-- Asvi Warman Adam
LIMA wartawan untuk Channel 7 dan Channel 9 Australia yang terdiri dari dua warga negara Australia, satu Selandia Baru, dan dua orang Inggris meliput Timor Timur. Pada 16 Oktober 1975, mereka tewas dengan beberapa versi. Menurut Pemerintah Australia, berdasarkan laporan Tom Sherman, kelimanya gugur dalam suatu konflik bersenjata di Balibo antara Fretilin melawan kelompok UDT dan Apodeti yang didukung tentara Indonesia. Kolonel (Pur) Gatot Purwanto yang bertempur di Balibo saat itu mengatakan jenazah mereka dibakar jadi abu. Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput di sana, menambahkan bahwa abu jenazah itu dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Tanah Kusir, 5 Desember 1975. Pemakaman ini dihadiri Dubes Australia untuk Indonesia Richard Woolcott.
Ada dua hal yang menjadi kontroversi sejarah, yakni proses kematian wartawan itu dan betulkah jenazah mereka di Tanah Kusir. Yang terakhir ini tentu dapat dicek melalui tes DNA jika memang diinginkan pihak keluarga yang mengatakan mereka tidak bisa ke Jakarta saat pemakaman. Pada film ini digambarkan kematian mereka disebabkan tembakan pistol ke kepala dan tusukan pisau serta bayonet. Gatot Purwanto yang menonton film ini di Taman Ismail Marzuki bersama wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), 7 Desember 2009, membantah hal tersebut: mereka tewas dalam suatu kontak senjata. Gatot juga membantah adegan penyerbuan ke pelabuhan Dili, 7 Desember 1975, yang banyak memakan korban. Menurut dia, tentara Indonesia tidak menembaki warga sipil. Di dalam film ini ditayangkan kematian Roger East secara tragis, yakni ditembak di atas dermaga dan tubuhnya melayang ke laut. Apakah kejadian yang sebenarnya demikian, wallahualam.
Film yang disutradarai Robert Connoly ini bercerita tentang lima pemburu berita berusia 21-28 tahun yang bertugas untuk saluran televisi Australia yang hilang dalam menjalankan tugasnya medio Oktober 1975. Tiga minggu kemudian, Roger East, wartawan yang lebih senior, yang ditawari Ramos Horta mengepalai Kantor Berita Timor Timur, datang ke Timor Timur mencari lima wartawan tersebut. Ternyata Roger East mengalami hal yang sama di Dili. Ramos Horta memang di-”pahlawan”-kan dalam film ini, bukan Xanana Gusmao.
Penayangan film Balibo Five dalam Jiffest yang diselenggarakan di Jakarta, Desember 2009, ditolak Lembaga Sensor Film (LSF) karena dianggap menyudutkan tentara Indonesia. Pada awal film diterakan ”This is a true story”, padahal film Indonesia biasanya mencantumkan keterangan ”film ini fiktif belaka”. Di dalam Balibo Five memang terdapat adegan fiktif, seperti perkelahian antara Roger East dan Ramos Horta yang menyebabkan keduanya tercebur masuk kolam renang. Keduanya sempat ditembaki dari udara oleh helikopter Indonesia. Menurut Gatot Purwanto, hal itu tidak mungkin karena sampai dengan 7 Desember 1975 baru digunakan helikopter sipil milik Deraya yang tidak dilengkapi dengan senapan mesin. Gatot juga melihat pelat mobil yang digunakan dalam film ini menggunakan pelat mobil yang sekarang, bukan tahun 1975.
Beda reaksi
Di Australia, tanggapan masyarakat terhadap film Balibo Five ini biasa saja. Bahkan di Timor Leste, menurut wartawan Ezki Suyanto yang kebetulan berada di sana, film itu tidak banyak ditonton. Justru masyarakat Dili lebih tertarik menonton film sinetron Cinta Fitri ketimbang Balibo Five. Pada Agustus 2009 di Brisbane International Film Festival, film Balibo Five diputar bersama-sama dengan film John Hughes, Indonesia Calling, Joris Ivens in Australia, 2009.
Film ini menceritakan tentang pembuatan film Indonesia Calling (durasi 22 menit) oleh Joris Ivens pada tahun 1946. Film Indonesia Calling menggambarkan boikot buruh pelabuhan berbagai bangsa di Australia terhadap kapal Belanda yang memuat persenjataan yang akan berlayar menuju Indonesia awal 1946. Ini merupakan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia. Jadi, film John Hughes ini sangat positif bagi sejarah hubungan baik Indonesia-Australia.
Kalangan wartawan Australia sendiri terbelah pendapatnya mengenai kasus Balibo Five. Selain Jill Jolliffe yang sangat kritis, juga ada Tony Maniaty yang baru menulis buku, Shooting Balibo, Blood and Memory in East Timur, Sydney, Viking, 2009. Tony sendiri bertemu dengan kelima wartawan itu di Balibo dan menyarankan agar mereka menyingkir. Ketika terjadi penyerbuan di Balibo pagi hari, para wartawan itu sebetulnya masih bisa lari, tetapi mereka bertahan menunggu matahari terbit 40 menit lagi agar dapat foto yang bagus. Tony yang ikut rombongan Fretilin dapat menyelamatkan diri.
Sesungguhnya banyak hal bisa didiskusikan dari film Balibo Five. Pemutarannya secara terbatas di kampus dan disertai diskusi bersama pakar dapat memperkaya pemahaman sejarah. Seyogianya pula Pemerintah Indonesia memfasilitasi pertemuan ilmiah sejarawan Indonesia dengan Timor Leste di Bali. Karena sejarah hubungan kedua negara tidak akan bisa ditutup-tutupi. Ironisnya di Indonesia, sejarah Timor Timur tidak lagi diajarkan di sekolah sejak tahun 2006 karena petugas kurikulum di Departemen Pendidikan Nasional ”kelupaan” memasukkannya.
* Dr Asvi Warman Adam, Narasumber di Dili untuk CAVR Timor Leste (2004) dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste (2008)
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Desember 2009
No comments:
Post a Comment