-- Iwan Kurniawan
Penghayatan mengenai ajaran universal membuat ia menuangkan semua ide ke dalam lukisan, instalasi, dan patung. Ada bahasa rahasia yang seakan tersembunyi di balik setiap apel.
Di sudut bangunan, sepasang wisatawan asing tampak baru keluar dari ruangan galeri itu. Tak banyak bicara, hanya senyum yang terselip. Mereka melangkah, lalu meninggalkan ruangan pemeran yang terletak di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Di balik suasana perdesaan itu, seniman Deddy PAW sedang menggelar pameran tunggal bertajuk Love, Life, Pray. Ada setiap pesan yang terbungkus rapi lewat karya-karya terbaru yang dipajang di Amanjiwo Art Room itu.
“Ide dan ekspresi berawal dari hidup saya yang semakin tua. Di sini, saya coba tuangkan ide lewat instalasi (patung) dan lukisan,” ujar Deddy di sela-sela pameran, pekan lalu.
Pameran yang menyuguhkan 18 karya terbaru itu berlangsung sejak 18 April dan akan berakhir pada 18 Juli mendatang. Setiap karya begitu erat dengan ajaran Buddha. Meski sebagai penganut Islam, Deddy mengaku terinspirasi oleh ajaran dan jalan hidup Buddha mengenai kasih sayang, perdamaian, dan hidup sederhana.
Jika diperhatikan secara jeli, karya-karya lelaki gondrong kelahiran Magelang, 18 Oktober 1963, itu menghadirkan tema Apel enigmatis. Penggunaan istilah enigmatis di sini berdasarkan pertimbangan sifat ungkapan karya yang bersifat simbolis--mengundang tanya, misteri, atau teka-teki sekitar buah apel dalam konteks persoalan eksistensi manusia.
Tak ayal, Deddy memaknai apel sebagai sebuah simbol. Itu berkaitan dengan pesan-pesan kebaikan yang terdapat pada citra apel dalam konteks kemanusiaan secara universal. Ada kehidupan, kedamaian, dan harapan.
Still life
Alam benda (still life) yang terlihat pada 13 lukisan dan 5 instalasi (patung) karya Deddy menunjukkan ada persoalan tentang pengharapan. Karya lukis berjudul Overwhelming of Blessings (120x160 cm), misalnya, menghadirkan objek Buddha tersenyum. Ia sedang duduk bergelimang seribuan apel bercorak emas dan perak. Di tangan kiri, terlihat ia memegang sebuah apel malang.
Tampilan bentuk-bentuk buah pada genre lukisan semacam itu sebagai cara untuk menyebut beberapa motif favorit. Bukan demi sebuah gagasan simbolis, melainkan lebih pada aspek representasi maupun pemujaan (allegories).
Karya The Silent Act of Love pun menghadirkan sebuah arca orang bersemedi dengan balutan setumpuk apel berwarna-warni di depan arca. Namun, Deddy menghadirkan goresan abstrak sebagai latar belakang objek utama.
Apel-apel yang bercorak stainless dan emas merupakan simbol alam benda. "Jadi, semua (harta benda) tak penting saat kita mati. Yang kita bawa hanya apel (merah), yaitu amal baik dan perbuatan baik," jelas ayah tiga anak itu, sedikit berfilosofi.
Deddy juga menghadirkan sosok Buddha tersenyum dalam karya lainnya. Itu jelas terlihat pada tiga seri lukisan The Best Choice (160x120 cm). Ikon tersohor itulah yang digunakan sebagai representatif Buddha.
Sebenarnya itu berasal dari seorang biksu pengembara yang melegenda bernama Pu-Tai (di Jepang bernama Hotei) yang diyakini sebagai Buddha Maitreya.
Selain lukisan, ada lima instalasi berbahan dasar stainless steel dan aluminium yang dipamerkan. Kelimanya ialah Peace of Mind, Peace of Earth (Abhaya Mudra) (45x45x45 cm), Happy Forever (54x54x54 cm), The Best Offering (60x35x13 cm), Love Produce Love (49x35x25 cm), dan Don’t Judge a Book by Its Cover (45x45x45 cm).
Dalam karya Love Produce Love, ada sebuah kerang air, gelas, dan batu. Semuanya begitu bertautan. Deddy seakan menunjukkan bahwa kasih sayang yang dicurahkan akan menghasilkan kasih sayang pula. Semua apel stainless itu berjumlah 18 buah.
Pemerhati seni Anton Larenz menilai karya-karya Deddy menghadirkan tema utama kedamaian, kecintaan, dan kasih putih yang universal. Namun, dia juga tak menghilangkan unsur tradisi yang ada di sekitar masyarakat Jawa. “Pernikahan masyarakat Jawa yang khas dengan pakaian ada tergambar dalam salah satu sculpture. Ini menandakan dia tidak menghilangkan unsur tradisi lokal,” nilai antropolog asal Jerman yang kini menetap di Yogyakarta itu.
Memperhatikan karya-karya Deddy seakan membawa kita menuju sebuah alam lain. Penuh angan-angan, cinta, dan damai. Sebuah suguhan dari desa untuk dunia seni rupa nasional. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Mei 2013
Penghayatan mengenai ajaran universal membuat ia menuangkan semua ide ke dalam lukisan, instalasi, dan patung. Ada bahasa rahasia yang seakan tersembunyi di balik setiap apel.
Di sudut bangunan, sepasang wisatawan asing tampak baru keluar dari ruangan galeri itu. Tak banyak bicara, hanya senyum yang terselip. Mereka melangkah, lalu meninggalkan ruangan pemeran yang terletak di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Di balik suasana perdesaan itu, seniman Deddy PAW sedang menggelar pameran tunggal bertajuk Love, Life, Pray. Ada setiap pesan yang terbungkus rapi lewat karya-karya terbaru yang dipajang di Amanjiwo Art Room itu.
“Ide dan ekspresi berawal dari hidup saya yang semakin tua. Di sini, saya coba tuangkan ide lewat instalasi (patung) dan lukisan,” ujar Deddy di sela-sela pameran, pekan lalu.
Pameran yang menyuguhkan 18 karya terbaru itu berlangsung sejak 18 April dan akan berakhir pada 18 Juli mendatang. Setiap karya begitu erat dengan ajaran Buddha. Meski sebagai penganut Islam, Deddy mengaku terinspirasi oleh ajaran dan jalan hidup Buddha mengenai kasih sayang, perdamaian, dan hidup sederhana.
Jika diperhatikan secara jeli, karya-karya lelaki gondrong kelahiran Magelang, 18 Oktober 1963, itu menghadirkan tema Apel enigmatis. Penggunaan istilah enigmatis di sini berdasarkan pertimbangan sifat ungkapan karya yang bersifat simbolis--mengundang tanya, misteri, atau teka-teki sekitar buah apel dalam konteks persoalan eksistensi manusia.
Tak ayal, Deddy memaknai apel sebagai sebuah simbol. Itu berkaitan dengan pesan-pesan kebaikan yang terdapat pada citra apel dalam konteks kemanusiaan secara universal. Ada kehidupan, kedamaian, dan harapan.
Still life
Alam benda (still life) yang terlihat pada 13 lukisan dan 5 instalasi (patung) karya Deddy menunjukkan ada persoalan tentang pengharapan. Karya lukis berjudul Overwhelming of Blessings (120x160 cm), misalnya, menghadirkan objek Buddha tersenyum. Ia sedang duduk bergelimang seribuan apel bercorak emas dan perak. Di tangan kiri, terlihat ia memegang sebuah apel malang.
Tampilan bentuk-bentuk buah pada genre lukisan semacam itu sebagai cara untuk menyebut beberapa motif favorit. Bukan demi sebuah gagasan simbolis, melainkan lebih pada aspek representasi maupun pemujaan (allegories).
Karya The Silent Act of Love pun menghadirkan sebuah arca orang bersemedi dengan balutan setumpuk apel berwarna-warni di depan arca. Namun, Deddy menghadirkan goresan abstrak sebagai latar belakang objek utama.
Apel-apel yang bercorak stainless dan emas merupakan simbol alam benda. "Jadi, semua (harta benda) tak penting saat kita mati. Yang kita bawa hanya apel (merah), yaitu amal baik dan perbuatan baik," jelas ayah tiga anak itu, sedikit berfilosofi.
Deddy juga menghadirkan sosok Buddha tersenyum dalam karya lainnya. Itu jelas terlihat pada tiga seri lukisan The Best Choice (160x120 cm). Ikon tersohor itulah yang digunakan sebagai representatif Buddha.
Sebenarnya itu berasal dari seorang biksu pengembara yang melegenda bernama Pu-Tai (di Jepang bernama Hotei) yang diyakini sebagai Buddha Maitreya.
Selain lukisan, ada lima instalasi berbahan dasar stainless steel dan aluminium yang dipamerkan. Kelimanya ialah Peace of Mind, Peace of Earth (Abhaya Mudra) (45x45x45 cm), Happy Forever (54x54x54 cm), The Best Offering (60x35x13 cm), Love Produce Love (49x35x25 cm), dan Don’t Judge a Book by Its Cover (45x45x45 cm).
Dalam karya Love Produce Love, ada sebuah kerang air, gelas, dan batu. Semuanya begitu bertautan. Deddy seakan menunjukkan bahwa kasih sayang yang dicurahkan akan menghasilkan kasih sayang pula. Semua apel stainless itu berjumlah 18 buah.
Pemerhati seni Anton Larenz menilai karya-karya Deddy menghadirkan tema utama kedamaian, kecintaan, dan kasih putih yang universal. Namun, dia juga tak menghilangkan unsur tradisi yang ada di sekitar masyarakat Jawa. “Pernikahan masyarakat Jawa yang khas dengan pakaian ada tergambar dalam salah satu sculpture. Ini menandakan dia tidak menghilangkan unsur tradisi lokal,” nilai antropolog asal Jerman yang kini menetap di Yogyakarta itu.
Memperhatikan karya-karya Deddy seakan membawa kita menuju sebuah alam lain. Penuh angan-angan, cinta, dan damai. Sebuah suguhan dari desa untuk dunia seni rupa nasional. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Mei 2013
No comments:
Post a Comment