Nasjah Djamin |
NASJAH Djamin lahir di Perbaungan, Sumatera Utara, 24 Desember 1924. Anak ketujuh dari delapan bersaudara. Kedua orang tuanya berasal dari Padang, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Haji Djamin dan ibunya bernama Siti Sini. Ayahnya bekerja sebagai mantri candu dan garam di Deli. Ia dan kedua orang tuanya tinggal di daerah perkebunan di daerah Deli. Di antara saudara-saudaranya, hanya ia yang mempunyai bakat seni. Bakat seninya yang pertama kali tumbuh adalah melukis. Ia senang sekali melukis pemandangan sekitar perkebunan serta pedati dan kusirnya.
Meski orang tuanya hanya berprofesi sebagai pegawai rendah, namun, hal itu tidak menjadikannya untuk berdiam diri. Ia berhasil menamatkan sekolah HIS (Hollandas Inlandse School). Ia juga berhasil melanjutkan sekolah Mulo 1941, meski tidak sampai tamat. Setelah keluar dari Mulo, ia memutuskan untuk bekerja. Awalnya bekerja sebagai kuli kasar di lapangan terbang Polonia, Medan. Dengan bekal kepandaian melukis, ia kemudian bekerja di kantor Bukaka, sebuah kantor propaganda Jepang.
Salah satu pendiri Angkatan Seni Rupa di Medan (1945) ini kemudian bergabung dengan Sanggar seniman Indonesia muda Yogyakarta (di bawah asuhan S Sudjojono, Afandi dan Soedarso, 1947-1948). Lewat perkenalannya dengan para seniman sastra yang kerap kumpul bersama para pelukis di jalan Garuda, ia akhirnya sedikit demi sedikit mulai tertarik dalam kegiatan tulis menulis.
Pada 1949 bekerja di Balai Pustaka sebagai illustrator. Di Balai Pustaka ia sering mendengar diskusi antar-pengarang, seperti Idrus dan Chairil Anwar. Keadaan itu membuat Nasjah semakin tertarik pada kesusastraan. Hal itu kemudian dibuktikannya dengan tulisan-tulisan yang diciptakannya selama ia bekerja di Balai Pustaka, seperti, puisinya yang berjudul ‘’Pengungsi’’. Karya lain yang diciptakan adalah cerita bergambar bagi anak-anak, ‘’Hang Tuah’’ (1952) dan ‘’Si Pai Bengal’’ (1952), yang kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Setelah berhenti bekerja di Balai Pustaka, ia kembali ke Yogyakarta. Pada 1952, ia bekerja sebagai pegawai pada Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta, bekerja di bagian seni rupa. Di samping itu, ia juga menjadi redaktur majalah Budaya (1955-1962). Di tempat tersebut ia semakin aktif menulis. Karya yang ditulisnya selama bekerja di majalah itu, antara lain, ‘’Titik-Titik Hitam’’ (1956), ‘’Sekelumit Nyanyian Sunda’’ (1957), dan ‘’Jembatan Gondolayu’’ (1957). Ketiganya merupakan drama. Selain menulis di majalah Budaya, ia juga menulis di di majalah Minggu Pagi dan surat kabar Kedaulatan Rakyat.
Mulai menulis novel pada 1950. Novel pertama yang dihasilkannya adalah ‘’Hilanglah Si Anak Hilang’’. Karya itu kemudian diterjemahkan oleh Farida Soemargono Labrousse ke dalam bahasa Prancis dengan judul ‘’Le Depart de L’Enfant Proddigue’’ (1979). Karya novel lain yang telah ditulisnya adalah ‘’Helai-Helai Sakura Gugur’’ (1964), ‘’Malam Kuala Lumpur’’ (1968), ‘’Yang Ketemu Jalan’’ (1981), ‘’Dan Senja pun Turun’’ (1982), ‘’Tresna Atas Tresna’’ (1983), ‘’Tiga Puntung Rokok’’ (1985), serta ‘’Ombak dan Pasir’’ (1988).
Karya cerita pendeknya terkumpul dalam tiga kumpulan cerita pendek, yaitu ‘’Sekelumit Nynyian Sunda’’ (1962), ‘’Di Bawah Kaki Pak Dirman’’ (1967) dan ‘’Sebuah Perkawinan’’ (1974). Sedangkan karya puisinya yang pernah di terbitkannya antara lain ‘’Berat’’ (dalam majalah Seniman, 1947), ‘’Bunga dan Pengungsi’’ (dalam majalah Seniman, 1948), serta ‘’Yati Kecil’’ (dalam majalah Budaya, 1954).
Atas peran aktifnya di dunia sastra, pendiri Teater Indonesia ini tercatat meraih beberapa penghargaan antara lain karyanya berupa judul drama ‘’Sekelumit Nyanyian Sunda’’ (1958), memenangkan juara ketiga sayembara menulis drama Bagian Kesenian Departemen P & K 1958 dan sekaligus memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957/1958.
Novelnya ‘’Gairah untuk Hidup dan untuk Mati’’ yang merupakan cerita bersambung dalam majalah Minggu Pagi nomor 1-24 tahun 1967 berhasil memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah Republik Indonesia pada 1970. Novelnya, ‘’Bukit Harapan’’, meraih hadiah Sayembara Penulisan Roman DKJ 1980. Novelnya yang lain, ‘’Ombak Parangtritis’’ (1983) meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K sebagai buku fiksi remaja terbaik 1983.
Penulis yang pernah memperdalam pengetahuan mengenai art dan setting untuk pentas film dan televisi di Tokyo, Jepang, pada 1960-1963 ini, menulis merupakan dorongan batin. Ia pernah berpendapat, mencipta itu merupakan keharusan meskipun untuk sementara ciptaannya itu disimpan dalam lemari. Karya-karya yang ditulisnya merupakan sumbangan yang berharga bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Setelah menikah pada 1967, Nasjah Djamin tinggal menetap di Yogyakarta bersama istrinya, Umi Naftiah dan anak-anaknya. Nasjah Djamin wafat di Yogyakarta pada 4 September 1997, dalam usia 73 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Bukit Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta. (fed/berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Mei 2013
Meski orang tuanya hanya berprofesi sebagai pegawai rendah, namun, hal itu tidak menjadikannya untuk berdiam diri. Ia berhasil menamatkan sekolah HIS (Hollandas Inlandse School). Ia juga berhasil melanjutkan sekolah Mulo 1941, meski tidak sampai tamat. Setelah keluar dari Mulo, ia memutuskan untuk bekerja. Awalnya bekerja sebagai kuli kasar di lapangan terbang Polonia, Medan. Dengan bekal kepandaian melukis, ia kemudian bekerja di kantor Bukaka, sebuah kantor propaganda Jepang.
Salah satu pendiri Angkatan Seni Rupa di Medan (1945) ini kemudian bergabung dengan Sanggar seniman Indonesia muda Yogyakarta (di bawah asuhan S Sudjojono, Afandi dan Soedarso, 1947-1948). Lewat perkenalannya dengan para seniman sastra yang kerap kumpul bersama para pelukis di jalan Garuda, ia akhirnya sedikit demi sedikit mulai tertarik dalam kegiatan tulis menulis.
Pada 1949 bekerja di Balai Pustaka sebagai illustrator. Di Balai Pustaka ia sering mendengar diskusi antar-pengarang, seperti Idrus dan Chairil Anwar. Keadaan itu membuat Nasjah semakin tertarik pada kesusastraan. Hal itu kemudian dibuktikannya dengan tulisan-tulisan yang diciptakannya selama ia bekerja di Balai Pustaka, seperti, puisinya yang berjudul ‘’Pengungsi’’. Karya lain yang diciptakan adalah cerita bergambar bagi anak-anak, ‘’Hang Tuah’’ (1952) dan ‘’Si Pai Bengal’’ (1952), yang kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Setelah berhenti bekerja di Balai Pustaka, ia kembali ke Yogyakarta. Pada 1952, ia bekerja sebagai pegawai pada Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta, bekerja di bagian seni rupa. Di samping itu, ia juga menjadi redaktur majalah Budaya (1955-1962). Di tempat tersebut ia semakin aktif menulis. Karya yang ditulisnya selama bekerja di majalah itu, antara lain, ‘’Titik-Titik Hitam’’ (1956), ‘’Sekelumit Nyanyian Sunda’’ (1957), dan ‘’Jembatan Gondolayu’’ (1957). Ketiganya merupakan drama. Selain menulis di majalah Budaya, ia juga menulis di di majalah Minggu Pagi dan surat kabar Kedaulatan Rakyat.
Mulai menulis novel pada 1950. Novel pertama yang dihasilkannya adalah ‘’Hilanglah Si Anak Hilang’’. Karya itu kemudian diterjemahkan oleh Farida Soemargono Labrousse ke dalam bahasa Prancis dengan judul ‘’Le Depart de L’Enfant Proddigue’’ (1979). Karya novel lain yang telah ditulisnya adalah ‘’Helai-Helai Sakura Gugur’’ (1964), ‘’Malam Kuala Lumpur’’ (1968), ‘’Yang Ketemu Jalan’’ (1981), ‘’Dan Senja pun Turun’’ (1982), ‘’Tresna Atas Tresna’’ (1983), ‘’Tiga Puntung Rokok’’ (1985), serta ‘’Ombak dan Pasir’’ (1988).
Karya cerita pendeknya terkumpul dalam tiga kumpulan cerita pendek, yaitu ‘’Sekelumit Nynyian Sunda’’ (1962), ‘’Di Bawah Kaki Pak Dirman’’ (1967) dan ‘’Sebuah Perkawinan’’ (1974). Sedangkan karya puisinya yang pernah di terbitkannya antara lain ‘’Berat’’ (dalam majalah Seniman, 1947), ‘’Bunga dan Pengungsi’’ (dalam majalah Seniman, 1948), serta ‘’Yati Kecil’’ (dalam majalah Budaya, 1954).
Atas peran aktifnya di dunia sastra, pendiri Teater Indonesia ini tercatat meraih beberapa penghargaan antara lain karyanya berupa judul drama ‘’Sekelumit Nyanyian Sunda’’ (1958), memenangkan juara ketiga sayembara menulis drama Bagian Kesenian Departemen P & K 1958 dan sekaligus memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957/1958.
Novelnya ‘’Gairah untuk Hidup dan untuk Mati’’ yang merupakan cerita bersambung dalam majalah Minggu Pagi nomor 1-24 tahun 1967 berhasil memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah Republik Indonesia pada 1970. Novelnya, ‘’Bukit Harapan’’, meraih hadiah Sayembara Penulisan Roman DKJ 1980. Novelnya yang lain, ‘’Ombak Parangtritis’’ (1983) meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K sebagai buku fiksi remaja terbaik 1983.
Penulis yang pernah memperdalam pengetahuan mengenai art dan setting untuk pentas film dan televisi di Tokyo, Jepang, pada 1960-1963 ini, menulis merupakan dorongan batin. Ia pernah berpendapat, mencipta itu merupakan keharusan meskipun untuk sementara ciptaannya itu disimpan dalam lemari. Karya-karya yang ditulisnya merupakan sumbangan yang berharga bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Setelah menikah pada 1967, Nasjah Djamin tinggal menetap di Yogyakarta bersama istrinya, Umi Naftiah dan anak-anaknya. Nasjah Djamin wafat di Yogyakarta pada 4 September 1997, dalam usia 73 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Bukit Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta. (fed/berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Mei 2013
No comments:
Post a Comment