Thursday, December 24, 2009

Tiga Monolog Perempuan di Hari Ibu

Jakarta, Kompas - Perempuan Indonesia, dengan segala keberhasilan yang dibawa oleh kemajuan zaman, tampaknya banyak yang masih belum beruntung. Dalam hidup keseharian, ada potret perempuan tua yang masih harus mengangkut beban berat sebagai tukang gendong barang jualan atau belanjaan. Potret perempuan Indonesia kurang beruntung ini pula yang diangkat oleh Taman Ismail Marzuki tatkala memperingati hari ulang tahun ke-41 dan Hari Ibu 2009, Selasa (22/12) malam.

Mengambil bentuk seni monolog, karya pertama yang ditampilkan malam itu adalah sequel Mengapa Kau Culik Anak Kami yang ditulis Seno Gumira Ajidarma. Inilah pengalaman seorang ibu yang gundah gelisah mencari tahu nasib anaknya yang tidak jelas. Niniek L Karim, yang secara monolog memerankan sang ibu menderita ini, berhasil menghadirkan situasi kehilangan itu meski dalam intonasi terbatas.

Boleh jadi, didera ketidakpastian selama 10 tahun, seperti juga dialami oleh ibu-ibu lain yang kehilangan putra terkasih pada tahun-tahun akhir Orde Baru dan di tengah hiruk-pikuk Reformasi, telah membuat sang ibu letih.

Nasib ibu kedua tak lebih baik. Ditinggal suami yang meninggal dengan dua anak, ibu kedua ini—yang bernama Ipoh (diperankan oleh Lisa Ristargi)—tak bisa mendapat hak apa pun karena hanya istri kedua, yang tak tercantum dalam slip gaji. Ipoh yang ditulis oleh Arthur S Nalan juga sempat menuturkan riwayat bagaimana ia kehilangan orangtua dan saudara yang mati bersamaan akibat keracunan. Kejadian itu membuatnya harus diurus oleh paman dan bibinya, tetapi ia diperkosa oleh paman yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri.

Pesan Ipoh kepada para wanita adalah jangan mudah percaya kepada laki-laki yang bermulut manis, tetapi sebenarnya tak lebih dari domba yang berhati singa. Menurut Ipoh, perempuan bak belanga, yang kehilangan nilai kalau sudah pecah.

Lisa, yang tampil disutradarai suaminya sendiri, Anto Ristargi, masih bisa menampilkan sisi humor dalam kegetiran hidup. Vokalnya yang cenderung cempreng dan kemayu pada sisi lain memberi sedikit harapan hidup.

Monolog malam itu ditutup oleh Happy Salma, yang memerankan Srintil, ”Sang Ronggeng dari Dukuh Paruk”. Inilah tafsir modern atas karya masyhur Ahmad Tohari, hingga yang hadir di panggung bukan hanya sosok Srintil, melainkan juga sosok Happy sendiri, plus sejumlah musik dan tembang. (NIN)

Sumber: Kompas, Kamis, 24 Desember 2009

No comments: