-- Acep Zamzam Noor*
TIDAK seperti tahun-tahun sebelumnya, saya mengawali tahun 2009 dengan semacam keprihatinan dan kerepotan. Pertama, saya prihatin karena banyak diminta teman-teman untuk berbicara mengenai persoalan sosial dalam kaitannya dengan politik dan perilaku para politisi yang di dalamnya selalu berkaitan dengan masalah agama, pesantren, kiai, dan santri.
Kedua, saya repot karena telanjur dianggap mengerti masalah sosial dan politik (lokal) sehingga permintaan untuk berbicara masalah yang sebenarnya tidak saya sukai ini datang terus. Maklum, menjelang pemilu dan pilpres, berbagai organisasi, lembaga swadaya, himpunan mahasiswa, atau kelompok studi kerap mengadakan diskusi, seminar, atau lokakarya (workshop). Tentu saja motif mereka mengadakan acara berbeda-beda. Ada yang serius ingin membicarakan persoalan bangsa dan ada juga yang sekadar memanfaatkan situasi. Misalnya, para caleg sengaja dihadirkan setelah sebelumnya diminta bantuan membiayai acara. Namun, apa pun motif mereka mengundang saya, satu hal yang selalu saya sampaikan adalah menawarkan golput sebagai solusi. Paling tidak sebagai solusi sementara. Ada yang menerima tawaran saya yang jeprut itu, ada juga yang tidak setuju. Bagi yang paham dan menerima, biasanya saya sebut mereka sudah mendapat hidayah. Bukankah golput merupakan hidayah yang hanya hinggap kepada orang-orang tertentu saja?
Untuk memahami situasi politik nasional, sebenarnya cukup dengan mengamati apa yang berlangsung di daerah. Meskipun kadar dan suhunya tidak sama persis, tetapi apa yang terjadi di Jakarta terjadi pula di daerah. Pertempuran seru antara kubu Gus Dur dan Cak Imin di tubuh PKB misalnya, otomatis guncangannya terasa sampai ke pesantren-pesantren, terutama yang berbasis NU. Perilaku anggota-anggota dewan yang kelewatan di Senayan, tak jauh beda dengan anggota-anggota dewan di daerah. Pola korupsi yang dengan canggih dilakukan orang pusat, dengan kecanggihan yang sama diperagakan pula di daerah. Begitu juga soal keterampilan memainkan aturan hukum. Lalu politik uang yang kerap dilakukan saat pemilihan ketua partai atau ormas, antara pusat dan daerah rasanya sudah sama saja. Orang berani mengeluarkan berapa pun untuk menjadi ketua partai atau ormas.
Dalam pengamatan saya, pemerintah kabupaten atau kota adalah miniatur dari pemerintahan pusat. Bupati atau wali kota merupakan raja kecil dengan jajaran kepala dinas sebagai menteri-menterinya. DPRD sebagai parlemennya. Polres dan Kodim sebagai pasukan keamanan dan batalion perangnya. Kejaksaan negeri dan pengadilan negeri sebagai penegak hukumnya. Pengusaha sebagai mitra pelaksana pembangunannya. Majelis ulama sebagai pilar moralnya. Di luar itu, masih ada sejumlah begundal yang dengan gagah mengatasnamakan dirinya sebagai aktivis. Jika seorang raja bisa mengatur, mengordinasikan, atau mengonsolidasikan semuanya, maka amanlah negara kecil itu. Korupsi, manipulasi, mark-up, atau apa pun namanya bisa dilakukan dengan tenang dan terencana. Dan seandainya ada pejabat, aparat, atau anggota dewan yang kemudian ditangkap KPK, itu semata karena sedang ketiban sial.
