Laa Ilaaha illa Allah..., Laa Ilaaha illa Allah..., Laa Ilaaha illa Allah..., Muhammad ar Rasulullah....
Gema bacaan tahlil yang menyatakan keesaan Allah dan pengakuan atas kerasulan Muhammad SAW itu menggema di lorong-lorong Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Rabu (30/12) malam, saat jenazah mantan Presiden Abdurrahman Wahid dibawa dengan keranda dari Gedung Ruang Pacu Jantung Terpadu RSCM menuju ambulans yang diparkir di depan Gedung A RSCM.
Tahlil itu diucapkan ratusan orang yang berdesakan mengiringi keranda jenazah guru bangsa yang akrab dipanggil Gus Dur.
Semua ingin melepas kepergian Gus Dur. Tokoh agama, politisi, menteri, pejabat negara, hingga rakyat biasa mengantar kepergian Gus Dur. Semua tumpah ruah memenuhi lorong-lorong rumah sakit.
Mereka menunggu hingga ambulans milik Garnisun dengan nomor 6703-00 melaju menuju rumah duka di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Gus Dur meninggal dunia sekitar pukul 18.45 di RSCM. Tidak berapa lama, kabar wafatnya presiden keempat itu pun tersiar luas.
Sejumlah tokoh bangsa pun berbondong-bondong datang ke RSCM untuk memberikan penghormatan. Lorong menuju ruang Pusat pacu Jantung Terpadu, tempat Gus Dur dirawat, penuh sesak. Penjagaan di pintu-pintu masuk langsung diperketat.
Satu per satu kerabat, kolega, pejabat, dan tokoh bangsa berdatangan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, mantan menteri Alwi Shihab, dan banyak tokoh lain berdatangan ke rumah sakit.
Tidak hanya tokoh Islam, tokoh lintas agama juga datang untuk memberikan ungkapan dukacita.
Selama menunggu jenazah Gus Dur keluar dari ruang perawatan, warga dan simpatisan menggelar doa tahlil di Lantai 5 Ruang Pacu Jantung Terpadu RSCM. Doa-doa dilantunkan dengan tulus dan khusyuk.
Sempitnya ruangan membuat siapa pun warga yang ada di ruang itu berdesakan, tak peduli jabatan atau kedudukannya. Semua warga masyarakat dari berbagai lapisan tunduk dalam kedukaan yang mendalam.
Saat jenazah Gus Dur dibawa keluar, sempat terjadi dorong-dorongan antara awak media, petugas keamanan, dan masyarakat yang ingin melihat keranda Gus Dur dari dekat.
Sejumlah pelayat yang berhasil memegang keranda Gus Dur tak kuasa membendung tangis.
Pendorong demokrasi
Bagi Indonesia, Gus Dur adalah guru bangsa. Ia bukan hanya tokoh multikulturalisme, tetapi juga pendorong demokrasi di Indonesia. Mengawinkan demokrasi dengan nilai-nilai Islam yang dipelajarinya sejak kecil.
Pendapat itu di antaranya diungkapkan Staf Ahli Presiden Daniel Sparringa dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie setelah mengantar jenazah Gus Dur keluar rumah sakit.
Daniel kembali mengingat peristiwa tahun 1991 saat ia menyusun disertasi. ”Saya punya rekaman panjang hasil wawancara dengan beliau soal demokratisasi di Indonesia,” tuturnya.
Jauh sebelum reformasi digaungkan, Gus Dur telah lebih dahulu memikirkan bagaimana mendorong demokratisasi di Indonesia.
Cucu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama itu bahkan menjadi perekat hubungan antarumat beragama.
Saat itu, lanjut Daniel, Gus Dur telah memikirkan bagaimana cara merekonstruksi bangsa.
Saat menjabat presiden, buah pikiran itu diterjemahkan Gus Dur dengan menyatukan perbedaan agama, suku, dan bangsa di bawah bingkai demokrasi.
Ia berhasil meyakinkan bangsa bahwa demokrasi bisa dikembangkan bersama-sama dalam masyarakat yang majemuk.
”Gus Dur membantu saya untuk mengerti negeri ini, pelajaran yang sangat berharga,” kenangnya.
Bahkan, Jimly menilai Gus Dur sebagai pahlawan pluralisme dan demokrasi Indonesia. Menurut dia, Gus Dur adalah satu-satunya presiden yang bisa mengarahkan opini publik, bukan larut mengikuti opini publik, seperti dilakukan pemimpin bangsa saat ini.
”Gus Dur itu tidak tunduk kepada massa, tetapi selalu bisa mengarahkan massa. Orang seperti Gus Dur sangat dibutuhkan bangsa ini,” katanya.
Totalisme Gus Dur dalam memikirkan nasib bangsa terlihat dari obrolan-obrolannya sebelum meninggal. Beberapa saat sebelum pergi, Gus Dur masih sempat memikirkan masalah bangsa.
Ia terus berdiskusi tentang bagaimana masa depan bangsa ke depan.
”Tadi, sekitar jam 17.00 saat kami berkumpul di ruangan, beliau masih ngobrol soal bangsa ke depan. Bercerita panjang lebar,” kata Achid Yaqub, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur yang dekat dengan Gus Dur.
Gus Dur telah mencurahkan segenap pemikiran, tenaga, dan harapan untuk masa depan bangsa. Terus berpikir bagaimana mengubah bangsa agar menjadi lebih baik.
Kini, guru bangsa itu telah pergi. Selamat jalan Gus Dur....
(Anita Yossihara/ M Zaid Wahyudi)
Sumber: Kompas, Kamis, 31 Desember 2009
No comments:
Post a Comment