PARA pengungsi dari Timor Timur yang masuk ke wilayah Republik Indonesia di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 1999 benar-benar harus memulai kehidupan dari nol. Kerusuhan dan kondisi chaos yang terjadi usai jajak pendapat waktu itu memaksa mereka segera pergi menyelamatkan diri tanpa sempat membawa harta benda.
Aktris Alexandra Gottardo (kanan) dan aktor Lukman Sardi menunggu giliran berakting dalam shooting film Tanah Air Beta produksi Alenia Pictures di Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. (KOMPAS/DAHONO FITRIANTO)
Seperti diungkapkan Antonio Soares (51), warga Maliana, Bobonaro, Timtim, yang mengungsi tak lama setelah hasil jajak pendapat diketahui warga. ”Waktu itu, warga prokemerdekaan yang sebelumnya tinggal di hutan dan gunung langsung turun dan menjarah setiap barang milik warga pro-integrasi. Kalau tidak cepat lari, nyawa taruhannya,” tutur Antonio, yang menjadi prajurit TNI sejak 1979.
Sebagian besar pengungsi benar-benar hanya membawa baju yang melekat di tubuh. ”Awal-awal dulu kami tinggal di tenda seadanya. Kemudian dapat tenda terpal dan beras dari UNHCR (badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi). Setelah itu kami berjuang sendiri untuk bertahan hidup,” kata Carlos Dasilva (50), salah satu pengungsi di kompleks penampungan Salore, sekitar 10 kilometer sebelah timur kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, NTT.
Para pengungsi itu kemudian menetap di kantong-kantong penampung pengungsi yang disediakan pemerintah atau membeli tanah dari penduduk setempat dengan cara patungan. ”Waktu itu kami patungan antara Rp 700.000-Rp 1.000.000 per KK, sampai terkumpul uang Rp 60 juta untuk membeli tanah adat dari penduduk setempat di sini. Sebagian rumah dibangun oleh pemerintah, dan sebagian lagi kami bangun sendiri,” ungkap Arnaldo Dasilva Tavares (40), tokoh masyarakat yang memimpin warga pengungsi di Salore.
Belum berakhir
Penderitaan belum berakhir saat mereka sudah menemukan tempat tinggal. Beberapa kampung pengungsi ini sangat minim fasilitas, seperti sumber air bersih. ”Tiga tahun pertama tinggal di sini, kami harus bangun setiap pukul tiga dini hari, lalu berjalan kaki 10 kilometer untuk mengambil air. Baru tahun 2004 ada seorang misionaris yang membangun sumur di tempat kami,” kata Joseph Porques (35), warga di kompleks pengungsi SP-1 di Desa Ponu, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT.
Hingga kini, kehidupan para pengungsi ini masih sangat memprihatinkan. Sebagian besar mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di Salore, sebagian besar pengungsi bahkan masih buta huruf dan belum bisa berbahasa Indonesia.
Dengan keterbatasan sumber daya alam, pengetahuan, dan keterampilan yang mereka miliki, para pengungsi ini pun bekerja ala kadarnya untuk bertahan hidup. Mereka rata-rata bertani jagung, kacang tanah, atau kacang hijau. Namun, karena alam Pulau Timor yang kering hampir sepanjang tahun, hasil pertanian ini tidak bisa diandalkan untuk hidup.
Untuk menambah penghasilan, Ermenegildo Pereira (32), yang juga berasal dari SP-1, sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek di kota Atambua yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Ponu. ”Hasilnya rata-rata Rp 30.000-Rp 35.000 sehari,” katanya.
Selain jadi tukang ojek, ada juga yang menjadi tukang gali di tambang batu mangan, seperti yang dilakukan Joseph. Sehari menggali, Joseph bisa mendapat satu karung batu mangan senilai Rp 15.000. ”Sedih memang, tetapi mau bagaimana lagi? Yang penting selamat dulu,” tutur Joseph.
Joseph sempat berpikir untuk kembali ke kampung halaman di Timor Leste karena di sana setiap pekerjaan dibayar dengan uang dollar yang lebih tinggi nilainya. ”Jual sayur atau gali sumur saja bisa dapat Rp 500.000-Rp 600.000 sehari,” ujarnya.
Namun, dia masih berat meninggalkan Indonesia. ”Meski sudah aman, tetapi di Dili itu (tempatnya) segitu-segitu saja. Sementara di Indonesia ini sangat luas, saya bebas ke mana saja,” kata Joseph. (DHF).
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Desember 2009
No comments:
Post a Comment