KETIKA dipadukan dengan seni teater,tari, multimedia,musik dan musik,puisi menjadi sarat makna.Itulah kesan yang muncul dari penampilan seniman Asrizal.
Digarap dengan persiapan yang sangat matang dan ketepatan mengolaborasikan aneka seni, membuat Konser Multimedia Puisi Asrizal Nur yang dipentaskan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), terasa sangat berbeda.Bagaimana tidak, selain puisi-puisi yang dibacakan penyair kelahiran Pekan Baru, Riau, 16 November 1969 itu, memiliki makna yang kuat dalam setiap baitnya, pentas berdurasi hampir dua jam tersebut berhasil memadukan banyak unsur seni. Misalnya teater, tari,musik, video juga sound effect, yang membuat hampir semua penonton tidak bergeming dari tempat duduknya masing-masing.
Konser Multimedia Puisi Asrizal Nur,diawali dengan tampilnya sang penyair dengan sebuah puisi berjudul Matahari Hati.Kegelapan melanda, asap-asap beterbangan. Sementara itu,sang penyair duduk bersila di atas pentas sambil dengan bergaya membaca mantra, puisi indah pun mengalir diiringi musik dengan hentakan-hentakan perlahan. Matahari Hati bercerita ketika sebuah zaman di musim yang kelam, orang-orang membungkus hatinya dengan selimut buram. “Selamatkan hati, nyalakan jadi matahari,tentukan ragam musim.
Matahati pembeda mana terang mana kelam,” kata sang penyair dari atas panggung. Sementara itu,di hadapannya para peniup terompet panjang meniup terompet mereka dengan nada yang menggema. Redup cahaya panggung, menjadi penanda puisi kedua mulai dibacakan Asrizal. Sesuai dengan judulnya Rumah Kita,di layar besar di belakang panggung muncul gambaran sebuah rumah yang hendak dibangun.Namun, sayang bencana alam menghancurkan rumah itu, hingga yang tersisa hanya puing. “Katakan tidak pada hati mendua, pelihara merah sehingga dapat beda mana darah mana nanah,” katanya lantang.
Sementara puisi Rumah Kita dibacakan, di panggung muncul para pencuri dengan pedang panjang di tangan, seakan hendak mengambil dan merampas apa yang bisa mereka rampas dari rumah-rumah yang ingin mereka jarah. Tiba-tiba musik mengalun dengan irama yang cepat. Sang penyair muncul dari balik bebatuan besar. Maka mengalunlah sebuah puisi berjudul Negeri Batu.Puisi ini bercerita tentang sebuah negeri batu, di mana-mana orang berhati batu. Di negeri batu orang tidak punya negeri. Negeri Batu semakin memikat dengan muncul orangorang memanggul batu.
Sedang di layar muncul siluet sebuah bukit batu yang gersang dan sepi tanpa kehidupan. Kreativitas Asrizal ternyata tidak berhenti hingga di situ saja, suasana pada zaman Romawi kuno juga digambarkannya lewat dua tiang berukuran besar yang seakan terpancang kuat. Orang-orang datang membawa ranting dengan busana hitam.Sayup-sayup terdengar suara orang-orang berzikir.Penyair berbusana serba putih muncul dari balik bebatuan sambil membacakan puisi berjudul Majelis Zikir Dedaunan. Sedang di layar muncul gambaran pohon dan pucuk-pucuk pohon yang hijau, namun hutan berubah menjadi api yang membara.
“Impian untuk menggelar pementasan spektakuler dengan menggabungkan banyak cabang seni, sudah ada sejak tahun 1993. Pentas ini merupakan penyempurnaan dari banyak pementasan yang telah dilakukan sebelumnya,” papar Asrizal Nur. Lebih lanjut ditambahkannya, dengan menyuguhkan karya baru yang monumental lewat Konser Multimedia Puisi Asrizal Nur, penyair berharap dapat memberikan kontribusi kepada dunia pertunjukan puisi di Indonesia. Percakapan Pohon dan Penebang, menjadi puisi yang dibawakan Asrizal Nur selanjutnya.
Di panggung muncul orang dengan busana pohon yang mewakili pohon dan seorang penebang yang membawa gergaji mesin.Bertanyalah pohon kepada, penebang apakah dia seorang penebang.Namun, si penebang menjawab tidak, malah mengaku dirinya sebagai penanam. Komunikasi antara pohon di dalam layar dengan pembaca puisi di panggung membuat pertunjukan ini semakin menarik. Konser puisi tersebut juga dimeriahkan dengan penampilan penyanyi balada Franki Sahilatua menyanyikan kisah yang sama dengan puisi yang dibacakan yaitu bercerita tentang penanaman pohon dan penebang. “Penanam berpayung hati, penebang berpisau hati,”kata Franky dalam lirik lagu baladanya.
Keprihatinan terhadap kasus korupsi yang tidak terbasmi, juga menjadi keprihatinan sendiri bagi penyair.Keprihatinan itu,dituangkan dalam sebuah puisi berjudul Tikus Api. Puisi itu bercerita tentang negeri yang dipenuhi oleh koruptor. Pentas Konser Multimedia Puisi Asrizal Nur ditutup dengan tarian tradisional Riau dan sebuah puisi berjudul Buntung. Puisi terakhir ini, sang penyair duduk tepat di bawah kursi yang digantung.Dan seketika penonton dibuat kaget,karena tiba-tiba kursi itu jatuh dan menimpa sang penyair. Kursi yang jatuh dilambangkan dengan jatuhnya sebuah kekuasaan sementara rakyatnya masih sengsara.
Konser puisi ini semakin menarik karena puisi karya Asrizal juga dibacakan oleh Gubernur Riau HM Rusli Zainal,Wali Kota Tanjung pinang (Suryatati),DPR RI Lukman Edy, BPN2TKI Moh Jumhur Hidayat,Wakil Bupati Bintan Mastur Taher, Dubes Aljazair Mr Hadjar Ammar, Dubes Prancis Anne Lonoff, Neto de Sousa (Portugal) Sara de Franna Guimar,Madagaskar Miora R Rafanoharana. (bernadette lilia nova)
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 13 Desember 2009 ]
No comments:
Post a Comment