Sunday, December 27, 2009

Perlu Ada Kurasi Tematik

BAGAIMANA identitas sebagai sebuah produk kreatif dalam praktik kebudayaan di tengah perubahan dan hal itu terjadi di tengah kian lenyapnya pamor kanon-kanon resmi, bisa diambil sebagai benang merah dalam diskusi "Refleksi Kebudayaan Akhir Tahun 2009". Paling tidak, isu inilah yang banyak dielaborasi oleh forum diskusi dari berbagai sudut pandang.

Namun dari berbagai pandangan yang mengemuka, terdapat sejumlah isu lain yang menawarkan fenomena berikutnya dalam perkembangan kebudayaan sepanjang 2009, baik secara nasional maupun lokal. Budaya hukum dari pemaparan Miranda Risang Ayu, misalnya, yang mengorelasikannya dengan potensi budaya lokal sebagai pertahanan terakhir, setelah kekayaan alam terus digerus dan dikolonisasi oleh negara-negara maju.

Demikian pula dengan moralitas hukum dan pandangannya, atas fenomena lenyapnya kepercayaan terhadap hukum itu sendiri. "Budaya hukum itu sense yang sangat meletihkan. Kalau kita tidak percaya pada hukum, jangan-jangan sebenarnya kita sendirilah yang tidak bisa dipercaya," katanya.

Sementara itu, dalam konteks perlindungan hukum terhadap produk-produk seni budaya tradisional dan kaitannya dengan strategi kebudayaan, Miranda melontarkan pertanyaan strategi, semacam apa sebenarnya yang diperlukan? Strategi kebudayaan apakah yang dapat secara optimal merangsang sekaligus bisa melindungi setiap karya kreatif anak bangsa, sebagai salah satu bagian yang kasat mata dari identitas kita, baik di mata kita sendiri maupun di mata dunia?

Begitu pula dengan amatan penyair Acep Zamzam Noor yang berangkat dari mentalitas budaya politik dalam konteks pemilihan calon legistatif (caleg). Alih-alih mengusung idealisme sebuah ideologi politik, ia mengamati bagaimana seluruhnya tak lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan yang serbapragmatis, yakni demi kesejahteraan dirinya dan keluarga jika terpilih.

Mentalitas dalam budaya politik semacam ini menjadi ironis jika dibandingkan dengan infrastruktur demokrasi Indonesia yang demikian lengkap. Tak hanya undang-undang partai poliltik, Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panwaslu, dan berbagai perangkat demokrasi lainnya, yang belum tentu ada di negara berkembang lainnya.

Pada beberapa bagian, sering kali sudut pandang Acep terkesan berangkat dari cara pandang personal yang unik dan mengundang gelak. Termasuk bagaimana ketika ia mengaitkan etos sosial dan budaya kalangan elite dengan dunia keilmuan dan pendidikan.

"Kadang saya berpikir bahwa satu-satunya cabang ilmu yang benar-benar diamalkan secara konsekuen di Indonesia ini hanyalah ilmu ekonomi. Sarjana-sarjana hukum begitu terjun ke lapangan dengan menjadi hakim, jaksa, atau pengacara, lebih banyak melakukan pendekatan ilmu ekonomi ketimbang ilmu hukum itu sendiri," ujarnya.

Sementara itu, lenyapnya legitimasi atau kharisma para pemimpin formal di mata masyarakat, menemukan korelasinya dengan hilangnya pamor kanon-kanon resmi atau absennya negara yang justru melahirkan kreativitas, seperti mengemuka dari sisi lain pandangan Gustaff Harriman Siregar dan T. Bachtiar. Namun Gustaff masih melihat peran negara bagi keperluannya sebagai institusi publik dalam skala yang lebih luas. Sedangkan bagi T. Bachtiar, absennya negara atau pemerintah dalam pembangunan di lapangan kebudayaan, justru melahirkan berbagai inisiatif dan inovasi kreatif, seolah membayangkan sampai sejauh mana sebenarnya harapan dan keperluan kita pada pemerintah. Bahkan, ia meyakini bahwa tanpa peran pemerintah, berbagai kreativitas budaya akan terus berlangsung.

**

"SAYA kira, jalan diskusi ini menarik. Teman-teman bisa mengeksplorasi berbagai gagasan dan ruang perbincangan bisa terbangun. Hanya saja ke depan, ada baiknya kita menemukan topik yang lebih fokus sebagai agenda setting yang bisa kita elaborasi bersama," kata Acep Iwan Saidi seusai diskusi.

Jika diperhatikan, katanya, dalam satu tahun, akan banyak hal di Jawa Barat yang bisa dielaborasi dalam diskusi akhir tahun semacam ini. Ia melihat budaya hukum, politik, budaya lokal, dan budaya urban, memang menarik sebagai tema. Hanya saja ketika ruang itu melebar, tema itu kehilangan fokusnya. "Mungkin juga karena jumlah pembicara yang terlalu banyak. Untuk ke depan, saya kira konsep dan format diskusi sebaiknya diubah bentuknya menjadi semacam focus group discussion (FGD) di mana masing-masing orang jadi narasumber," ucapnya.

Hal yang sama juga dilontarkan oleh Bambang Subarnas. Seraya memandang bahwa diskusi akhir tahun ini menarik dan penting untuk menjadi tradisi tahunan sebuah media, seperti Pikiran Rakyat. Karena itu ia berharap, untuk selanjutnya, arahan tematik dan fokusnya bisa lebih diperjelas. "Saya kira perlu ada kurasi tematik bersama. Kurasi itu kita lakukan setiap tahun untuk memilih fokus tema yang relevan dengan konteks saat ini. Jadi ada tema utama dan sejumlah sub-tema dengan format diskusi mirip FGD," tuturnya.

Hal senada datang dari Safrina Noorman. Dosen program pendidikan bahasa Inggris ini menilai, perbincangan dalam diskusi memang pada akhirnya menjadi refleksi tentang bagaimana hidup dan berbudaya, ketimbang sebagai refleksi akhir tahun. Ia menilai, ada baiknya diundang pembicara yang concern melakukan suatu penelitian atau kajian budaya tentang apa yang menjadi fenomena di tahun tersebut. "Tapi ada catatan menarik tentang bagaimana kita bicara kebudayaan. Terutama ketika Miranda memaparkan budaya hukum, yang jadi paradoks dengan sebagian peserta diskusi yang merokok. Padahal itu ruang ber-AC, termasuk pembicara," katanya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 December 2009

No comments: