-- Ilham Khoiri & Putu Fajar Arcana
GELIAT seni pertunjukan di Tanah Air selama tahun 2009 lebih redup dibandingkan seni sastra dan seni rupa. Kita justru dikejutkan oleh meninggalnya penyair dan dramawan WS Rendra, awal Agustus lalu. Di tengah situasi murung ini, Slamet Gundono, dalang serba bisa dari Komunitas Wayang Suket asal Surakarta, diam-diam menjanjikan harapan baru.
Bersama komunitasnya, Slamet memainkan lakon ”Cebolang Minggat” di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pertengahan Februari 2009. Ini merupakan fragmen dari naskah Serat Centhini hasil adaptasi peneliti sastra Jawa asal Perancis, Elizabeth D Inandiak. Bisa dibilang, inilah pertunjukan paling menarik selama tahun 2009.
Coba kita ingat sedikit pertunjukannya. ”Cebolang Minggat” mengisahkan pengembaraan Cebolang, pemuda tampan-cerdas tapi nakal, dalam mencari kesejatian diri. Minggat dari rumah, putra Syekh Akhadiyat itu mengumbar syahwat dengan janda, lantas bermain cinta dengan seorang adipati laki-laki. Dia mendiskusikan relativitas dogma agama dengan Gatoloco, mendapat pencerahan dari lakon wayang Dewaruci, dan akhirnya menemukan puncak spiritualitas: cinta.
Slamet Gundono berhasil memanggungkan naskah yang dibacakan Elizabeth itu dengan kuat, bebas, menghibur, sekaligus berbobot. Lakon itu dibawakan dengan ciri: lantunan suluk wayang, mengaji Al Quran, mendongeng, memerankan berbagai tokoh, memetik mandolin, menari, atau menyanyi riang.
Teks klasik, spiritualitas Islam, erotika, budaya abangan, dan kegelisahan manusia Jawa dibaurkan menjadi satu adonan yang memikat. Semuanya berlangsung secara hidup di atas panggung, dan Slamet menjadi pusatnya. Lelaki bertubuh subur itu adalah dalang, aktor, pendongeng, qari (pelantun qiraah Al Quran), penceramah, pemusik, dan penyanyi sekaligus.
”Built-in”
Pengamat seni pertunjukan Wicaksono Adi menilai, pentas ”Cebolang Minggat”—juga pentas-pentas Slamet sebelumnya—kembali menegaskan pentingnya keaktoran dalam panggung pertunjukan. Sebagai aktor, Slamet sangat matang dengan kepiawaian mengaduk berbagai unsur seni menjadi satu pentas yang asyik. Hasilnya selalu membeberkan berbagai elemen yang kaya: mulai dari pedalangan, tari, musik tradisi dan modern, teater, tradisi pesantren Islam, budaya Jawa pesisiran, sampai menyenggol isu-isu aktual perkotaan.
”Multikulturalisme Jawa pesisiran turun dan membumi dalam diri Slamet. Menariknya, semua khazanah yang menumpuk itu tidak artifisial, melainkan hadir kuat karena memang sudah built- in dalam dirinya,” kata Wicaksono.
Dari sisi musikal, etnomusikolog Rizaldi Siagian juga punya pujian serupa. Slamet dianggap mampu menyublimasi pakem pedalangan Jawa keraton, Jawa pesisiran, dan kerawitan dengan pakem qiraah Al Quran sekaligus merambah musik modern, seperti blues dan jazz. ”Lahirlah sinkretisme musikal dari berbagai unsur. Dan itu muncul seketika dalam tradisi tutur yang akrab,” katanya.
Pentasnya menjadi semakin enak karena Slamet menyerap semua kemungkinan musikal secara bebas, tanpa berpihak. Dia mengalir begitu saja, mengikuti persentuhan yang berlangsung dalam lingkungannya. Dengan kemampuan improvisasi kuat, pentasnya enak dinikmati.
Tak berlebihan jika kemudian budayawan dan pendiri Komunitas Salihara, Goenawan Mohamad, menyebut Slamet sebagai pementas yang istimewa, bahkan genius. Pentasnya juga berhasil memasukkan budaya pinggiran dari Tegal menjadi bagian dari seni teater modern; membaurkan batas antara tradisi santri dan abangan yang sebelumnya selalu berjarak.
”Dia merayakan perbedaan dan keragaman pada tiap bagian pentasnya,” katanya.
Perjalanan
Semua ekspresi kesenian itu berangkat dari perjalanan hidup Slamet yang memang berwarna-warni. Lahir di Tegal, Jawa Tengah, 19 Juni 1966, Slamet adalah salah satu dari 12 bersaudara anak seorang dalang. Dia mewarisi tradisi pedalangan sejak kecil.
Saat ayahnya meninggal, Slamet memperoleh bapak angkat seorang petani, dan kemudian seorang kiai di Pesantren Alma'un di Dukuh Salam, Kecamatan Slawi, Tegal. Dari bapak petani, dia mengenyam tradisi agraris, sedangkan dari bapak kiai, dia belajar mengaji Al Quran.
Sempat kuliah teater di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), tetapi dia tak betah. Lalu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan pedalangan di STSI Surakarta. Di kota ini pula, dia bergaul dengan banyak seniman yang memperkuat unsur seni klasik dan kontemporer.
Selepas kuliah di Solo tahun 1998, Slamet mengembangkan wayang suket. Dia terus bereksplorasi dengan bentuk-bentuk lain dan meramunya dengan berbagai khazanah pengalaman hidupnya sendiri. Lahirlah model pertunjukan unik dan kaya, seperti pentas ”Cebolang Minggat” dan pentas-pentas sebelumnya. Selain tubuhnya yang subur, Slamet juga nyaris selalu tampil membawa mandolin, sejenis gitar kecil yang dia stem sendiri sesuai keperluannya.
Pentas-pentas Slamet Gundono seolah menjadi rumah yang menampung lika-liku perjalanan hidupnya sendiri: pedalangan, agraris, pesantren, pesisir, teater modern, dan pedalangan. ”Saya mengalir begitu saja, menggali berbagai kemungkinan dari seni pentas yang bagai samudra tak habis-habisnya,” kata Slamet saat wawancara dengan Kompas di Sanggar Wayang Suket, Surakarta, Juni lalu.
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Desember 2009
No comments:
Post a Comment