-- Fachry Ali
DALAM perjalanan antara Yogyakarta dan Magelang Senin sore pekan ini, saya mengingat kembali masa pemerintahan Kiai Abdurrahman Wahid, bersama dengan Direktur Pemasaran PT Pupuk Pusri Bowo Kuntohadi.
Saya memang diundang Dirut PT Pusri, Dadang Kodri, menghadiri ulang tahun emas industri pupuk ini bersama dengan para petani di sekitar Candi Borobudur. Sayang, Aas Asikin Idad, Hidayat Nyakman, Arifin Tasrif dan Mashudiyanto masing-masing adalah dirut PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kaltim, PT Petrokimia, dan PT PIM Aceh tidak hadir.
Anehnya, dalam perjalanan balik dari Magelang ke Yogyakarta pada Selasa sore, saya kembali membicarakan Kiai Abdurrahman Wahid dengan Sukirno, Area Manager PT Pusri Pemasaran Daerah (PPD) Yogyakarta, yang menemani saya hingga ke airport kota itu. Tidak ada perasaan apa-apa ketika dua kesempatan pembicaraan itu berlangsung.
Tiba-tiba, ketika sedang kongkow dengan Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, sore hari kemarin, saya ditelepon M Irwan Ariefyanto, Redaktur Republika , dan mengabarkan kepergian Wahid. Saya dan menteri terkejut dengan berita duka ini. Bersamaan dengan itu, Umar Syadat Hasibuan, staf khusus Mendagri, juga menyampaikan kabar yang sama.
Sang menteri dengan cepat mengatakan keinginannya melayat. Sementara saya harus kembali menulis kenangan ini, dalam waktu yang begitu singkat. Dalam perjalanan pulang ke rumah, bersama pengacara muda T Syahrul Ansari (Alon), saya mengenang kejadian beberapa hari lalu.
Betapa dalam keadaan anfal, Abdurrahman Wahid menolak untuk segera masuk ke rumah sakit di Surabaya. Sebaliknya, ia meminta diantar ke Tebuireng, menziarahi makam kakek dan ayahnya Kiai Hasyim Asy'ary dan Wahid Hasyim. Ketika membaca berita itu, saya berpikir tentang sikap recalcitrant -nya, sebagaimana biasa diperlihatkan.
Bahwa ia tidak ingin tunduk pada berbagai halangan yang dihadapi untuk mencapai tujuan. Tetapi, ketika menyadari bahwa Kiai Abdurrahman Wahid telah tiada, saya memahami bahwa keinginan gigihnya itu adalah pertanda tentang ziarah terakhir yang mampu dilakukan.
Abdurrahman Wahid adalah tokoh yang selalu mencapai 'puncak', dalam pengertian yang hampir sebenarnya. Sebagai seorang santri, ia meraih puncak kepemimpinan organisasi santri: NU. Sebagai seorang intelektual, ia meraih penghargaan puncak karena mampu melahirkan gagasan berdaya komando bagi berbagai lapisan masyarakat.
Sebagai seorang pencetus gagasan kontroversial, ialah yang paling mampu menimbulkan kehebohan nasional, yang bekas-bekas kehebohan itu masih menjadi buah bibir hingga sekarang. Sebagai seorang politisi, ia bahkan berhasil mencapai posisi kepresidenan (1999-2001), kendati Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikannya baru seumur jagung.
Dalam posisi strategis itu, maka hanya Abdurrahman Wahid yang mampu mendorong sebagian besar politisi NU ke tingkat elite nasional secara masif. Diakui atau tidak, tokoh-tokoh seperti Muhaimin Iskandar, Alwi Shihab, Muhammad Hikam, Rozi Munir, Kiai Muhammad Agil Siraj, Matori Abdul Djalil (almarhum), Effendy Choirie, dan Chofifah Indar Parawansa tak akan pernah tampil ke muka dalam posisi elite nasional dewasa ini tanpa sentuhan tangan Abdurrahman Wahid. They were really nothing politically without having been endorsed by Abdurrahman Wahid.
Kemunculan mereka sebagai elite nasional adalah sepenuhnya tanggung jawab Abdurrahman Wahid. Dan terakhir, di antara jutaan kiai atau ulama di seluruh Tanah Air, hanya Abdurrahman Wahid yang mampu memadukan status pandito ratu: menggabungkan keulamaan dan kepresidenan ke dalam tangannya. Dilihat dari konteks ini, Wahid bukanlah produk sejarah, tetapi pembuat sejarah, baik dari segi intelektual maupun politik yang tak tertandingi.
Tentu, sebagai manusia biasa, kita punya catatan khusus tentang pikiran dan kinerjanya. Dari segi pemikiran, khususnya dalam konteks keagamaan, Wachid bukan saja telah melompat melampaui batas-batas konvensional yang mampu ditoleransi umat Islam, melainkan juga menjungkir-balikkan logika-logika yang sudah mapan.
Jika gagasannya menggantikan asslamu'alaikum dengan 'selamat pagi atau sore atau malam' atau 'mempribumikan Islam', bisa kita anggap sepele, maka usulnya menambah asas 'keadilan sosial' dalam struktur Rukun Iman di dalam Islam adalah sebuah sodokan teologis yang telak dan menggemparkan. Betapapun radikal kaum pemikir aliran Mu'tazilah yang memberikan kerangka logika bahwa Tuhan tak berkuasa mutlak, justru karena diktum bahwa Ia harus menepati janji-Nya tak akan pernah berani menyentuh struktur Rukun Iman yang sudah sangat baku itu. Tetapi di tangan Abdurrahman Wahid, rukun yang suci itu bisa menjadi sesuatu profan, dalam pengertian produk duniawi, dan karena itu beralasan untuk diintervensi oleh manusia.
Dalam konteks kinerja, Wahid telah membuat kesalahan fatal ketika menjabat presiden ke-4 Republik Indonesia. Ia adalah tokoh yang didorong Amien Rais pada akhir 1999 ke puncak kepemimpinan nasional hanya karena ingin mengelak Megawati Soekarnoputri mengulangi sejarah sang ayahnya sendiri: menjadi presiden. Tetapi, ketika usaha Amien Rais ini berhasil, ia melupakan jasa itu.
Bahkan, Wahid menganggap dirinya sebagai presiden penuh tanpa ada keinginan membagi ''kekuasaan'' dengan pendukung utamanya itu. Maka, jika akhirnya Amien Rais mendorongnya terjungkal melalui proses impechment dalam sidang Istimewa MPR pada 2001, dan menaikkan Megawati sebagai presiden penggantinya, haruslah kita lihat pada persepsi Wahid yang bersifat recalsitrant . He really wanted to be the second to no one .
Juga dalam konteks politik, ia telah melakukan sesuatu yang bersifat inflatif. Mungkin, perjalanan keluar negeri kepresidenan dengan tingkat frekuensinya di luar kewajaran bisa kita sepelekan. Tetapi, caranya meremehkan maka dukungan besar yang diterima di awal kepresidenannya, tak bisa termaafkan secara politik. Ia memang pada akhirnya terjungkal dari kekuasaan. Tetapi, kerugian itu bukan saja untuknya.
Melainkan untuk pengalaman demokrasi bangsa secara keseluruhan. Karena dialah satu-satunya presiden yang terpaksa berhenti melalui constitutional impechment , dan oleh sebab itu memberikan preseden. Dalam arti lain, kejadian Sidang Istimewa MPR 2001 itu telah memberikan inspirasi bagi semua politisi untuk melakukan hal yang sama bagi setiap presiden yang terpilih.
Maka, kendatipun sistem pemerintahan bersifat presidentil, tetapi kedudukan presiden tetap labil, karena ada preseden impechment terhadap Abdurrahman Wahid. Namun demikian, Wahid telah memperoleh tempat dalam sejarah Indonesia. Istilah dalam bahasa Aceh, tempatnya itu mengkleh keudroe , 'sangat khusus', dalam sejarah kita. Tak mengherankan, diplomat Desra Percaya menyampaikan pesan kepada saya dari Jenewa, bahwa kepergian Abdurrahman Wahid adalah a great lost for us all .
Selamat jalan sang pemimpin. Anda telah bekerja. Kami semua menjadi saksi bahwa kehadiran Anda yang singkat di bumi ini, telah menimbulkan pengaruh yang terasakan secara masif.
Sumber: Republika, Kamis, 31 Desember 2009
No comments:
Post a Comment