DUNIA mutakhir yang disangga industri gaya hidup dan konsumsi dalam skala global menyuburkan keberadaan apa yang disebut sosialite, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia di kamus-kamus adalah ”anggota masyarakat modern” atau marilah kita gunakan kemerdekaan kita menyebut mereka ”sosialita”. Sebagai krem di ujung permukaan industri gaya hidup—sebagaimana industri gaya hidup itu sendiri dan dunia konsumsi berikut semua efeknya—mereka dipandang dengan skeptis meski diam-diam dimaui.
Dari waktu ke waktu, sejarah kebudayaan berisi pelecehan terhadap apa yang disebut massa (seperti mass culture) dan pop. Dalam kriteria kebudayaan, apa yang berbau massa, apalagi kemudian diindustrialisasikan, akan dianggap sebagai sesuatu yang remeh-temeh, trivial. Mencari identitas dalam konsumsi, dengan mengubek-ubek merek tertentu untuk berdandan dari merek celana apa, sepatu apa, tas apa, adalah trivial pursuit alias pencarian diri lewat hal remeh-temeh.
Lalu, apa yang tidak remeh-temeh, yang agung, yang adiluhung? Baru belakangan dunia seni, misalnya, tak lagi memisahkan ”seni tinggi” (high art) dan ”seni rendah” (low art) meski pandangan meremehkan dunia konsumsi tetap saja ada. Dalam politik, pengamat tetap nekat dan bersemangat memetakan arah dengan kecenderungan partai. Tak banyak yang melihat bahwa dari proses pemilihan umum sampai dinamika di legislatif, misalnya, banyak ditentukan oleh kehadiran para selebritas dan sosialita tadi. Siapakah yang benar-benar menaruh perhatian pada politik pencitraan pada zaman ini? Dengan politik pencitraan, sebenarnya pemimpin negara mempertahankan kekuasaannya sebagaimana bintang film mempertahankan popularitas lewat citra semu.
Meski sudah jelas perannya, para sosialita hanya dianggap sebagai kembang-kembang perkembangan, tidak dianggap sebagai gejala yang ikut menentukan dinamika kebudayaan. Orang akan berang kalau peristiwa reformasi 1998 dianggap hasil berakhirnya perang dingin disertai meluasnya kapitalisme global yang butuh keleluasaan. Orang lebih senang kalau reformasi tadi dianggap sebagai hasil perjuangan kelompok per kelompok, sebagaimana berbagai kelompok menyerukan klaimnya masing-masing.
Ketinggalan zaman
Sekadar mengingatkan kembali, yang tak kalah ”militan” dalam proses tumbangnya rezim Soeharto 11 tahun lalu adalah anak-anak remaja/muda yang biasa berjalan-jalan di mal. Mereka mengganti sepatu dengan sandal jepit, berjalan dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Senayan barangkali dengan pikiran seperti tengah jalan-jalan di promenade. Gertakan politik, seperti ”subversif” dan ”komunis”, yang waktu itu menyeramkan, mengenai ruang kosong belaka berhadapan dengan anak-anak muda yang tahunya Calvin Klein dan Guess.
Politik adalah domain paling ketinggalan zaman dibandingkan ekonomi. Ekonomi dan perdagangan cepat sekali mengonsolidasi sesuatu menjadi uang, atau istilahnya ”komodifikasi”. Begitu pula dibandingkan ranah kesenian. Pengandaiannya, seni adalah dunia terobosan. Di luar ranah politik atau domain yang ”sok serius”, sosialita cukup diakui keberadaannya.
Anda lihat galeri-galeri seni kontemporer di Jakarta belakangan ini. Di antara karya-karya seni serta wacana-wacana pendukung yang kadang dakik-dakik mengutip berbagai teori post-modernisme, khalayak di sekeliling itu semua adalah para sosialita. Banyak majalah mengkhususkan diri di bidang seni rupa, tapi perhelatan seni rupa terbesar tahun 2009 diselenggarakan majalah gaya hidup yang konsumennya para wanita makmur kota besar. Penyelenggaraannya pun bukan di gedung atau pusat kesenian, melainkan di mal. Dinamika kebudayaan urban itu tak membutuhkan menteri kebudayaan, tetapi sosialita.
Ini semua bukan gejala baru. Ketika kebudayaan pop mulai diakui sebagai identitas Amerika untuk melawan klasisisme Eropa, salah satu ikonnya, Andy Warhol, dikelilingi semua sosialita Amerika. Bianca Jagger, Diana Vreeland, Edie Sedgwick, atau siapa saja wanita makmur, cantik, terkenal, di awang- awang.
Tumbal
Kapitalisme global dan industri berbasis kebudayaan yang sekarang secara latah diucapkan di mana-mana dengan sebutan industri kreatif adalah gejala urbanisme. Bukan hanya berupa angka, di mana sekitar 4 miliar atau separuh penduduk planet Bumi bermukim di kota-kota, melainkan orientasi kebudayaan kini menuju arah urbanisme.
Sebagai gunung es di laut, yang terlihat di permukaan dari gejala itu adalah penampakan para sosialita. Mereka adalah gejala permukaan globalisme dan perkembangan metropolitan-metropolitan dunia yang akan menjadi masa depan peradaban kontemporer.
Kita masih sangat mendua dalam melihat gejala ini, kalau tidak malah munafik. Memberikan tempat kepada para sosialita dianggap sebagai kekenesan atau bahkan ada yang menganggap sebagai praktik voyeurism. Sampai sejauh ini, kelompok itu dicueki, tapi diam-diam dibutuhkan. Setiap kebudayaan membutuhkan tumbal. Kalau di altar kuno tumbalnya perawan, tumbal kebudayaan kontemporer adalah sosialita.(BRE REDANA)
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Desember 2009
No comments:
Post a Comment