Kadang saya berpikir bahwa satu-satunya cabang ilmu yang benar-benar diamalkan secara konsekuen di Indonesia hanyalah ilmu ekonomi. Sarjana-sarjana hukum yang tak terhitung jumlahnya, begitu terjun ke lapangan (dengan menjadi hakim, jaksa, atau pengacara) lebih banyak melakukan pendekatan ilmu ekonomi ketimbang ilmu hukum itu sendiri. Kadang ilmu ekonomi tersebut dikolaborasikan dengan ilmu gaib, ilmu siluman, atau ilmu santet. Sarjana-sarjana juga setali tiga uang, begitu menjadi PNS atau anggota dewan yang pertama-tama diaplikasikannya adalah prinsip ekonomi. Dengan modal kecil harus mendapatkan untung sebesar-besarnya.
Di negeri ini, agama tampaknya sudah tidak ada hubungannya dengan perilaku, apalagi dengan perilaku politik seseorang. Begitu juga dalam berebut jabatan atau kedudukan, segala cara bisa dilakukan tanpa memedulikan salah dan benar, baik dan buruk, halal dan haram. Jika ditarik lebih jauh lagi, sarjana-sarjana teknik juga tidak mau kalah. Mereka menggunakan teori ekonomi dalam perhitungan konstruksi bangunannya. Jangan heran kalau banyak gedung yang ambruk tersenggol gempa, atau banyak jembatan yang runtuh sebelum diresmikan. Dokter-dokter pun rupanya gemar menggunakan teori yang sama dalam menjalankan tugas pelayanannya. Anehnya, kondisi perekonomian nasional justru semakin terpuruk di tengah aktivitas ekonomi yang membabi-buta dari warganya.
Tahun 2009 bagi saya merupakan tahun yang lindap dan ngungun. Selain diawali dengan sejumlah bencana alam dan kecelakaan yang mengenaskan, juga diwarnai kesibukan para caleg menyongsong pemilu yang menggelikan sekaligus menyedihkan. Memang tidak semua orang terlibat atau berkepentingan dengan "pesta demokrasi" ini, tetapi atmosfer politiknya yang panas bisa menyengat siapa saja. Saya bukan orang kaya meski sering kali disalahpahami sehingga banyak calo tanah yang datang menawarkan sawah, kolam, atau kebun. Ketika saya tanya kenapa sawah, kolam, atau kebun itu dijual, jawabannya untuk persiapan kampanye. Ada juga tetangga yang mau menggadaikan rumahnya sendiri demi pemilu. "Rumah itu cocok sekali kalau untuk melukis dan menulis puisi. Dari jendela bisa melihat sawah dan sungai," katanya berpromosi. Saya hanya senyum-senyum saja menikmati hiburan gratis lima tahunan ini. Ternyata banyak juga saudara, tetangga, dan teman saya yang akan maju menjadi caleg, bahkan ada yang nekat melepaskan statusnya sebagai PNS segala.
Kenapa menjadi anggota dewan begitu menggoda? Kenapa posisi wakil rakyat ramai diperebutkan, termasuk oleh mereka yang sama sekali tidak pernah menunjukkan kepeduliannya kepada rakyat? Kenapa partai politik tiba-tiba dipercaya menjadi agen penyalur tenaga kerja? Kenapa politik dipahami sebagai jenis pekerjaan sehingga caleg tidak ubahnya pelamar kerja? Seandainya politik adalah jenis pekerjaan, kenapa pemilu tidak ditangani Depnaker? Jawabannya ternyata sederhana, bahwa masyarakat kita mempunyai cita-cita yang sama. Bahwa masyarakat kita ingin hidup sejahtera. Dan sejauh ini, para anggota dewan telah menunjukkan contoh yang gamblang bagaimana mencapai kesejahteraan dengan cara yang cepat.
Kesejahteraan yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia rupanya sebuah metafor. Maka untuk menerjemahkan atau menafsirkannya tidak bisa begitu saja, harus dicari makna konotatifnya. Bagi penganggur misalnya, sejahtera berarti punya pekerjaan tetap. Bagi yang sudah punya pekerjaan tetap, sejahtera berarti naik pangkat atau memegang posisi. Bagi pengusaha tentu lain lagi maknanya, sejahtera berarti harus kaya raya. Bagi pengusaha yang sudah kaya raya, sejahtera berarti berkuasa. Bagi yang sudah memegang kekuasaan, sejahtera berarti meningkatkan kekuasaannya lebih besar lagi. Jika ada tahapan karier yang dianggap mulus dan sukses, barangkali urutannya begini: yang tadinya lurah naik menjadi camat, terus menjadi bupati, kemudian menjadi gubernur, lalu menjadi menteri beberapa periode, baru setelah itu menjadi presiden. Dan bagi presiden, sejahtera berarti terpilih kembali, kalau perlu terpilih terus biar sejahteranya lama.
**
Di tengah hiruk pikuk masa sosialisasi, di tengah gegap gempitanya para caleg memperkenalkan dirinya kepada masyarakat, memasang baligo besar-besar, membentangkan spanduk panjang-panjang, membagikan kalender, kaos, atau stiker. Di tengah para caleg yang berlomba mematut-matutkan wajahnya dengan berbagai gaya, pose, dan ekspresi, berkompetisi melemparkan jargon, slogan, dan visi misi agar dipercaya sebagai wakil rakyat yang mumpuni, sesungguhnya saya ingin sejenak meninggalkan kampung, melupakan saudara, tetangga, dan teman yang tengah bertarung memperebutkan kesejahteraan yang mereka cita-citakan. Saya ingin hijrah beberapa saat.
Pada akhir Februari, secara kebetulan, saya diundang untuk tinggal selama tiga minggu di Ai Angek, Sumatra Barat. Tugas saya hanyalah menulis sambil berinteraksi dengan alam dan masyarakat di sana. Undangan ini menarik karena akan membebaskan saya dari persoalan-persoalan lokal yang bukan hanya memprihatinkan, tetapi kerap merepotkan dan mengganggu proses kreatif saya. Kalaupun di Sumatra Barat juga berlangsung masa sosialisasi atau kampanye yang mungkin atmosfernya sama, toh saya tak mengenal siapa caleg-calegnya dan tak hafal nama-nama partainya. Jadi, tidak ada yang akan menawarkan sawah, kolam, atau kebun. Tidak ada yang akan menggadaikan rumah kepada saya.
Di Ai Angek yang sejuk dan berkabut, di kaki gunung Singgalang dan Merapi yang selalu dibasahi embun dan dipayungi mendung, mereguk kopi panas rasanya nikmat sekali. Khusyuk sekali. Apalagi kopinya sengaja saya beli langsung dari Banceuy, dari pabrik kopi yang sudah terkenal sejak zaman Belanda. Malam-malam kadang saya iseng mengirim SMS kepada teman-teman, baik yang caleg maupun bukan: Malam-malam begini, penyair serius biasanya sedang menikmati kopi panas di depan komputer sambil mendengarkan lagu, sedangkan para caleg dan tim suksesnya hujan-hujanan memasang baligo dan spanduk di jalan. Ada yang menjawab SMS saya, ada juga yang tidak.
Tentu saya tidak hanya menulis puisi di kamar sambil memandang puncak Singgalang dari jendela. Taufiq Ismail yang mengundang saya tinggal di Ai Angek, mengajak saya mengunjungi banyak tempat bersejarah di sekitar Bukittinggi dan Padangpanjang. Pertama-tama, kami mengunjungi rumah kelahiran Bung Hatta di Bukittinggi yang sekarang dijadikan museum. Rumahnya sederhana, rumah kayu khas Minangkabau dengan dinding dari bambu. Kamar belajar Hatta terletak di sudut kanan bagian depan, sedangkan kamar tidurnya berada di belakang. Meskipun mempunyai kamar pribadi, Hatta kecil bisa tidur di surau bersama teman-temannya. Di belakang rumah masih ada sepeda miliknya, juga bendi keluarga yang sesekali mengantarkan Hatta ke sekolah. Bulu kuduk saya bergetar.
Di Bukittinggi dan sekitarnya banyak lahir tokoh-tokoh sejarah seperti Haji Miskin, Agus Salim, Sutan Syahril, Muhammad Natsir, Tan Malaka, Rahmah el-Yunusiah, Rasuna Said, Abdul Gaffar Ismail, dan lain-lain. Sedikit ke arah Barat, ada rumah kelahiran Buya Hamka di tepi danau Maninjau yang juga dijadikan museum. Semuanya sempat kami singgahi meski hanya untuk beberapa saat. Dan ketika kami menuruni jalan curam dengan puluhan kelokan yang berliku-liku menuju Museum Buya Hamka, imajinasi saya mulai bermain. Saya membayangkan Hamka kecil naik turun perbukitan sambil membawa bekal beras setiap pergi ke Pesantren Parabek di Bukittingi. Jalan raya mulus yang kami lalui kemungkinan besar belum ada waktu itu, dan rasanya tak mungkin juga beliau naik sepeda melewati perbukitan yang curam dan terjal. Bulu kuduk saya kembali bergetar.
Pada hari lain kami diundang untuk membaca puisi pada Peringatan 108 Tahun Rahmah el-Yunusiah di Padangpanjang. Rahmah adalah tokoh pendidikan dan pendiri Pesantren Diniyah Puteri. Bukan hanya tokoh pendidikan, ia juga seorang pejuang yang secara langsung ikut berperang melawan penjajah Belanda. Bahkan, pesantrennya pernah dijadikan markas tentara. O ya, perlu diketahui bahwa pahlawan nasional yang kini namanya diabadikan menjadi jalan di Jakarta, Rasuna Said, adalah salah satu santrinya. Peringatan mengenang tokoh yang luar biasa ini dilangsungkan di aula pesantren yang konon dulunya bekas rumah kelahiran Sutan Syahrir. Hari berikutnya kami juga berkesempatan membaca puisi pada Peringatan 100 Tahun Sutan Syahril di Istana Bung Hatta di Bukittinggi. Untuk kesekian kalinya, kembali bulu kuduk saya bergetar.
Ketika pulang ke Ai Angek tiba-tiba saya teringat pada saudara, tetangga, dan teman saya yang sedang berjuang mati-matian menjadi politisi di kampung. Saya juga teringat pada para politisi masa kini di mana pun berada. Mungkin seperti juga Bung Hatta, Agus Salim, Sutan Syahril, Muhammad Natsir, atau Tan Malaka, mereka juga berjuang dan berkorban demi cita-cita luhurnya. Ada yang berjuang dengan memasang baligo sambil hujan-hujanan, ada yang patah tangannya karena jatuh dari tiang listrik. Ada yang berkorban dengan menjual sawah, ada juga yang menggadaikan rumah. Tujuan atau niat mereka berjuang dan berkorban juga mungkin sama, sama-sama memperjuangkan kesejahteraan. Hanya, jika Bung Hatta dan kawan-kawan memperjuangkan kesejahteraan untuk bangsa dan negaranya, maka saudara, tetangga, dan teman saya di kampung (dan umumnya para politisi masa kini) memperjuangkan kesejahteraan untuk dirinya sendiri. Itu barangkali yang membedakannya.
Seperti gayung bersambut, hanya beberapa hari setelah meninggalkan Sumatra Barat, saya ditakdirkan harus pergi ke Guilin, Cina. Dengan demikian, hiruk pikuk masa kampanye di kampung bisa saya hindari. Ketegangan antarsaudara, antartetangga, antarteman yang tengah berebut kursi, juga hanya saya bayangkan dari jauh dengan sedikit imajinasi dan dramatisasi. Selama berada Guilin yang terletak di negara bagian Guanxi, entah kenapa bulu kuduk saya terus bergetar. Satu hal saja yang ingin saya catat di sini, yakni adanya upaya yang serius dari pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya. Salah satu caranya adalah dengan menghukum mati koruptor yang terbukti bersalah. Bukankah selama merebaknya korupsi, kesejahteraan tidak akan pernah terjadi?
Jadi, di situlah persoalannya.***
* Acep Zamzam Noor, penyair.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 December 2009
No comments:
Post a Comment