INI kutipan buku semi-ilmiah, Cerdas Menulis Karya Ilmiah (Kepel Press, Yogyakarta, Mei 2009), tetapi disampaikan dengan sangat rileks, khas Sudaryanto:
”Pernahkah Anda melihat (atau barangkali Anda mengalami sendiri sebagai) seseorang yang jomblo, menjomblo, atau membujang? Adalah wajar kalau seseorang semacam itu mendambakan pendamping hidup yang segera saja menjadi bojo-nya (suami atau istri, bergantung siapa si jomblo itu). Keliru besarlah jika yang selalu muncul menyiksa pertanyaan gamang ’ada tidak, ya, calon bojo-ku, yang menjadi jodohku? Dan bukan bagaimanakah, ya, caraku menemukan si dia?’
... Jadi sekali lagi: melangkahlah; dan mulailah mencari; maka Anda akan mendapatkan. Itu hukum besi yang ketiga yang perlu Anda patuhi jika Anda ingin menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah. Melangkah. Ya, melangkah! Melangkah mencari—untuk mendapatkan. Kapan? Sekarang! Segera setelah Anda membuat keputusan.”
Pada bagian lain dari buku itu, lagi-lagi Sudaryanto menulis dengan gaya yang benar-benar unik, berusaha menyentuh, tanpa pretensi sok ilmiah: ”Kelemahan guru dan dosen pembuat karya tulis ilmiah pada umumnya adalah mau cepat selesai tanpa bekal pengetahuan ihwal strategi yang cukup memadai; sekali tulis, inginnya dapat terus dibaca orang lain sampai habis....
Dalam menulis karya ilmiah, tidak ada jalan pintas, tidak bisa ’bim salabim’. Karya ilmiah yang sungguh-sungguh berkualifikasi karya ilmiah bukanlah sejenis mi instan atau pop mie—bahan yang demikian dikucuri air panas langsung siap saji. Juga bukan sejenis hasil sulapan, yang dicipta mendadak langsung mengundang decak....
Karya tulis ilmiah ada, terwujud harus lewat proses tertentu yang urut, sistematis, dimulai dari menyediakan data yang benar-benar data (valid dan reliable, sahih dan terandal) yang mengandung problemnya, berlanjut dengan menganalisisnya satu kelompok demi satu kelompok secara cermat (mengenai segi apanya, bagaimananya, kapannya, dan mengapanya) demi pemecahan problem itu serta memperoleh kaidah-kaidahnya, hukum-hukumnya, asas-asasnya, prinsip-prinsipnya. Kemudian diakhiri dengan menyajikan ke semua kinerja analisis beserta hasilnya itu dengan sistematis pula. Jadi berawal dari data, memuncak pada unit analisis (istilah pakar studi kasus Robert K Yin, 2004, berakhir pada kaidah).”
Istilah jomblo—kalau tidak salah—milik remaja kota yang haree genee niscaya tetap tidak mengenal Sudaryanto. Tetapi, Sudaryanto mengenal ”roh” mereka.
Kenapa baru kini pergulatan filosofisnya meluap dalam sikap batin kokoh dan argumen saksama? ”Terus-terang, saya belum siap ketika belasan tahun silam Anda meminta saya mengungkapkan segalanya,” ujarnya. (HRD)
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Desember 2009
No comments:
Post a Comment