Sunday, May 26, 2013

Keajaiban-keajaiban dalam Novel Semusim, dan Semusim Lagi

-- Ahmad Ijazi H

SEBERAPA besar kontribusi seorang ayah dalam pembentukan karakter hidup seorang anak? Lalu, jika dalam rentang waktu 17 tahun seorang anak tak pernah bertatap muka dengan sosok sang ayah, psikologis anak tumbuh menjadi timpang sebelah, sementara kerinduan di benaknya tumbuh mengecambah, membuncah seperti air terjun yang mengalir deras. Setidaknya begitulah gambaran emosi yang dirasakan Tokoh Aku yang ajaibnya tak punya nama (sepertinya penulisnya sengaja tidak menyebutkan nama Tokoh Aku), dalam novel Semusim, dan Semusim Lagi (SDSL), karya Andita Dwifatma, yang merupakan pemenang pertama sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012.

Di awal kisah, Tokoh Aku menerima 2 buah kiriman surat secara serentak. Surat pertama berasal dari sebuah universitas swasta di Indonesia, sementara yang satunya lagi adalah surat dari ayah kandungngnya yang telah 17 tahun terpisah dengannya. Usai membaca surat itu, kerinduan teramat mendalam pun seakan-akan menyesakkan rongga dadanya. Bisikan suara kecil dalam benaknya terus mendesaknya untuk segera mencari keberadaan sang ayah. Dalam surat tersebut, sang ayah menceritakan kondisi buruknya yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit lantaran mengidap sebuah penyakit yang sangat parah (tak dijelaskan apa nama penyakitnya). Yang jelas, ia ingin sekali bertemu dengan Tokoh Aku. 

Tokoh Aku lantas meminta izin kepada ibunya yang selama ini selalu memperlihatkan sikap yang teramat dingin dan kurang bersahabat padanya. Selama 17 tahun, Tokoh Aku merasakan ibunya tak ubahnya seperti sosok alien yang tak pernah ia kenal secara utuh, tak ada keakraban, tak ada komunikasi yang terjalin hangat, kecuali hanya sekadar percakapan yang teramat kaku dan hambar. Itulah salah satu penyembab yang semakin memantapkan Tokoh Aku untuk mencari keberadaan sang ayah, meski ia akhirnya harus meninggalkan sang ibu yang juga sedang mengidap suatu penyakit (lagi-lagi penulisnya tak menjelaskan apa nama penyakit yang diderita sang ibu).

Dalam perjalanan mencari sang ayah, Tokoh Aku dipertemukan dengan J.J. Henri, pria paruh baya, berkaca mata, penyuka sejarah, dan berjanji akan mempertemukannya dengan sang ayah. Ia lalu berkenalan dengan Oma Jaya yang saat itu telah berusia 53 tahun, tetangga dekat ayahnya yang juga pernah menikahi lelaki bernama Sobron, berusia 25 tahun. Ajaibnya, dikisahkan, suami Oma Jaya (Sobron), akhirnya meninggal dunia akibat kanker ganas yang dideritanya lalu bereinkarnasi menjadi seekor ikan mas koki yang hidup dalam sebuah akuarium mahal. Selanjutnya, Oma Jaya lantas mengadakan upacara kecil di dalam kamarnya, upacara pernikahannya dengan ikan mas koki, tanpa penghulu.

Dalam kegamangan serta suasana hati yang semakin kacau lantaran tak kunjung bertemu dengan sang ayah, Tokoh Aku memilih menjalin kedekatanan dengan lelaki tampan bernama Muara yang merupakan putera kandung J.J. Henri. Sikap baik serta kepribadian mengagumkan yang ditunjukkan Muara terhadapnya membuat Tokoh Aku jatuh hati, namun tak berani mengungkapkannya. Sampai suatu ketika mereka bercinta dan melakukan perbuatan terlarang (berhubungan intim) layaknya pasangan suami istri. Sejak hari itu, tokoh aku pun tak sungkan lagi mengatakan perasaan hatinya bahwa ia sangat mencintai Muara. Namun Muara ternyata tak mencintainya. Muara hanya menganggap Tokoh Aku sebagai adik, bukan sebagai kekasih.

Dalam situasi yang sangat tidak mengenakkan itu, Tokoh Aku semakin kalut dengan kenyataan pahit yang membelenggunya. Ia kemudian diketahui sedang hamil. Ia lantas berterus terang tetang kehamilannya itu pada Muara dan memintanya agar bersedia bertanggung jawab. Tetapi gayung tak bersambut baik. Muara tak mau bertanggung jawab dengan dalih bahwa ia tak sengaja saat menyetubuhi Tokoh Aku. Saat itulah keajaiban kembali terjadi. Ikan mas koki (Sobron), tiba-tiba muncul dan berbicara seperti manusia, lalu menghasut Tokoh Aku untuk segera menghabisi lelaki bajingan yang tak mau bertanggung jawab itu. Tokoh Aku lantas mengambil pisau yang sebelumnya berada di genggaman Sobron lalu menusuk Muara dengan pisau itu di bagian leher sebanyak 4 kali tusukan. Muara terkulai di lantai dengan bersimbah darah. Sejak peristiwa itu, Tokoh Aku mengalami goncangan jiwa yang sangat hebat dan menjadi gila sehingga harus dibawa ke pusat rehabilitasi mental serta syaraf.

Di pusat rehabilitasi tersebut, Tokoh Aku kembali dipertemukan dengan hal-hal yang ajaib. Salah satunya ketia ia tiba-tiba saja melihat Muara datang mengunjunginya dengan keadaan yang sangat sehat, dengan wajah yang semakin tampan dan bersikap sangat ramah padanya, tanpa ada kebencian sedikit pun. Tetapi ketika Tokoh Aku menanyakan kembali perihal perasaan hatinya, tiba-tiba saja sosok Muara berubah menjadi Sobron, si ikan mas koki yang pandai berbicara seperti manusia. Beberapa detik berikutnya, Sobron telah berubah wujud lagi menjadi sosok ibunya yang melemparkan tatapan yang sangat hambar dan dingin. Begitu seterusnya.

Novel SDSL ini ditulis dengan deskripsi yang teramat lamban dan bercabang-cabang. Banyak sekali keajaiban-keajaiban yang muncul di dalamnya. Penulisnya sepertinya sengaja membelok-belokkan jalan ceritanya ke mana-mana sehingga ceritanya menjadi lebar dan panjang. Hal ini menimbulkan kebosanan bagi pembaca. Ceritanya menjadi tidak fokus karena banyak sekali tempelan-tempelan yang seharusnya bisa dipangkas saja oleh penulisnya sehingga kerunutan cerita dapat terpelihara dengan baik.

Yang menarik dari novel SDSL ini, selain kemasan dan tampilan covernya yang mencuri perhatian, sejak halaman pertama, pembaca sudah dibuat penasaran oleh kedatangan sebuah surat dari sang ayah. Pembaca digiring untuk mengetahui seperti apa sosok sang ayah yang sebenarnya, seperti apa sikap sang ayah pada Tokoh Aku setelah bertemu, lalu seperti apa pula kehidupan keluarga Tokoh Aku setelah ayah dan ibunya yang sejak 17 tahun silam berpisah akhirnya bertemu kembali, dan sebagainya. Untuk menjawab rasa penasaran itu, mau tidak mau pembaca harus membaca bab demi bab yang cukup melelahkan. Tetapi pembaca kemudian akan menuai kekecewaan, karena harapan-harapan itu sama sekali tidak ada di dalam novel. Pertemuan antara Tokoh Aku dengan sang ayah hanya ditulis secara singkat sebagai penutup di bagian akhir cerita.

Dalam novel SDSL ini, Andina Dwifatma hendak menyampaikan bahwa kasih sayang orang tua sangat dibutuhkan dalam pembentukan karakter anak. Orang tua hendaknya menjalin keakraban dan menunjukkan sikap yang baik kepada buah hatinya kendati ada masalah atau konflik yang terjadi dalam wilayah internal keluarga. Orang tua juga hendaknya memperlihatkan wibawa, perhatian, serta mampu menjadi pengawas yang baik bagi putera puterinya agar tidak terjerumus dalam lingkaran pergaulan bebas yang salah.

Betapa tanpa orang tua, perjalanan anak akan terkatung-katung diobang-ambing gelombang kehidupan yang teramat keras dan kejam. Orang tualah yang mestinya menyiapkan perahu serta dayung yang kokoh agar ia dapat mengarungi samudera dengan aman hingga sampai di dermaga dengan selamat. n

Ahmad Ijazi H, kelahiran Rengat, 25 Agustus 1988. Menulis esai, puisi, cerpen dan novel. Saat ini mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 26 Mei 2013

No comments: