-- Nurkholisoh Ibnu Aman
ADAM Smith pernah menulis di bukunya yang termasyhur, ”The Wealth of Nations” (1776), bahwa hanya manusia yang melakukan transaksi ekonomi. Dengan kata lain, Adam Smith yakin hanya manusia yang bisa memahami konsep uang sebagai alat tukar. Benarkah demikian?
KOMPAS/ PRIYOMBODO
Terinspirasi pernyataan Adam Smith, Profesor Keith Chen dari Universitas Yale bereksperimen memperkenalkan konsep uang kepada sekelompok monyet capuchin. Caranya dengan memberi mereka beberapa keping uang logam dan mengajarkan bahwa uang tersebut dapat ditukarkan dengan sejumlah barang.
Setelah eksperimen berbulan- bulan, monyet akhirnya paham uang logam di tangan mereka memiliki nilai. Mereka bisa membeli sejumlah barang dengan mengembalikan uang logam tersebut secara baik-baik kepada tim peneliti.
Monyet ternyata memiliki preferensi berbeda-beda ketika membeli barang. Seperti layaknya manusia, monyet juga berupaya meraih kepuasan maksimal dalam keterbatasan sumber daya yang dimiliki.
Chen selanjutnya memperkenalkan konsep price shock. Ia juga menguji dampak income shock dengan mengurangi ”pendapatan” seekor monyet setiap hari. Bagaimana respons mereka? Apakah monyet juga memahami konsep gejolak ekonomi?
Sekali lagi, monyet menunjukkan perilaku rasional layaknya manusia. Monyet mengurangi konsumsi barang yang mendadak mahal harganya. Sebaliknya, apabila harga turun, monyet meningkatkan konsumsi barang tersebut. Adam Smith mungkin tidak pernah menyangka kurva penawaran dan permintaan ternyata juga berlaku di dunia monyet. Sampai di sini, Chen sebenarnya sudah mendapatkan bukti mengejutkan tentang praktik ilmu ekonomi di dunia monyet sekaligus menyanggah teori Adam Smith secara telak.
Insentif
Eksperimen di atas adalah satu dari sejumlah kisah unik tentang ilmu ekonomi yang dimuat dalam SuperFreakonomics. Anda yang pernah membaca (atau bahkan menggemari) Freakonomics bisa jadi telah lama menantikan buku ini. Buku ini memang ditulis sebagai sekuel (atau freakquel menurut para penulisnya) Freakonomics yang terjual lebih dari 4 juta buku dan diterbitkan dalam 35 bahasa.
Freakonomics pertama kali muncul empat tahun lalu sebagai hasil kolaborasi antara Steven D Levitt, profesor ekonomi di Universitas Chicago, dan Stephen J Dubner, jurnalis The New York Times. Kekuatan buku itu terletak pada sudut pandang Levitt yang unik terhadap berbagai peristiwa yang kemudian ditulis secara ringan dan jenaka oleh Dubner.
Levitt memang bukan profesor ekonomi biasa. Alih-alih berbicara tentang inflasi, neraca perdagangan, atau nilai tukar, ia malah membahas aplikasi konsep ekonomi dalam aborsi atau kencan melalui internet. Bermodalkan pertanyaan riset yang nyeleneh (freakish) dan setumpuk data statistik, Levitt menjungkirbalikkan keyakinan kita akan hal-hal yang selama ini dianggap benar (conventional wisdom).
Cara pandang Levitt berangkat dari teori semua tindakan manusia semata-mata merupakan respons dari insentif yang diterimanya. Maka, Levitt berkeyakinan, akar dari ilmu ekonomi adalah studi tentang insentif dan bagaimana insentif tersebut memengaruhi perilaku manusia.
Hanya saja, Levitt tidak membatasi aplikasi ”ekonomi” pada aksi jual atau beli saja, tetapi juga meluas hingga perkawinan, pengasuhan anak, bahkan pembunuhan. Inilah rahasia kesuksesan Freakonomics: menggunakan konsep ekonomi untuk menjelaskan peristiwa sehari-hari, bahkan peristiwa yang sepertinya tidak berhubungan sama sekali dengan ilmu ekonomi.
Sekuel super
SuperFreakonomics ditulis dengan formula lebih kurang sama. Levitt dan Dubner mengajak kita melihat berbagai hal remeh-temeh dengan kacamata ilmu ekonomi. Hasilnya? Mereka kembali menjungkirbalikkan berbagai conventional wisdom. Kursi mobil khusus anak balita ternyata tidak lebih aman daripada sabuk pengaman. Teroris bukanlah orang bodoh dan miskin. Menyetir dalam keadaan mabuk tidak lebih berbahaya daripada orang mabuk yang berjalan kaki. Yang paling kontroversial, ternyata dunia tidak sedang memanas. Global warming is a misleading concept!
Bila Freakonomics mengupas tuntas bisnis narkoba, dalam sekuel ini Levitt dan Dubner menyediakan satu bab khusus untuk membahas bisnis prostitusi.
Analisis mereka, penghasilan tahunan seorang pekerja seks komersial (PSK) pada 2009 hanyalah seperlima dari yang diterima pada 1910 (setelah dikonversi ke harga sekarang). Penyebabnya bukan turunnya permintaan karena tingkat libido kaum pria tetap stabil dalam satu abad terakhir. Anda mungkin juga tertarik mengetahui bagaimana PSK menerapkan strategi diskriminasi harga dan potongan harga.
Yang mungkin terasa berbeda pada buku ini adalah berkurangnya bahan tulisan yang berasal dari penelitian Levitt sendiri yang umumnya berciri analisis data kuantitatif. Buku ini banyak menggunakan penelitian orang lain sebagai sumber cerita dan cenderung lebih kualitatif. Akibatnya, pembaca akan merasa tumpang tindih dengan buku-buku karya Malcolm Gladwell, seperti Blink dan Outliers yang mengambil tema perilaku sosial.
Dalam buku ini, Levitt dan Dubner bahkan secara terbuka mengakui, mereka terpaksa membatalkan satu bab karena pesan yang ingin disampaikan sama persis dengan buku Outliers karangan Malcolm Gladwell.
Di luar itu, buku ini lebih berani merambah isu kontroversial, seperti pemanasan global yang kebenarannya masih diperdebatkan dan berada jauh di luar keahlian Levitt. Hal itu menjadi diskusi hangat di blog-blog aktivis lingkungan, bahkan sebelum buku ini terbit.
Apakah buku ini memang lebih ”super” daripada buku sebelumnya seperti diklaim judulnya hanya dapat dijawab subyektif. Yang pasti, sangat sulit mengulangi kesuksesan Freakonomics yang begitu fenomenal. Sejak buku pertama terbit, ekspektasi publik sangat tinggi dan lebih sulit dipuaskan.
Terlepas dari kritik dan kekecewaan yang mungkin muncul, buku ini tetap menarik karena mengajak kita (sekali lagi) mengaplikasikan ilmu ekonomi di sana-sini secara nyeleneh. Seperti sangkalan yang pernah ditulis di Freakonomics, membaca buku ini tidak akan menjadikan Anda lebih kaya atau lebih bahagia. Justru bisa jadi Anda bingung karena apa yang selama ini Anda yakini sebagai kebenaran ternyata keliru.
Satu hal yang pasti, setelah membaca buku ini, Anda akan menjadi lebih skeptis dan banyak mempertanyakan hal-hal di sekeliling. Beberapa di antara Anda mungkin juga tiba-tiba ingin mengganti nama karena seseorang dengan nama keluarga berawalan huruf A memiliki kemungkinan paling besar menjadi ilmuwan terkemuka, bahkan memenangi penghargaan Nobel!
* Nurkholisoh Ibnu Aman, Peneliti Ekonomi di Bank Indonesia
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Desember 2009
No comments:
Post a Comment