Sunday, May 19, 2013

[Jendela Buku] Perjuangan Seorang Ayah Tunggal

-- Thalatie K Yani

Pada saatnya, kita memang harus sendiri. Jangan menggantungkan diri pada siapa pun.

TANGIS Rajendra Mada Prawira pecah ketika Arjuna Dewangga masuk dan mengucapkan selamat malam. Sambil memeluk foto ibunya, Keisha Mizuki, yang berukuran 10 R berpigura kayu, ia terisak ingin bertemu dengan ibunya dalam mimpi.

Tangis bocah kelas dua sekolah dasar (SD) itu kian pecah karena sedih ketika sang ayah tidak merespons ajakannya untuk menemaninya tidur agar bisa sama-sama memimpikan Keisha. Juna tertegun sambil menahan tangis saat memandang putra semata wayangnya. Ia pun memilih untuk tidur bersama dengan Mada.

Kerinduan Mada akan ibunya dan upaya Juna mengisi posisi sang ibu yang sudah tiada menjadi inti dari buku berjudul Ayah, Menyayangi tanpa Akhir (AMTA), karya Kirana Kejora, ini. Buku terbitan Zettu ini menggambarkan detail hubungan seorang bapak tunggal membesarkan anaknya. Termasuk ketika Arjuna hampir lupa ulang tahun pertama Mada karena kesibukannya sebagai apoteker, tetapi kembali diingatkan dengan panggilan 'ayah' yang membangunkannya di pagi hari.

Seiring dengan bertambahnya usia, kedua pria beda generasi itu memiliki beberapa kesamaan, seperti menyukai musik cadas dan mobil balap. Namun, satu hal yang ditanamkan Juna kepada Mada sejak kecil ialah berbagi dengan anak-anak di Panti Asuhan.

Tanpa restu

Menjadi orangtua tunggal di usia muda mungkin sama sekali tidak terlintas di pikiran Arjuna Dewangga ketika ia memutuskan menikahi perempuan Jepang, Keisha Mizuki. Pertemuan kedua insan beda negara itu berawal ketika Rosa, teman Arjuna, mengatakan ada mahasiswi Jepang yang ingin meminjam buku tentang Gajah Mada.

Dari pertemuan itu, secara perlahan mereka mulai saling mengenal. Hingga akhirnya mahasiswa jurusan farmasi yang kala itu berusia 19 tahun tersebut memutuskan meminang Keisha, karena ia menolak melakukan perjodohan yang telah direncanakan keluarganya.

Keluarga Arjuna yang notabene darah biru menolak Keisha yang berasal dari Negeri Sakura, negara yang sempat menjajah Indonesia. Bahkan saat peperangan, kakek dari sang ibu dibunuh tentara Jepang.

Hal sebaliknya juga dialami keluarga Keisha. Padahal Arjuna datang ke Jepang meminta restu. Namun, hanya tanggapan dingin yang ia terima dari keluarga Keisha. Keisha, yang bertujuan awal melakukan penelitian arkeologi di Indonesia, diminta keluarganya untuk kembali ke Jepang.

Enam bulan setelah pernikahan sederhana yang berlangsung di masjid kecil di daerah Kuningan Karang Malang, Keisha hamil. Dua nama telah disiapkan, Rajendra Mada Prawira untuk anak lelaki dan Arke Padma Nawangwulan bila perempuan. Kelahiran anak yang dinantikan ternyata di luar perkiraan. Keisha yang kelelahan terjatuh dan mengalami perdarahan. Seorang anak lelaki hadir ke dunia, diiringi tangisan Arjuna karena Keisha menghembuskan nafas terakhirnya di meja operasi.

Budaya

Setelah diusir dari keluarganya, Juna tidak pernah menapakkan kaki ke Solo. Menyambangi Yogyakarta pun hanya dilakukan setahun sekali untuk nyekar ke makam Keisha. Namun demi permintaan Mada, mereka pun melakukan perjalanan dengan mobil ke Yogyakarta.

Dalam perjalanan itu, sejumlah cerita dan sejarah Kota Yogyakarta, Malioboro, dan Keraton Surakarta juga digambarkan. Termasuk Candi Prambanan dan cerita pewayangan seperti Gatotkaca, serta kuliner khas Yogya, gudeg. Semua diceritakan secara runut dan tidak menggurui.

Salah satu yang menarik perhatian ialah filosofi elang, yang diajarkan Juna kepada Mada ketika berada di Vila Elang Matahari di kawasan Tajur Halang Pojok, Bogor, yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sambil minum kopi di teras yang menghadap Gunung Pangrango itu, Juna menjelaskan tentang elang.

Ketika ia berumur 40 tahun, hanya ada dua pilihan dalam hidupnya. Satu, dia menunggu ajal tiba, atau rela menderita selama 120 hari untuk pembaharuan hidupnya ke depan, (hlm 168).

Dalam 120 hari itu, elang menyepi ke puncak gunung mematuk paruhnya yang tumpul untuk menumbuhkan paruh baru. Setelah itu digunakannya untuk mencabuti cakar-cakar tua sehingga tumbuh cakar baru. Cakar baru itu digunakan mencabuti seluruh bulunya yang lebar.

Ketika bulunya sudah tumbuh, ia harus menunggu 5 bulan untuk bisa kembali terbang ke angkasa. Cara itu memperbaiki hidupnya selama 30 tahun ke depan. Elang itu bersahabat dengan angin dan badai, karena itu yang membuat terbangnya semakin tinggi. Derita adalah kekuatan! Bukan kematian!" (hlm 169).

Sendiri

Kirana Kejora mengaku proses penulisan buku 369 itu terinspirasi dari sahabatnya yang menceritakan perjuangan seorang ayah tunggal. Ia merawat bayi hingga sang anak beranjak remaja dan wafat karena kanker. "Menyentuh sekali," ujar Kirana kepada Media Indonesia dalam surat elektroniknya di Jakarta, Rabu (1/5).

Ia semakin terinspirasi ketika bertemu dengan apoteker yang hidupnya idealis, juga film I'm Sam, tentang pria cacat mental yang gigih membesarkan bayi perempuan. Perempuan asal Ngawi itu melakukan riset dan wawancara dalam waktu tiga minggu dan revisi lay out satu minggu.

"Total hanya sebulan bersih buat AMTA naik cetak. Baru beredar 2 minggu alhamdulilah, AMTA cetak ulang dan sudah menempati best seller atau recommended book di Gramedia," ujar Kirana yang mengaku kerap mendapatkan permintaan untuk menghadirkan Arjuna. Sayangnya, Arjuna kerap menghilang. "AD (Arjuna Dewangga) sering ngilang, muncul tiba-tiba meninggalkan status di BBM. Status terakhir, 'Jika hujan reda, aku harap pelangimu'," katanya.

Kinara berharap melalui AMTA ia mengingatkan orang bahwa pada saatnya manusia memang harus sendiri. Karenanya, jangan mengantungkan diri pada siapa pun. "Semua harus dihadapi sendiri, mandiri, tetapi juga bisa memberi. Kita lahir sendiri, kembali kepada-Nya pun juga sendiri. Artinya, bersiaplah selalu bertanggung jawab atas kehidupan kita sampai nanti," tandasnya. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013


No comments: