Sunday, May 12, 2013

[Jendela Buku] Harga Buku, Pajak, dan Minat Baca

DALAM dunia perbukuan dikenal sebuah hierarki jenis buku. Ada buku pelajaran, buku novel, buku agama, buku manajemen populer, buku masak, buku anak, buku TK, buku perguruan tinggi, dan sebagainya.

Beberapa kategori itu kembali dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan pajak yang dibebankan, pajak yang ditanggung pemerintah (DPT) dan pajak barang kena pajak (BKP).

Buku yang masuk kategori DPT yang terbebas dari pajak pertambahan nilai (PPN) ialah buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama. Di saat Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Filipina membebaskan pajak untuk buku, di Indonesia buku fiksi dikenai pajak 10%. Padahal bila dibebaskan dari pajak, penerbit akan lebih bersemangat. "Yang jelas penerbit akan lebih bergairah," ujar Ibrahim Yahya, Humas Mahda Books kepada Media Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hal itu berbeda dengan pernyataan Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta HE Afrizal Sinaro. Ia menyatakan buku ialah produk bebas pajak. Hanya buku impor yang dikenai pajak. "Yang kena pajak hanya buku impor. Namun sayangnya, sosialisasi dari Dirjen Pajak kurang baik sehingga masih sangat banyak orang yang mengira buku dikenai pajak," jelasnya.

Minat baca

Perhatian pemerintah terhadap penerbitan buku masih kurang, bahkan hampir tidak ada insentif untuk mendorong penerbitan buku. Akibatnya, minat baca masyarakat tetap rendah dan industri buku juga tidak berkembang.

Jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia sekitar 10 ribu judul per tahun. Jumlah itu sama dengan Malaysia yang penduduknya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Indonesia. ”Vietnam bahkan bisa menerbitkan 15 ribu judul buku per tahun, Jepang 40 ribu, India 60 ribu, dan China sekitar 140 ribu,” kata Afrizal.

Selain itu, perlu juga kampanye dengan memberdayakan komunitas baca, keluarga, dan sekolah. Menurut mantan duta baca nasional Tantowi Yahya,

penurunan minat baca diakibatkan dua hal, yaitu gadget dan kondisi perpustakaan yang belum ideal. "Perpustakaannya dari segi lokasi, konten (isi), hingga kenyamanan belum ideal. Ditambah lagi dengan serangan gadget yang semakin menyita perhatian anak-anak muda," ujar Tantowi saat dihubungi Media Indonesia, Jumat (10/5).

Pembentukan minat membaca, kata Tantowi, layaknya mengajari anak salat. Sang anak akan meniru bila orang dewasa juga gemar membaca. Sistem pengajaran sekolah, lanjut dia, masih memosisikan guru sebagai sentral. Akibatnya, guru dianggap tahu segala-galanya. Jika ada kesulitan, murid akan menanyakan langsung kepada guru ketimbang mencari sendiri. "Waktu produktif itu siang hari, saat di sekolah. Guru jangan diposisikan sentral. Seperti yang dianut pendidikan modern, guru memberikan tugas, muridlah yang mencari tahu materinya," imbuhnya.

Banyak pembaca yang tidak mempermasalahkan harga buku. Namun, ada juga yang enggan membeli meski harga buku sudah murah. Betul, bila dibandingkan dengan harga tiket menonton film atau makanan cepat saji, harga buku memang lebih murah.

"Membaca itu bukan perkara novel. Koran kan murah, tetapi seberapa banyak sih anak muda yang mau baca koran, padahal itu bisa jadi sumber pengetahuan. Mesin pencari model Google juga kan sudah ada sekarang, bukan faktor utama kalau harga mah," pungkasnya. (WU/VE/Rin/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 12 Mei 2013

No comments: