Sunday, May 12, 2013

Belajar Bahasa dari ”Si Penjual Ikan’’

-- Irwanto

BERKOMUNIKASI dalam bahasa kedua (second language) sering menjadi hal yang sulit bagi seseorang. Ini mungkin karena ia tidak menguasai bahasa tersebut dan juga tidak terbiasa menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, terkadang tuntutan hidup membuat seseorang harus menguasai bahasa kedua dalam waktu yang relatif singkat, seperti yang dialami oleh Nazir, seorang imigran asal Pakistan. Ia, yang harus berjualan ikan di pasar tradisional London Timur (Inggris), harus menggunakan bahasa Inggris. Padahal, Nazir tidak terbiasa menggunakan bahasa Inggris dalam keseharian karena bahasa ibunya adalah bahasa Pakistan.

Sebagian orang mungkin akan menduga nasib Nazir tidak akan bagus di rantau karena hambatan bahasa. Tanpa dinyana, kini, pria yang bernama lengkap Muhammad Shahid Nazir sudah menjadi selebritas. Namanya melambung setelah lagu yang ia buat diunggah oleh seseorang ke situs YouTube. Nazir menyanyikan lagu One Pound Fish, yang kira-kira berarti ikan seharga satu pound (1 pound setara dengan Rp14 ribu), untuk menarik pembeli di kios ikan (di Queen’s Market, Upton Park, London) yang ia jaga. Hingga kini video tersebut tidak kurang dari 8 juta kali dilihat. Nazir pun dikontrak perusahaan rekaman Warner. Lagunya itu sekarang menyodok ke papan atas tangga lagu pop di Inggris.

Nazir mengaku tidak memerlukan waktu lama untuk membuat lagu One Pound Fish. ‘’Ini seperti hadiah dari Tuhan untuk saya. Tiba-tiba saja ada di kepala dan saya langsung menyanyikannya,’’ kata Nazir kepada wartawan dari kantor berita AFP, seperti yang dikutip oleh sejumlah media.

Usut punya usut, pria asal Pakistan ini meninggalkan istri dan negaranya, berangkat ke Inggris, hanya bermodalkan sebuah laptop dan pakaian di badan. Ia sempat luntang-lantung di London, tak dapat pekerjaan. Saat ia berniat untuk pulang kampung, seorang pedagang ikan menawarkan pekerjaan: sebagai penjual ikan di tokonya. Konon, atas permintaan bosnya (agar ia menarik sebanyak mungkin pembeli ke kedai ikan yang dijaganya) itulah lagu itu dibuat.

‘’Di hari pertama, saya menyanyikannya pelan-pelan. Tapi kemudian makin lama makin keras,’’ kata Nazir. Kini, Nazir sudah menjadi ‘jutawan’.

Penyesuaian Bahasa
Sosok seperti Nazir tidaklah sendiri. Banyak imigran yang keluar dari negaranya, tinggal di negara baru yang berbeda budaya (termasuk bahasa). Pertanyaannya adalah bagaimana nasib bahasa ibu imigran (dalam hal ini bahasa ibu Nazir, bahasa Pakistan) jika ia memutuskan untuk tetap bermastautin (barangkali juga dengan mengajak keluarganya) di London? Apakah bahasa ibunya (bahasa Pakistan) tetap bisa bertahan sampai kepada anak cucunya?

Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Salah satunya, mereka yang pada mulanya hanya menguasai dan menggunakan satu bahasa (monolingual), bahasa Pakistan,  menjadi menguasai dan menggunakan dua bahasa (bilingual), bahasa Pakistan dan bahasa Inggris. Lama-kelamaan, karena berbagai alasan, pada generasi ketiga (cucu Nazir) dapat saja mereka kembali monolingual, tetapi tidak dalam bahasa Pakistan, melainkan dalam bahasa Inggris. Jika ini yang terjadi, berarti bahasa Pakistan keluarga Nazir telah tergantikan oleh bahasa Inggris.

Fenomena kebahasaan seperti itu ditemukan juga oleh Cholotte Hoffmann (1996:40), pada imigran di Amerika dan Kanada. Dalam An Introduction to Bilingualism, Hoffmann menyebutkan bahwa imigran pada generasi pertama akan berusaha mempertahankan bahasa ibunya dan beradaptasi/menggunakan bahasa kedua (walau dalam persentase yang sedikit). Pada generasi kedua terjadi perubahan, penggunaan bahasa ibu dan bahasa kedua sama kuat. Selanjutnya, pada generasi ketiga, penggunaan bahasa ibu mulai berkurang (sedikit), bahasa kedua menjadi lebih dominan. Hal yang mengejutkan terjadi pada generasi keempat. Pada fase ini, generasi keempat tidak lagi menguasai bahasa ibunya (hilang) dan bahasa kedua sudah menjadi bahasa keseharian mereka (imigran).

Kasus seperti itu juga dialami oleh migran lokal di Riau. Seorang teman, berasal dari Sumatera Utara (suku Batak), merantau ke daerah Riau, tepatnya di Kota Rengat, yang dominan menggunakan bahasa Melayu Riau. Awalnya, ia berkomunikasi dengan dua bahasa: bahasa Batak untuk komunikasi dengan anggota keluarga dan bahasa Indonesia untuk komunikasi dengan etnik lain. Berikutnya, karena ia tinggal di daerah yang dominan menggunakan bahasa Melayu Riau, fungsi bahasa Indonesia digantikan oleh bahasa Melayu Riau. Uniknya lagi, perubahan pilihan bahasa tersebut mulai terjadi pada generasi pertama, tidak pada generasi kedua, ketiga, atau keempat.

Contoh lain dapat ditemukan pada imigran asal Afrika di Amerika Serikat, yaitu munculnya variasi bahasa Inggris: bahasa Inggris Afrika-Amerika atau yang lazim disebut African American English atau Black American English. Contoh yang hampir sama juga terjadi pada migran di Pekanbaru. Umumnya, ketika berbahasa Indonesia, mereka memiliki ciri/variasi tersendiri. Mungkin karena Pekanbaru termasuk kota yang multietnis sekaligus multibahasa, meskipun tidak memiliki nama tersendiri seperti bahasa Inggris kaum keturunan Afrika di Amerika Serikat, mereka berbahasa Indonesia ‘rasa’ Pekanbaru, seperti penggunaan unsur do (yang ditengarai berasal dari bahasa Minang) dan semalam ‘kemarin’ (yang ditengarai berasal dari bahasa Melayu Riau).

Fenomena penyesuaian bahasa para imigran dan migran yang terjadi di berbagai belahan dunia yang cenderung berasimilasi dengan bahasa penduduk lokal tampaknya sudah lumrah terjadi. Itulah bahasa. Bahasa mampu mempengaruhi dan bahkan ‘menyeret’ pemakainya, bukan sebaliknya. Bisa jadi, di sinilah letak urgensi pepatah: Di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak.

Andai saja Nazir, si penjual ikan itu, tidak berbahasa Inggris (tetapi berbahasa Pakistan), mungkinkah ia akan terkenal di London?

Salam.

Irwanto,  Pegawai Balai Bahasa, Provinsi Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Mei 2013

No comments: