Sunday, December 27, 2009

[Buku] Hutan di Mata Seorang Rimbawan

-- San Afri Awang*

Data buku

• Judul: Kepedulian yang Terganjal: Menguak Belantara Permasalahan Kehutanan Indonesia • Penulis: Transtoto Handadhari • Penerbit: Elex Media Komputindo • Cetakan: I, September 2009 • Tebal: xcii + 458 halaman • ISBN: 978-979-27-5807-8

***

Hutan pernah menjadi ”kuda” ekonomi Indonesia, tetapi kini menjadi kuda yang ”lempe-lempe”, nyaris tidak punya daya, bahkan terancam mengalami kerusakan lebih parah.

Kehutanan Indonesia bagaikan ”kapal” yang hendak karam, bersandar pada pemerintah yang abai dan tidak mampu melakukan terobosan produktif.

Kehutanan Indonesia memang pernah dibanggakan dengan sebutan ”emas hijau” dari khatulistiwa. Kontribusinya pada devisa negara yang sangat signifikan, kedua setelah minyak dan gas bumi, kini tinggal kenangan.

Kerusakan hutan yang sebagian besar karena tindakan eksploitasi kayu, perambahan kawasan hutan, pertambahan penduduk, dan kebakaran hutan seakan menghapus peran sektor kehutanan tersebut. Begitu juga dengan eksploitasi pertambangan dalam kawasan hutan yang didukung oleh kebijakan pemerintah (eksekutif dan legislatif), tindakan reformasi yang tidak terkendali, kebijakan otonomi oleh pemerintah daerah yang tidak cerdas, dan perubahan politik negara yang tidak ”prolingkungan” telah menyebabkan hutan semakin rusak tanpa terkendali.

Itu semua diungkapkan dengan kata dan angka yang jelas oleh Transtoto Handadhari dalam bukunya, Kepedulian yang Terganjal: Menguak Belantara Permasalahan Kehutanan Indonesia. Penulis adalah seorang rimbawan dan birokrat senior, yang nama dan sosoknya dikenal luas di bidang kehutanan. Ia dikenal dengan tulisan-tulisan dan pendapat-pendapat yang kritis serta ide-ide solutifnya yang tajam dan mengalir seperti tak terbendung. Buku ini juga sarat pengalaman praktik dan pemikiran kritis. Transtoto berhasil menguak benang kusut pengelolaan hutan Indonesia yang seakan-akan tertutupi kabut selama ini.

Buku pemikiran dan kepeduliannya terhadap dunia kehutanan ini mengungkapkan banyak masalah dalam praktik kehutanan di lapangan, yang disajikannya dalam bahasa yang ringan, tetapi ”memprovokasi” dan transparan. Dunia kehutanan seakan ”ditelanjangi” oleh kerimbawanannya sendiri, tetapi justru di situlah makna buku ini.

Emas hijau

Buku ini menguak tabir permasalahan pembangunan hutan dan kehutanan di Indonesia, dari perspektif lokal sampai mondial, dari aspek politik mikro rakyat sampai makro politik nasional dan internasional. Aspek politik mikro merujuk pada problem sosial bahwa belum semua program nasional kehutanan secara serius berusaha mengentaskan rakyat dari kemiskinan di desa-desa hutan, kecuali Perum Perhutani yang telah memelopori program pengentasan rakyat dari kemiskinan di Jawa sejak lama.

Jagat politik nasional ditunjukkan dengan lemahnya komitmen politik lembaga politik di Indonesia mewujudkan pengelolaan hutan lestari (hal 346). Tujuh kali pergantian menteri kehutanan (1998-2001), dan masing-masing menteri memiliki ”jargon pembangunan” sendiri-sendiri, membuat semakin tidak jelasnya pembangunan hutan di Indonesia (hal 347).

Kelemahan fundamental, menurut Transtoto, adalah lemahnya sistem perencanaan sumber daya hutan selama ini. Jargon-jargon pembangunan kehutanan tidak lebih dari slogan language of power belaka. Di samping lemahnya konsep dan komitmen, berbagai uraian di buku ini menunjukkan secara gamblang kelemahan pokok pemerintah lainnya dalam berkomunikasi dengan publik.

Jagat politik internasional yang banyak disoroti adalah soal ekspor hasil hutan, pertemuan internasional, dan isu peradaban baru climate change. Namun, komitmen Pemerintah Indonesia mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di planet ini bahkan dipertanyakan tatkala Pemerintah Indonesia mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 yang mengizinkan pembukaan tambang di hutan lindung dan hutan produksi. PP tersebut dikeluarkan hanya beberapa saat setelah COP XIII sebagai rangkaian pertemuan tahunan Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) tanggal 3-14 Desember 2007, berkaitan dengan komitmen dunia mengurangi emisi karbon ke atmosfer, baru usai digelar.

Hutan versus tambang

Pertarungan hutan dan tambang menjadi pertarungan ekologi politik, ke mana pemerintah berpihak? Mampukah memenangi sektor kehutanan di atas sektor pertambangan yang eksploitatif? Rehabilitasi hutan rusak dan pembangunan hutan tanaman, mampukah rimbawan Indonesia mewujudkannya? Terlebih deforestasi akibat praktik illegal logging ataupun kebakaran hutan yang tidak pernah terhentikan, tidak adakah jalan keluar dan kesungguhan yang dapat dilakukan? Itulah pertanyaan- pertanyaan besar yang dilontarkan oleh Transtoto yang seharusnya mendapat jawaban yang terang benderang dari pemerintahan periode 2009-2014 ini.

Otonomi daerah dan desentralisasi kehutanan yang tidak cerdas merupakan bahasan penting yang terbukti menjadi pendorong terjadinya kerusakan hutan yang meningkat. Menegakkan sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan, di antaranya dengan pembentukan dan pengesahan model kesatuan pengelolaan hutan (KPH) merupakan pemikirannya sejak lama yang harus diberi chemistry. Apa pun perdebatan tentang KPH tersebut, model pengelolaan hutan ”pemangkuan” yang ada di Jawa telah dilaksanakan dan telah terbukti mampu mempertahankan sistem property rights yang benar menurut Pasal 33 UUD 1945.

Penulis buku ini optimistis bahwa Indonesia tidak perlu ragu-ragu terhadap sektor kehutanan. Karena, sektor ini tetap memiliki peluang pengembangan ekonomi untuk devisa negara melalui pemanfaatan, rehabilitasi hutan, lahan dan lingkungan, untuk ketahanan ekonomi nasional, dan memiliki peran yang besar dalam segala sisi kehidupan. Konsep jangka benah, rehabilitasi hutan dan perbaikan kapasitas sumber daya manusia (SDM), merupakan sebagian dari 10 program yang harus dikerjakan oleh siapa pun yang memimpin Departemen Kehutanan. Sisi yang lain adalah merumuskan visi nasional secara bersama-sama para pihak tentang pembangunan hutan dan kehutanan Indonesia. Eksistensi Departemen Kehutanan dalam sistem pemerintahan ke depan pun harus tetap selalu dipertahankan.

Sebagai buku yang tersusun dari pengalaman seorang ”rimbawan kompeten”, tentu banyak prestasi yang dicapai dan mestinya terukur. Sebagai buku ilmiah, buku ini tentu saja belum sempurna dalam menata susunan logikanya karena sering kali satu masalah bahasan tidak dielaborasi secara tuntas dalam kerangka teoretik. Penambahan halaman yang terlalu banyak (72 halaman) untuk testimoni juga terasa menjadi embel-embel yang berlebihan. Namun, sebagai sebuah pengungkapan realitas dan fenomena jagat politik dan jagat kepentingan kehutanan, buku ini sangat tepat dibaca dan direnungkan.

* San Afri Awang, Guru Besar Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Desember 2009

No comments: