-- Garin Nugroho
"...Barang siapa yang menghina agama orang lain, ia menghina agamanya sendiri." Demikianlah pernyataan Gus Dur dalam iklan layanan masyarakat yang penulis buat pada saat beliau masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pernyataan di atas terasa sederhana, namun merefleksikan kenegarawanan dalam beragam perspektif. Pertama, ketegasan kepemimpinan terhadap nilai pluralisme. Kedua, sikap tidak tawar-menawar melawan ekstremitas beragama yang menginginkan salah satu agama menjadi dasar negara. Ketiga, nilai beragama diletakkan dalam bentuknya yang paling dasar sekaligus mulia, yakni dalam tata nilai hubungan sehari-hari antarumat manusia.
Sepeninggal Gus Dur, sesungguhnya pekerjaan rumah semacam apa yang ditinggalkannya?
Daya hidup, tindakan, dan pikiran Gus Dur, sesungguhnya hidup dan menghidupi bangsa dari periode menurunnya kekuatan Soeharto hingga sepuluh tahun pasca-Reformasi. Pada dua periode ini, Gus Dur melakukan dua kerja kebangsaan yang sangat penting. Pertama, periode Soeharto, dengan caranya yang khas, Gus Dur mengelola religiositas sebagai daya hidup kebebasan berpikir dan berorganisasi guna melakukan perlawanan terhadap militerisme dan anrakisme. Kedua, era Reformasi, Gus Dur terus melakukan kerja tanpa tawar-menawar terhadap berbagai bentuk ekstremitas beragama, yang tumbuh di masa transisi sekaligus mencoba melakukan terobosan-terobosan kenegaraan yang sangat tidak mudah yang melahirkan kontroversi. Termasuk upaya Gus Dur mencoba membangun generasi baru dalam sebuah dunia baru, yang tidak mudah baginya, di tengah kesehatannya yang melemah serta dunia politik baru dalam pemilu langsung dalam kerja suara terbanyak, serta tumpang-tindih konflik kekuasaan intern serta dalam lingkup berbangsa.
Yang harus dicatat, kenegarawanan Gus Dur mampu tumbuh didasari beberapa aspek dasar pertumbuhan. Pertama, tumbuh dan lahir dari tradisi keluarga dan organisasi keagamaan Islam terbesar yang memiliki relasi kebangsaan yang kuat dengan nasionalisme sejarah Indonesia. Kedua, pemikirannya mampu memiliki daya hidup dalam berbagai ruang hidup berbangsa, dari seni, teknologi, pendidikan, partai, keagamaan, serta kebangsaan sekaligus dialog keagamaan global. Oleh karena itu, Gus Dur dikenal mampu berdialog dengan bergam kalangan hingga disiplin ilmu serta profesi. Ketiga, daya hidup kepemimpinannya mampu hidup dalam beragam waktu krisis, yang tentu saja, bisa dipahami, melemah seiring melemahnya kesehatannya.
Oleh karena itu, Gus Dur adalah guru bangsa di tengah arus perubahan besar masa-masa Soeharto hingga Reformasi. Guru bangsa yang tidak dalam gaya kepemimpinan yang birokrasi, formal, dan jumawa. Layaknya wayang, Gus Dur adalah tokoh semar ataupun punokawan yang selalu menjaga nilai-nilai serta para kesatria melewati berbagai tantangan, dengan lelucon, kenakalan, dan pemikiran, serta kerja kebangsaan yang sangat egaliter. Dengan kata lain, Gus Dur adalah pengawal Pancasila di berbagai bentuk transisi dan krisis.
Pengawal Baru
Pasca-Reformasi , seperti layaknya masa transisi, melahirkan beragam gejolak serta kerja kebangsaan dan pemikiran-pemikiran, disertai beragam perubahan tata cara bernegara, Baik itu, pemikiran ke depan maupun pemikiran ulang terhadap nilai-nilai kebangsaan, yang tidak bisa bertumbuh pada era Soeharto serta masa proklamasi. Sebutlah, tafsir sejarah peristiwa September 1965 hingga upaya kembali meletakkan agama sebagai dasar negara, yang sesungguhnya sudah selesai dengan lahirnya Pancasila dan UUD 1945.
Bisa diduga, seluruh pemikiran yang tidak bisa tumbuh pada era Soeharto, maupun yang mati oleh pemikiran pluralis Pancasila, berupaya ditumbuhkan kembali dalam era yang penuh transisi serta dibuka lewat pemilu langsung dan suara terbanyak. Era yang memungkinkan berbagai dimensi pemikiran masuk lewat partai, parlemen hingga yudikatif, eksekutif, serta berbagai bentuk proses berbangsa lainnya.
Catatan sederhana di atas, memberikan suatu isyarat bahwa Gus Dur memberikan pekerjaan rumah yang sangat besar. Yakni, di tengah era demokrasi suara terbanyak dan langsung, maka diperlukan kepemimpinan baru yang tidak tawar-menawar terhadap daya hidup Pancasila dengan ketegasan hukum, serta keberanian nilai kritis, untuk senantiasa melawan segala bentuk anarkisme minoritas maupun mayoritas keagamaan. Di sisi lain, kepemimpinan itu dituntut mampu hidup dalam demokrasi suara terbanyak dan langsung, yang penuh paradoks kekuasaan, cita-cita, kegagapan , serta politik sebagai primadona baru.
Pada sisi lain, pekerjaan rumah terbesar yang diberikan Gus Dur adalah lahirnya kepemimpinan yang mampu memandu masyarakat untuk menjadi penjaga kritis Pancasila dalam hidup sehari-hari, di tengah era informasi dan komunikasi baru, serta migrasi besar politik aliran, ideologi, hingga peran kepartaian, organisasi masyarakat dan politik, yang dipenuhi ketimpangan, krisis dan bencana serta kepemimpinan yang serba baru dan gamang, dipenuhi euforia kekuasaan ketimbang menjadi pelayan Pancasila.
Selamat jalan Gus Dur, Pekerjaan rumah ini adalah sebuah proses dialog panjang dan memerlukan keberanian kenegarawanan.
* Garin Nugroho, Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET)
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 31 Desember 2009
No comments:
Post a Comment