-- Bandung Mawardi
SUNGAI adalah referensi dan representasi lakon peradaban manusia. Sungai sering menjadi pusat lakon-lakon manusia. Sungai pun menjadi jejak peradaban dan saksi ulah manusia untuk merumuskan nasib.
Herman Hesse dalam novel Siddharta mengisahkan sungai sebagai imaji spiritualitas dan biografi manusia. Sungai menentukan kesadaran, pencerahan, keajaiban untuk manusia melakukan refleksi, koreksi, evaluasi, dan autokritik. Sungai menjadi aliran ajaran hidup.
Manusia patut belajar pada sungai untuk menemukan hikmah dan melakoni khalwat sebagai internalisasi nilai-nilai spiritualitas. Imaji sungai dalam novel Siddharta menguatkan nostalgia tradisi kuno dan kearifan lokal. Sungai adalah lakon hidup dan mati.
Siddharta dalam pertobatan dari hedonisme menemukan peristiwa pencerahan ketika menekuni sungai. Sungai itu memberi suara gaib pada Siddharta untuk merenung dan tafakur atas alur hidup. Arus sungai adalah arus hidup manusia. Keheningan dan kelembutan sungai menjadi simbol transendensi batin alam dan manusia.
Siddharta mengalami ketakjuban pada sungai. Sungai menentukan keterbukaan tabir dan misteri hidup. Siddharta ingin tafakur dalam gaib sungai.
Sungai sebagai referensi kesadaran spiritualitas memang identik dengan tradisi kuno dan manifestasi ibadah manusia untuk intim dengan Tuhan. Sungai menjadi representasi dimensi transendensi dan imanensi. Manusia menekuni pengalaman sebagai manusia dengan mencari dan menemukan hikmah-hikmah di sungai. Sungai memberi dan menerima lakon manusia untuk kondisi spiritualitas: hening dan bening.
Ketakjuban Siddharta pada sungai melahirkan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, maut, keabadian, jalan spiritual, biografi, dan sejarah. Optimisme Siddharta tampak dalam sebuah proses pembelajaran dan penemuan, ?Dia belajar dari sungai itu terus-menerus. Dia belajar dari sungai cara mendengarkan, mendengarkan dengan hati bening, dengan jiwa terbuka, tanpa nafsu, tanpa keinginan, tanpa penilaian, dan tanpa pendapat.? Sungai menjadi penentu perubahan arus hidup Siddharta untuk menekuni jalan spiritual.
Imaji sungai pun menemukan kedalaman spiritualitas dalam novel Paulo Coelho berjudul Di Tepi Sungai Lakon Piedra: Aku Duduk dan Tersedu. Novel Paulo Coelho memiliki awal dan akhir di Sungai Piedra. Sungai sebagai duka, sunyi, hening, pencerahan, hasrat, rindu, impian, luka, dan pedih.
Novel liris itu menghadirkan imaji-imaji puitis tentang lakon manusia dan sungai. Sungai Piedra adalah tanda iman, cinta, dan peradaban manusia. Sungai memberi rangsang agar manusia merumuskan diri dan mengurusi nasib.
Paulo Coelho mengusung legenda dan nalar puitis atas kegaiban dan keajaiban sungai. Sungai adalah inspirasi, simbol, saksi, dan tempat untuk peristiwa-peristiwa fenomenal. Paulo Coelho merepresentasikan kisah sungai dalam selubung misteri dan magis. Nostalgia dan utopia ada di tepi Sungai Piedra.
Kisah biografi masa kecil dan kemungkinan perubahan nasib tenggelam dan mengalir dalam sungai. Keinginan atas cinta dan pengabdian diri dalam jalan spiritualitas menjadi kisah haru. Pilihan hidup memberi konsekuensi berat. Sungai Piedra menerima sesal dan impian manusia dalam pilihan-pilihan dilematis untuk cinta dan spiritualitas. Sungai Piedra adalah kisah haru dalam biografi iman manusia atas lakon hidup menuju Tuhan.
Sungai sebagai saksi peradaban dan kisah keluarga China yang hadir dalam novel Bunga Putih di Sungai Kuning garapan Carolin Philips. Novel itu mengisahkan hasrat Lea untuk menelusuri masa lalu dan mencari sosok ibu.
Lea lahir di China di masa penerapan Undang-Undang Keluarga Satu Anak sejak tahun 1979 sampai akhir 1980-an. Tradisi keluarga China juga menginginkan anak pertama itu lelaki. Anak pertama perempuan menjadi perkara genting.
Lea merupakan korban undang-undang dan tradisi. Lea diserahkan si ibu pada pasangan Jerman. Ibu melakukan penyelamatan ketimbang tindakan membunuh atau membuang ke sungai.
Sungai Kuning menjadi saksi dari konsekuensi-konsekuensi peradaban China modern. Lea saat beranjak besar mendapatkan informasi mengenai asal-usul dan kisah-kisah gelap di China. Lea memutuskan melakukan pencarian untuk menemukan ibu dalam rindu dendam.
Penelusuran itu sampai di tepi Sungai Kuning. Rindu dendam Lea luluh. Ibu membeberkan aib atau kisah gelap. Pengakuan ibu membuat Lea sadar dengan masa lalu dan arti kehadiran sebagai seorang China di Jerman. Sungai Kuning adalah ruang pertemuan lahir-batin Lea dengan ibu dalam sendu, cinta, dan kasih.
Sungai dalam misteri dan magis memberi sekian imaji untuk membaca dan menafsirkan hidup. Sungai sebagai imaji memang melahirkan jejaring kisah dari spiritualitas sampai hedonisme. Sungai dalam pengisahan Herman Hesse, Paulo Coelho, dan Carolin Philips adalah imajinasi tentang manusia dan peradaban. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 4 Mei 2013
SUNGAI adalah referensi dan representasi lakon peradaban manusia. Sungai sering menjadi pusat lakon-lakon manusia. Sungai pun menjadi jejak peradaban dan saksi ulah manusia untuk merumuskan nasib.
Herman Hesse dalam novel Siddharta mengisahkan sungai sebagai imaji spiritualitas dan biografi manusia. Sungai menentukan kesadaran, pencerahan, keajaiban untuk manusia melakukan refleksi, koreksi, evaluasi, dan autokritik. Sungai menjadi aliran ajaran hidup.
Manusia patut belajar pada sungai untuk menemukan hikmah dan melakoni khalwat sebagai internalisasi nilai-nilai spiritualitas. Imaji sungai dalam novel Siddharta menguatkan nostalgia tradisi kuno dan kearifan lokal. Sungai adalah lakon hidup dan mati.
Siddharta dalam pertobatan dari hedonisme menemukan peristiwa pencerahan ketika menekuni sungai. Sungai itu memberi suara gaib pada Siddharta untuk merenung dan tafakur atas alur hidup. Arus sungai adalah arus hidup manusia. Keheningan dan kelembutan sungai menjadi simbol transendensi batin alam dan manusia.
Siddharta mengalami ketakjuban pada sungai. Sungai menentukan keterbukaan tabir dan misteri hidup. Siddharta ingin tafakur dalam gaib sungai.
Sungai sebagai referensi kesadaran spiritualitas memang identik dengan tradisi kuno dan manifestasi ibadah manusia untuk intim dengan Tuhan. Sungai menjadi representasi dimensi transendensi dan imanensi. Manusia menekuni pengalaman sebagai manusia dengan mencari dan menemukan hikmah-hikmah di sungai. Sungai memberi dan menerima lakon manusia untuk kondisi spiritualitas: hening dan bening.
Ketakjuban Siddharta pada sungai melahirkan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, maut, keabadian, jalan spiritual, biografi, dan sejarah. Optimisme Siddharta tampak dalam sebuah proses pembelajaran dan penemuan, ?Dia belajar dari sungai itu terus-menerus. Dia belajar dari sungai cara mendengarkan, mendengarkan dengan hati bening, dengan jiwa terbuka, tanpa nafsu, tanpa keinginan, tanpa penilaian, dan tanpa pendapat.? Sungai menjadi penentu perubahan arus hidup Siddharta untuk menekuni jalan spiritual.
Imaji sungai pun menemukan kedalaman spiritualitas dalam novel Paulo Coelho berjudul Di Tepi Sungai Lakon Piedra: Aku Duduk dan Tersedu. Novel Paulo Coelho memiliki awal dan akhir di Sungai Piedra. Sungai sebagai duka, sunyi, hening, pencerahan, hasrat, rindu, impian, luka, dan pedih.
Novel liris itu menghadirkan imaji-imaji puitis tentang lakon manusia dan sungai. Sungai Piedra adalah tanda iman, cinta, dan peradaban manusia. Sungai memberi rangsang agar manusia merumuskan diri dan mengurusi nasib.
Paulo Coelho mengusung legenda dan nalar puitis atas kegaiban dan keajaiban sungai. Sungai adalah inspirasi, simbol, saksi, dan tempat untuk peristiwa-peristiwa fenomenal. Paulo Coelho merepresentasikan kisah sungai dalam selubung misteri dan magis. Nostalgia dan utopia ada di tepi Sungai Piedra.
Kisah biografi masa kecil dan kemungkinan perubahan nasib tenggelam dan mengalir dalam sungai. Keinginan atas cinta dan pengabdian diri dalam jalan spiritualitas menjadi kisah haru. Pilihan hidup memberi konsekuensi berat. Sungai Piedra menerima sesal dan impian manusia dalam pilihan-pilihan dilematis untuk cinta dan spiritualitas. Sungai Piedra adalah kisah haru dalam biografi iman manusia atas lakon hidup menuju Tuhan.
Sungai sebagai saksi peradaban dan kisah keluarga China yang hadir dalam novel Bunga Putih di Sungai Kuning garapan Carolin Philips. Novel itu mengisahkan hasrat Lea untuk menelusuri masa lalu dan mencari sosok ibu.
Lea lahir di China di masa penerapan Undang-Undang Keluarga Satu Anak sejak tahun 1979 sampai akhir 1980-an. Tradisi keluarga China juga menginginkan anak pertama itu lelaki. Anak pertama perempuan menjadi perkara genting.
Lea merupakan korban undang-undang dan tradisi. Lea diserahkan si ibu pada pasangan Jerman. Ibu melakukan penyelamatan ketimbang tindakan membunuh atau membuang ke sungai.
Sungai Kuning menjadi saksi dari konsekuensi-konsekuensi peradaban China modern. Lea saat beranjak besar mendapatkan informasi mengenai asal-usul dan kisah-kisah gelap di China. Lea memutuskan melakukan pencarian untuk menemukan ibu dalam rindu dendam.
Penelusuran itu sampai di tepi Sungai Kuning. Rindu dendam Lea luluh. Ibu membeberkan aib atau kisah gelap. Pengakuan ibu membuat Lea sadar dengan masa lalu dan arti kehadiran sebagai seorang China di Jerman. Sungai Kuning adalah ruang pertemuan lahir-batin Lea dengan ibu dalam sendu, cinta, dan kasih.
Sungai dalam misteri dan magis memberi sekian imaji untuk membaca dan menafsirkan hidup. Sungai sebagai imaji memang melahirkan jejaring kisah dari spiritualitas sampai hedonisme. Sungai dalam pengisahan Herman Hesse, Paulo Coelho, dan Carolin Philips adalah imajinasi tentang manusia dan peradaban. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 4 Mei 2013
No comments:
Post a Comment