hari Sastra Nasional pada 3 Juli mendatang. “Senang bila dalam Hari Sastra nanti, Nini (panggilan untuk Chairil) masih dikenang oleh dunia sastra Indonesia,” timpal Evawani, yang hadir menggunakan tongkat, malam itu.

Kehadiran para penyair, simpatisan, hingga Evawani sendiri dalam acara tersebut menjadi bukti penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Sebuah perayaan yang sederhana, tetapi bermakna.

Direktur Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki Bambang Subekti mengaku penyelanggaraan malam mengenang Chairil menjadi penting. “Sekarang masih sederhana. Ini sudah lebih baik dari tahun lalu. Tahun depan, acara ini bisa dilakukan dalam skala besar,” janjinya.

Meski Chairil sudah meninggal pada 28 April 1949 silam, namanya selalu harum dan senantiasa dikenang. Karya-karyanya masih terus diperbincangkan dan dibacakan selayaknya harum mawar yang tetap mewangi di sebuah taman hati. (Iwa/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Mei 2013


No comments: