IDENTITAS merupakan perkara yang tak habis-habisnya untuk terus diperiksa dan dibaca. Namun, begitulah tabiatnya identitas di hadapan hukum besi kebudayaan yang bernama perubahan. Kini tinggal bagaimana perubahan itu disikapi sehingga ia menjadi cair dan leluasa melakukan negosiasi dengan berbagai identitas di luar dirinya. Ketika konstruksi identitas yang dibentuk oleh kanon-kanon resmi bernama negara hanya membuat identitas menjadi beku.
Demikian juga karena adanya ketidakadilan dalam ranah kebudayaan itu sendiri sehingga identitas akan membentuk ruang alternatifnya yang disebut dengan ruang ketiga.
Ruang ketiga bukanlah ruang yang mesti dimengerti dalam logika bilangan. Namun lebih mengarah pada ruang alternatif, tempat identitas mengonstruksi dirinya lewat berbagai kemungkinan yang disediakan oleh berbagai perkembangan kebudayaan. Ruang ketiga ini adalah ruang yang senyap, ruang yang luput dari perhatian negara dan saluran-saluran resmi kebudayaan.
Demikian salah satu perbincangan yang muncul dalam diskusi "Refleksi Kebudayaan Akhir Tahun 2009" di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat, Selasa (22/12). Diskusi menghadirkan pembicara Acep Zamzam Noor, Gustaff Harriman Iskandar, Hawe Setiawan, dan Miranda Risang Ayu. Diskusi yang dipandu oleh Setiaji Purnasatmoko ini dihadiri oleh sejumlah seniman dan aktivis budaya di Bandung. Seperti tajuknya, diskusi ini mencoba merefleksikan sejumlah isu kebudayaan, baik secara nasional maupun lokal (Jabar), sepanjang 2009.
Jika Acep Zamzam Noor dan Miranda Risang Ayu lebih menekan pada fenomena moralitas politik dan hukum, maka perbincangan ihwal bagaimana identitas budaya dikonstruksi dalam kekinian, mengemuka dari pemaparan Hawe Setiawan dan Gustaff. Dari sudut yang berbeda, keduanya berada dalam cara pandang yang sama perihal bangun identitas yang mesti membuka dirinya demi menggali berbagai potensi yang relevan dengan pokok permasalahan yang universal, dari mulai isu lingkungan, krisis ekonomi, atau korupsi, hingga terbukanya emansipasi sosial.
**
SEJUMLAH pemikiran juga mengemuka untuk menarik permasalahan identitas ke berbagai persinggungannya dalam isu fenomena kebudayaan yang lebih luas. Bambang Subarnas menawarkan pandangan kritisnya pada korelasi fenomena kebudayaan dengan dunia pendidikan, atau Silvester Petara Hurit yang menarik pemahaman praktik kreativitas kebudayaan sebagai ruang yang harus terus mengganggu kemapanan sehingga adanya dialektika.
Sementara itu, Acep Iwan Saidi memosisikan pandangannya berseberangan dengan tesis Hawe Setiawan perihal perulangan dalam isu budaya lokal. Ia menariknya ke sejumlah realitas peradaban yang memang selalu berulang. Dengan itulah, alih-alih mencemaskan perulangan dalam pandangan Hawe, ia tetap merasa optimistis. Dalam konteks dunia kontemporer dan skenario teknologi global, ia melihat betapa identitas digerakkan untuk mengisi sejumlah tempat, dari mulai jejaring sosial Facebook sampai jembatan Suramadu.
Dalam jaringan itulah identitas berada. Pada kondisi itu pula identitas hadir tanpa identitas itu sendiri. Di tengah situasi semacam itulah, mengemuka pertanyaan tentang bagaimana semestinya nilai itu harus dirumuskan. Namun apakah memang nilai itu harus dirumuskan? "Dan ini jadi rumit lagi jika membayangkan adanya nilai identitas yang ideal, sebab nilai justru terletak pada jaringan kesadaran," katanya.
Pada bagian lain, Acep Iwan Saidi pun mengejar Hawe dengan mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan identitas kelokalan ketika seluruhnya telah digiring menjadi bagian dari budaya urban, dari mulai surabi imut sampai rumah makan bergaya tradisional. Sementara itu, Teddy Muhtadin bersepakat ihwal ruang identitas bagi budaya lokal yang mesti dilepaskan dari mental korban yang terus dipertahankan sehingga ia tak hanya berbahaya bagi dirinya, tetapi juga bagi yang lain. "Karena itulah, saya kira ini berkontribusi pada pengukuhan identitas budaya tersebut. Saya kira akan menarik jika, misalnya, menghubungkan bahasa Sunda tidak hanya milik orang Sunda," ujarnya.
Sudut pandang yang lain muncul dari pandangan Hikmat Gumelar yang berangkat dari pernyataan Miranda Risang Ayu tentang hukum sebagai kesepakatan bersama, untuk lantas menghubungkannya dengan ketidakadilan di ranah kebudayaan. Dia melihat jika hukum lahir dari kesepakatan bersama, maka konsekuensinya ia pun harus mengakomodasi rasa keadilan bersama. Jika ini diingkari, maka yang terjadi adalah ketidakadilan. Hal ini pula yang ditenggarainya terjadi di tengah perbincangan atau praktik-praktik kebudayaan, dengan tak adanya penghormatan pada data dalam melakukan inventarisasi isu kebudayaan, sebagai apa disebutnya dengan kekerasan simbolik.
**
SELAIN saling menajamkan berbagai sudut pandang, perbincangan pun menghadirkan sejumlah perbedaan. Acep Zamzam Noor memandang bahwa tak ada nilai yang perlu dirumuskan sebagaimana yang dipertanyakan oleh Acep Iwan Saidi. Karena jika sebuah nilai dirumuskan, nilai itu cenderung akan menjadi nilai tunggal yang akan mengingkari demokrasi dan pluralitas kebudayaan. Namun paling tidak, ia meletakkan semacam harapan bagaimana nilai-nilai itu akan dipahami oleh komunitas dalam sebuah identitas budaya.
Sementara menanggapi apa yang dikemukakan Hikmat Gumelar dan Acep Iwan Saidi, Hawe Setiawan membawa perbincangan ke tataran yang dianggapnya sebagai persoalan mendasar dalam memandang kebudayaan dan relasinya dengan ruang. Terhadap pandangan Hikmat, seraya menyinggung praktik kreativitas budaya sebagai pengganggu, seperti yang dilontarkan Silvester Petara Hurit, ia sepakat selalu terjadinya paradoks dalam mekanisme kritik kebudayaan.
"Dalam kerangka kritik kebudayaan, jangan sampai tulisan kita yang tadinya hendak mengkritik ketidakadilan malah mengukuhkan ketidakdilan itu sendiri, dengan menciptakan kekerasan di tingkat simbolis. Kebudayaan jadi dipandang secara tidak berimbang," ujarnya.
Di sinilah ia melihat permasalahan mendasar, dari bagaimana semestinya memosisikan diri dalam ruang dan cara memandang ruang, termasuk dalam pemahaman terhadap identitas kelokalan dan globalitas. Bagaimana ruang dipandang dan bagaimana memosisikan diri di dalamnya, selama ini seolah berlangsung dalam situasi yang tidak meruang, tidak merangkum seluruhnya.
"Cara kita memandang ruang, saya kira selama ini banyak dipengaruhi oleh bagaimana militer melihat ruang tempur, ada kebudayaan pusat, ada kebudayaan pinggiran. Atau bagaimana Soeharto menata ruang bagi organisasi militernya, dari mulai KSAD, Pangkowilhan, sampai organisasi kesatuan paling bawah. Tetapi tampaknya, demikian pula kita memandang kebudayaan. Saya kira sekarang banyak peluang untuk kita mengubah cara kita memandang kebudayaan dan memosisikan diri di dalamnya," ujar Hawe,.
Sementara itu, Gustaff menolak anggapan bahwa dinamika kreatif yang dilakukan oleh komunitas anak muda dalam ruang ketiga, seperti komunitas musik independen di Bandung, tidak melahirkan ekspresi-ekspresi yang kontemplatif, Gustaff mengiventarisasi, dalam beberapa tahun ke belakang, ada karya musik independen yang menampilkan sejumlah ekspresi kontemplatif. Dari mulai yang berangkat dari puisi Wiji Thukul hingga yang menyuarakan bagaimana Tuhan telah "digantikan" oleh mal dan televisi. Termasuk sebuah lagu berjudul "Kujang Rompak" yang mengkritisi fundamentalis budaya lokal, yang dipandang sudah tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang. "Hanya memang, ekspresi kontemplatif itu disampaikan dengan bentuk atau cara yang tak bisa kita dikenali lagi sebagai karya yang sublim," ujarnya.
Pada bagian lain, ia bisa bersepakat dengan Hawe dan Teddy Muhtadin tentang keperluan menggeser perbedaan lokasi ranah kultural dari pluralitas demografis ke ranah yang lebih luas. Kebudayaan, termasuk budaya lokal, haruslah tetap menjadi wilayah cair karena di situlah berbagai komunitas budaya bisa saling melakukan negosiasi.
"Bagaimana orang dan budaya Sunda bukan hanya yang diidentifikasi sebagai mereka yang sebatas tinggal di Jabar. Nyunda bisa di mana saja," tuturnya, seraya menenggarai bagaimana di tengah itu semua, terdapat ancaman adanya privatisasi kultural yang merupakan representasi dari hegemoni dan kooptasi budaya korporasi sehingga kebudayaan tidak lagi berada di wilayahnya yang netral.
Kekerasan simbolik, seperti yang dikemukakan Hikmat, dalam kontelasi masyarakat urban, menurut Gustaff, menjadi semacam keniscayaan. Tarik-menarik kepentingan dan perhatian dan itu semestinya menjadi mekanisme yang normal sebagai dialektika. Hanya, dialektika itu seperti yang tersirat dalam pandangan Hikmat, kerap menjadi tak adil karena adanya keberpihakkan pada pemilik modal, termasuk pemilik modal sosial yang lebih besar. Hal ini tampaknya juga berhubungan dengan apa yang disebut Hawe, yakni cara pandang serta bagaimana memosisikan diri dalam kebudayaan sebagai ruang.
"Saya rasa, dalam ruangan ini, kita hanya bisa duduk bersama jika kita memiliki kepentingan bersama. Tahun depan, sebagai refleksi akhir tahun, kita harus merumuskan kembali apa kepentingan kita bersama itu," katanya. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 December 2009
No comments:
Post a Comment