Sunday, December 27, 2009

Ruang Publik Kebudayaan

-- Junaidi Abdul Munif

KERJA kebudayaan menjadi termenarik untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat akan situasi yang tak beres. Kerja kebudayaan menjadi feedback untuk merespons masalah sosial, politik, ekonomi,agama,dan problem-problem yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Kebudayaan bisa menjadi celah menemukan kesepakatan kolektif untuk membersihkan ”noda-noda” sosial, politik,ekonomi,juga agama. Kebudayaan yang menjadi milik publik bisa beralih bentuk menjadi alat untuk menyampaikan kritik. Ini misalnya dilakukan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang menjadi ”corong” PKI untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan pada 1960-an. Perdebatannya yang sengit dengan kelompok Manifest Kebudayaan tentang politisasi seni atau seni untuk seni menjadi perdebatan yang ”legendaris”dan menentukan arah kebudayaan Indonesia di tahun-tahun setelahnya. Soeharto menang dalam tragedi G 30 S dan membersihkan ormasormas yang dituduh underbowPKI, termasuk Lekra.

Saat itulah seni benar-benar untuk seni yang ”terbebas” dari tanggung jawab politik. Seni dan produk kebudayaan dikebiri menjadi sebatas hiburan pengisi waktu senggang yang tak boleh nyerempetke urusan politik. Di masa Orde Baru,kerja-kerja kebudayaan diberangus atas nama stabilitas negara. Ormas-ormas yang berseberangan dengan kepentingan penguasa akan dihilangkan. Pada akhirnya mereka menjadi gerakan subversif yang tak juga muncul ke permukaan.Meski politik represif penguasa justru memicu kreativitas pelaku kebudayaan untuk membuat karya seni satire yang tak secara gamblang menohok pemerintah.

WS Rendra (almarhum) dengan Bengkel Teater maupun sajak-sajak pamfletnya adalah contoh generasi zaman yang lahir dari politik represif tersebut.Konsistensi untuk melawan dan berseberangan dengan kekuasaan terus ia pegang teguh sampai meninggal pada 7 Agustus 2009.Termasuk kerja kebudayaan yang digarapnya bersama Setiawan Djody,Iwan Fals,Sawung Jabo dalam grup musik Kantata Takwa pada awal 1990-an. Kini keran reformasi telah dibuka, ruang-ruang kebudayaan mulai tumbuh seiring menjamurnya LSM yang concern pada kemanusiaan. Periode Lekra yang menggunakan kebudayaan sebagai semangat perlawanan (alat politik) terulang kembali. Budaya virtual (internet) turut andil meneguhkan esensi ruang publik kebudayaan yang melintas batas geografis dan identitas.

Melawan Korupsi

Kekuasaan otoriter Orde Baru yang berjalan selama 32 tahun melahirkan ”budaya” korupsi.Korupsi menjadi hantu yang menggurita dari yang bersifat individu sampai kolektif, dari korupsi kelas teri sampai kelas kakap. Korupsi dianggap sebagai tindakan kriminal yang patut dikutuk dan merugikan negara.

Saat KPK sebagai lembaga resmi yang berusaha membersihkan negeri ini dari korupsi mulai dipreteli satu persatu pemimpinnya, kerja kebudayaan menjadi jalan untuk melakukan dukungan terhadap KPK. Aksi solidaritas menolak penahanan petinggi KPK digalang di berbagai daerah.Mereka menemukan musuh bersama (common enemy) yang menghidupkan elan kolektivitas untuk ”menjewer”birokrasi yang korup. Beberapa waktu lalu penahanan Bibit-Chandra oleh Polri menjadi isu menarik yang menukik di kesadaran para pekerja kebudayaan.

Bola panas ranah politik ini menjadi isu yang terus menggelinding. Sejak ditangkapnya Antasari Azhar,KPK seperti terus digembosi untuk melemahkan legitimasinya. Aksi masif para facebooker menuntut pembebasan Bibit-Chandra beberapa waktu lalu membuktikan kerja kebudayaan masih efektif untuk melakukan bargaining terhadap pemerintahan. Terbukti, Presiden SBY akhirnya memerintahkan Polri untuk melepaskan Bibit-Chandra, terlepas dari rekomendasi Tim Delapan yang (kebetulan) sejalan dengan tuntutan massa.

Pilar Demokrasi

Dalam model demokrasi trias politica ala Montesquieu yang dianut Indonesia, eksekutif bukan pemegang kebijakan tunggal dengan kekuasaan mutlak. Legislatif dan yudikatif adalah mitra eksekutif yang bertugas sebagai pengimbang dan pengingat satu sama lain.Kemenangan eksekutif dalam satu putaran pada pilpres lalu jangan sampai membuat eksekutif jumawa dengan menjadikan legislatif sebagai pendukung segala ”kebijakannya”.

Pertanyaan bisa dilontarkan untuk sedikit menggoda. Efektifkah kerja-kerja kebudayaan ini untuk melawan korupsi yang telanjur menggurita di negeri ini? Mengingat kerja kebudayaan dilakukan oleh LSM-LSM, komunitas seni, yang kurang memiliki power di kekuasaan.Sementara para pemegang kebijakan seperti tertutup telinganya untuk mendengar kritik. Dalam kajian ruang publik politis (public politic sphere) yang digagas oleh Juergen Habermas, kerja kebudayaan bisa juga (bahkan sangat) diperlukan sebagai ruang publik yang bebas dari intervensi kekuasaan.

Ruang publik, bersama pers dan LSM bisa menjadi pilar demokrasi keempat yang akan melakukan checks and balancesterhadap pemerintahan. Dalam kerja kebudayaan, publik berkumpul untuk menyamakan visi,lantas beraksi untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang berguna bagi kemaslahatan. Kerja-kerja kebudayaan harus terus digalakkan untuk menciptakan ruangruang publik politis demi sebuah tujuan mulia: menjaga demokrasi. Karena itu ruang-ruang publik kebudayaan harus terus eksis di tengah konspirasi kekuasaan yang cenderung mencengkeramkan otoritarianisme gaya baru.

Aristoteles pernah merasa skeptis dengan demokrasi karena menganggap sistem ini hanyalah penganut paham ”asal banyak”. Pendukung atau pendapat asal banyak ini bisa saja tak esensial dan merugikan masyarakat.Akhirnya, dia ”pasrah”dengan menganggap demokrasi adalah sistem pemerintahan yang buruk,namun paling mungkin dilakukan.Kita boleh saja berharap, dari rahim kebudayaan akan muncul pemimpin bangsa yang berperilaku layaknya nabi dan menerima ”wahyu ilahi”. Yang memerintah dan membuat kebijakan atas dan demi nama kemaslahatan rakyat.

Ketika lembaga negara, aparat pemerintah justru bersekongkol dengan musuh-musuh demokrasi, musuh hukum,pemelintir undangundang, dan pemutarbalikan keadilan, saat itulah kebudayaan akan menjaga umat manusia dari gebalau dunia yang profan.Dengan kebudayaan, akan terselip kearifan-kearifan transendental yang membuat manusia tidak menjadi homo homini lupus bagi manusia lainnya.(*)

* Junaidi Abdul Munif, Peneliti el-Wahid Centre, Ruang Publik Kebudayaan Semarang

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 27 December 2009

No comments: