-- Moeslim Abdurrahman*
YANG paling berkesan, saya lihat Gus Dur itu menjadi jendela bagi Nahdlatul Ulama (NU) kepada dunia. Karena di awal tahun 1970, dia sebagai orang muda pulang dari Timur Tengah, tiba-tiba bicara soal hak asasi manusia, demokrasi, dan seterusnya. Ini luar biasa. Orang ini bukan pulang dari Amerika Serikat seperti anak-anak muda sekarang ini yang sekolah di sana. Ia lama di Baghdad, pernah di Mesir.
Gus Dur ini sangat impresif karena dari rumpun subkultur pesantren, tapi dia bicara dalam wacana yang sang kontemporer,
Di Gondangdia Lama, Jakarta, tahun 1975, saya kenal dengan Gus Dur. Dikenalkan oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid). Sejak itu saya berkawan dengan Gus Dur.
Kami bertiga sesama dari Jawa Timur. Gus Dur suka guyon, sementara Cak Nur orangnya serius. Dalam pergaulan selanjutnya saya lebih dekat dengan Gus Dur. Karena Gus Dur itu orangnya memang begitu, gampangan.
Yang berkesan lagi, Gus Dur ikut mempromosikan saya. Sehingga saya beberapa waktu disebut sebagai intelektual muda Islam, bila diwawancara oleh berbagai surat kabar. Itu salah satu jasa Gus Dur bagi saya.
Gus Dur tahu saya seorang dari Muhammadiyah. Akan tetapi, dia tidak pernah melihat itu. Dan banyak pendapat-pendapatnya menakjubkan saya, karena orang ini kemudian—kasarnya—jualan pesantren. Jualan pesantren di dunia masyarakat politik. Sehingga pesantren ini menarik perhatian di dunia, selain menjadi isu nasional. Pesantren sering menjadi bahan penelitian orang-orang luar negeri. Gus Dur ini seperti memasarkan idealisme pesantren.
Gus Dur punya karisma di depan para kiai, apalagi di depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi jendela untuk ke dunia modern. Ada kebanggaan di kalangan orang NU terhadap Gus Dur. Karena Gus Dur membawa pesantren ke dunia luar yang luas. Dia membuka masyarakat NU untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global.
Gus Dur berdarah biru Akan tetapi, pandai menggunakan bahasa populis. Gus Dur bukan hanya bahasa, Akan tetapi, juga bisa merekonstruksi sehingga tiba-tiba muncul kelompok Kiai Khos Ini kan menata legitimasi. Juga kelompok Kiai Langitan. Jadi kalau ada persoalan-persoalan tertentu, dia bisa merujuk dengan mengatakan, ”Saya ini kan diperintah Kiai Khos.”
Dia saya kagumi bukan karena pemikiran politiknya. Akan tetapi, sebagai pemikir Islam, dia berani pikiran-pikiran Gus Dur seperti pergulatan. Seperti pergulatan hidupnya. Maka di kala orang berdebat soal Islam dan kebangsaan, maka Gus Dur mengatakan, ”Memang kita ini lahir sebagai orang Islam atau sebagai orang Indonesia dulu?”
Gus Dur mewakili Islam ketika bangkitnya ilmu sosial di Indonesia. Di sinilah Gus Dur jualan tentang pesantren. Dia bilang kepada saya, ”Kang kalau kita bertemu dengan orang- orang pintar ilmu sosial, kita jangan ikut terjun dalam ilmu sosial, kita omong pesantren dong.”
Dari dulu Gus Dur konsisten pada tiga hal. Yakni kalau negeri ini sudah memilih demokrasi, maka implikasinya harus tidak ada diskriminasi. Ini sangat mendasar. Dua itu tidak bisa dipisahkan. Kemudian tentang hak asasi manusia. Yang ketiga pluralisme. Banyak orang mengklaim soal itu. Akan tetapi, bagi saya, Gus Dur adalah pionirnya.
Dia bukan mengantar saya hingga berkenalan dengan banyak orang. Dia betul-betul membuka dan jadi jendela sehingga banyak orang NU melihat demokrasi dari Barat. Dia memberi inspirasi. Dia yang menjamin ketika banyak orang ragu terhadap keragaman. Dia tegas sehingga bisa jadi jendela kaum minoritas untuk melihat ada jaminan di Indonesia.
Sumber: Kompas, Kamis, 31 Desember 2009
No comments:
Post a Comment