Monday, December 21, 2009

Bentara Budaya Bali: Cadangan Nyawa Jeihan Sukmantoro

-- Putu Fajar Arcana

PERUPA Jeihan Sukmantoro pernah meninggal pada usia 5 tahun setelah terjatuh dari tangga. Ketika semua keluarga dan para pelayat siap-siap membalutnya dengan kafan, ia malah bangkit dan minta sesaji nasi item dan gula jawa serta kain batik. Setelahnya, perupa kelahiran Solo ini hidup dengan otak invalid akibat benturan.

Perupa Jeihan Sukmantoro sedang menggambar model. (KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS)

Akibat lain dari itu, Jeihan tidak mengecap dunia sekolahan sampai usia 14 tahun, tetapi kemudian langsung mengikuti ujian persamaan SMP. Hebatnya ia lulus dan kemudian masuk SMA terbaik di Solo sebelum akhirnya melanjutkan ke seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB).

Pada usia 70 tahun, Jeihan mengalami gagal ginjal kronis. Ia sempat menjalani cuci darah berkali-kali di Bandung sebelum akhirnya memutuskan cangkok ginjal di Singapura. Jika kebanyakan pasien menunggu sampai bertahun-tahun untuk mendapatkan pendonor ginjal, Jeihan hanya perlu waktu dua minggu. Ia mendapatkan pendonor usia 35 tahun yang spesifikasi ginjalnya sangat serupa dengan ginjal milik Jeihan. Setelah berselang dua tahun, pada usia 71 tahun, kini rambut Jeihan yang semula ubanan malah kembali menghitam. ”Saya merasa seperti anak muda usia 35 tahun, tenaga berlipat dan rambut kembali hitam,” tutur Jeihan, akhir pekan lalu di Bandung.

Jeihan memang bukan tipe manusia perupa yang mudah menyerah. Ia seolah memiliki cadangan nyawa berlipat untuk meneruskan kreativitas di dunia seni rupa. Sejak era tahun 1960-an, ketika ia benar-benar memilih hidup dari seni, secara obyek visual, lukisan Jeihan seperti tak banyak berubah. Ia tetap ”keras kepala” dan tekun menggambar model. Ketika banyak perupa muda menggunakan perangkat teknologi untuk mendapatkan impresi realistik, Jeihan tetap hadir dengan gambar perempuan ”mata bolong”, yang selalu membersitkan kesan muram tetapi penuh misteri.

Spiritual

Dalam dua tahun terakhir, karya-karya Jeihan menunjukkan kematangan teknik serta mengalami sublimasi filosofis. Ia memang tetap menggambar model, terutama perempuan. Namun, wujud visual gambar-gambar Jeihan sama sekali tidak potretis, ia tidak puas sekadar memindahkan wajah model ke dalam kanvasnya. Jeihan justru menjalin relasi yang intim, dengan cara menangkap misteri terdalam yang hinggap pada subject matter melalui perantaraan aura. ”Itulah kekuatan insting,” katanya dengan penekanan bahasa yang cepat.

Insting atau naluri adalah energi purba yang ada pada semua makhluk, yang oleh karena pengetahuan didesak memasuki areal super-ego (mengambil istilah Freudian), sehingga tidak setiap saat bisa muncul dalam kepribadian. Menurut Jeihan, insting bukanlah intuisi karena intuisi bisa dilatih. ”Insting melekat dan baru muncul apabila kita terdesak. Saya bisa naik pohon mengejar layang-layang pada waktu kecil, tetapi kemudian tidak bisa turun. Nah, itu cara bekerja insting,” tutur Jeihan.

Insting ibarat pohon yang selalu tumbuh mengejar cahaya matahari. Pohon-pohon hutan menjulang tinggi karena matahari juga selalu berada di ketinggian. ”Apa yang menggerakkan pohon-pohon itu ke arah cahaya? Itulah insting, satu sikap untuk bertahan dalam keterdesakan,” ujar Jeihan.

Sebelum menggambar para modelnya, Jeihan membangun relasi dengan cara mengobrol sebanyak-banyaknya. Dari situ ia tidak saja menangkap gambaran sosok, tetapi juga memperoleh simpul-simpul karakter yang dipancarkan lewat aura. Aura yang melingkari sosok seorang model itulah yang kemudian diterjemahkan Jeihan lewat warna. Kekuatan garis tidak lagi menjadi tumpuan penting karena perupa kelahiran 26 September 1938 ini tidak memercayakan penangkapan spiritualitas modelnya lewat detail. ”Kalau saya menangkap tubuh Anda dengan warna hijau, itu aura Anda yang memancar dan saya tangkap,” ujar Jeihan.

Hal yang menarik, lewat gambar model dan metode kerja yang ia pelajari secara akademis di ITB, Jeihan kembali menemukan jalan spiritual, sebuah dunia masa lalu ketika ia dilahirkan sebagai anak miskin di pedesaan Jawa. Ingat pada usia 5 tahun, Jeihan sudah minta sesaji ketika ia siuman dari mati suri. Ini membuktikan naluri-naluri arketif yang diwariskan kultur moyang terus-menerus terbawa dan akan muncul apabila seseorang berada dalam situasi terdesak.

Ketika melukis, Jeihan selalu ”memojokkan” dirinya sendiri. Ia sering kali tidak tahan untuk menggambar seseorang. Ketika bercerita kira-kira selama 10 menit dalam pertemuan di rumahnya, Jeihan tiba-tiba minta saya ikut ke studionya. ”Ayo kita berangkat sekarang. Saya sudah tidak tahan segera ingin menggambar Anda,” kata Jeihan dengan sekujur tubuh yang gemetaran. Itu untuk kedua kalinya Jeihan menggambar saya. ”Saya menangkap gambaran lain dalam tubuh Anda hari ini,” katanya dalam perjalanan menuju studionya di kawasan Jalan Padasuka, Bandung.

Hanya dalam waktu tiga menit, sosok dan karakter wajah saya telah berpindah ke atas kanvas yang didominasi warna oker. Kepada Jeihan saya berkata, ”Ini wajah ketika saya masih muda.” Ia kaget bukan main. Bagi saya inilah pencapaian tertinggi dalam karier kepelukisan Jeihan. Ia mengerahkan segenap kemampuan spiritualnya untuk menggapai masa lalu saya dalam keadaan ”di atas sadar”. Ia tidak menggambar wajah saya hari ini, tetapi ”menemukan” wajah saya pada masa lalu. Barangkali itulah cara kerja insting, membeber masa lalu tanpa kehendak, memaparkan karakter sejati tanpa diduga. Sosok-sosok yang digambar Jeihan dengan naluri purbanya itu akan dipamerkan 27 Desember 2009- -17 Januari 2010 di Bentara Budaya Bali.

Sumber: Kompas, Senin, 21 Desember 2009

No comments: