Saturday, December 12, 2009

Resensi: Sejarah Orang-orang Laut

-- Akhiriyadi Sofian


Data Buku

• Judul buku: Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX
• Penulis: Adrian B Lapian
• Penerbit: Komunitas Bambu
• Cetakan: I, Agustus 2009
• Tebal: xx + 284 halaman
• ISBN: 978-979-3731-59-1


SELAMA berabad-abad, budaya laut bangsa Indonesia begitu mewarnai lanskap sejarah Nusantara. Sudah seharusnya Indonesia kembali memerhatikan aspek maritim setelah sekian lama seolah terlupakan.

Karya terbaru Adrian B Lapian yang bertajuk Orang Laut Bajak Laut Raja Laut ini merupakan hasil dari disertasi doktoralnya di Jurusan Sejarah UGM pada tahun 1986. Sebagai seorang sejarawan maritim kawakan Indonesia, Lapian menyajikan fakta-fakta historis yang begitu kaya mengenai seluk-beluk kemaritiman yang pernah ada di Nusantara, khususnya di wilayah laut Indonesia bagian timur.

Karya ini mengupas tuntas mengenai orang laut, bajak laut, dan raja laut, khususnya di kawasan Laut Sulawesi abad XIX. Meskipun sebagai sebuah karya historis, buku ini tidak segan-segan memanfaatkan disiplin ilmu sosial lain dalam pemaparannya. Sebuah upaya seorang ilmuwan untuk melihat celah di balik sekat-sekat normatif keilmuan.

Campo (dalam Young, 2007: 25) membedakan motif perompakan (piracy) dalam dua kategori: ekonomi dan politik. Dalam aspek ekonomi, perompakan merupakan perampasan dagang di laut terhadap kapal yang lewat serta penyerangan dan pencurian secara terorganisasi di laut yang mendapat legitimasi penguasa. Sedangkan aspek politik perompakan diatur oleh penguasa dan bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan ataupun usaha ekonomis yang dijalankan dengan memberikan legitimasi kepada praktik-praktik perompakan tersebut.

Lapian menggenapi Campo dengan menambahkan dua kategori lain, yakni agama dan psiko-sosial (avonturisme), sebagai pelengkap kategorisasi bajak laut (hal 119-121). Motif keagamaan mengacu pada Perang Salib di Eropa serta perang jihad di Arab dan Turki. Motif avonturisme atau petualangan dilihat dari berbagai perang antarsuku bangsa—yang dianggap sebagai manifestasi sifat petualangan itu—yang sejak dulu telah melembaga di berbagai tempat di dunia. Apa pun dalam motif dari empat kategori di atas, terdapat satu benang merah di dalamnya, yakni ”kekerasan di laut” yang menjadi esensi dari setiap tindakan bajak laut.

Tradisi maritim berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia tidak selamanya disebabkan oleh lingkungan mereka yang bercirikan kemaritiman, seperti bertempat tinggal di laut atau daerah pesisir sungai besar dan pantai. Kelompok bajak laut Tobelo, misalnya, sebelumnya adalah orang darat (pedalaman). Berdasarkan sumber dari abad XVII, Lapian menuliskan, orang Tobelo pada mulanya sering diserang oleh bajak laut. Dari orang darat yang bersikap defensif, mereka berbalik menjadi pelaut yang sangat agresif (hal 132). Buku setebal 284 halaman ini juga mengungkapkan dua faktor penyebab orang Lanun (Ilanun) berpindah dari pedalaman ke daerah pantai dan menjadi salah satu kelompok bajak laut yang terkenal.

Faktor pertama, letusan gunung api yang menghancurkan kampung serta lahan pertanian mereka.

Kedua, terkait dengan stratifikasi sosial yang khas pada suku bangsa Maranao, yang memaksa aristokrasi yang menduduki lapisan atas memperkokoh kedudukannya dengan sistem perkawinan yang mencari pasangan di luar sukunya sendiri (hal 137). Perkawinan mereka dengan masyarakat Ilanun yang telah terlebih dulu merantau untuk mencari nafkah dengan merompak menjadi faktor pendorong yang makin kuat ketika terjadi bencana alam di permukiman darat.

Orang Tobelo dan Lanun pada masanya terkenal sebagai bajak laut yang merompak hingga Jawa, bahkan seluruh Asia Tenggara. Hingga sekarang, dua suku yang sebenarnya berasal dari daratan ini, di kalangan masyarakat maritim tertentu, masih terstigmatisasi sebagai perompak atau pelaku tindak kekerasan di laut.

Raja laut

Mengenai raja laut—kapitan laut, datu laut, pangeran laut—tentu saja tidak luput dari pemaparan Lapian. Keberadaan raja laut tidak bisa diabaikan dalam sejarah maritim karena merupakan salah satu kelompok atau kekuatan yang dimiliki oleh kerajaan atau kesultanan. Gelar raja laut di kawasan laut Sulawesi pada waktu itu sebenarnya dipegang oleh tokoh yang memimpin kekuatan laut kerajaan yang bersangkutan (hal 173). Oleh sebab itu, dalam hubungan ini, istilah raja laut dapat dipakai untuk menyebut tipe kekuatan laut yang resmi.

Berbeda dengan bajak laut yang merupakan tipe kekuatan laut tandingan yang oleh pemerintahan yang berkuasa dianggap ”liar”, tipe orang laut adalah masyarakat yang tidak atau belum terorganisasi dalam bentuk negara atau kerajaan.

Jabatan raja laut, menurut Lapian, pernah juga disandang oleh orang Eropa (hal 213-215). Gelar ”Dato del Mar” diberikan oleh Sultan Maguindanao kepada Kolonel Don Romualdo Crespo, putra dari Gubernur Jenderal Filipina Don Manuel Crespo. Hal serupa dialami oleh William Lingard, seorang kapten kapal niaga berbendera Inggris yang mendapat gelar raja laut (pangeran laut) dari Sultan Gunung Tabur. Gelar raja laut ini pun bukan sebuah ”jabatan kosong” tidak berarti.

Bajak laut

Interrelasi antara orang laut, bajak laut, dan raja laut ini menegaskan sifat patronage (hubungan patron-klien) yang begitu kental di kalangan masyarakat maritim Sulawesi. Setidaknya buku ini memberi cukup landasan historis untuk memahami kompleksitas stratifikasi sosial masyarakat Sulawesi pada umumnya yang berdasarkan atas trah.

Hubungan patron-klien antara bajak laut dan raja laut memungkinkan pergantian peran. Sebaliknya, orang laut dalam sejarahnya selalu menjadi vasal para patron, baik bajak laut ataupun raja laut. Lapian memang tepat dengan tesisnya tersebut. Setidaknya kalau kita membaca karya Bingling (2000), seorang Sjarif Abdoel Rahman Alkadri yang awalnya adalah seorang pedagang dan bajak laut berhasil mendirikan Kesultanan Pontianak dan bahkan mengesahkan dirinya sebagai sultan pertama yang kemudian menguasai perdagangan sepanjang Sungai Kapuas.

Pada abad XIX terjadi akselerasi pergeseran kekuasaan dari raja laut pribumi ke tangan asing yang sudah dimulai sejak abad XVI (hal 205-206). Kemajuan teknologi bangsa Eropa membuat persenjataannya lebih lengkap dan maju. Selain itu, muncul pula kesadaran untuk bekerja sama di kalangan bangsa Eropa guna mengoloni wilayah maritim di Nusantara.

Kekecewaan subyektif saya muncul ketika tidak menemukan aktivitas maritim dari orang-orang China. Padahal, jelas-jelas disebutkan oleh penulis bahwa sumber tertulis paling awal mengenai hal tersebut berasal dari catatan orang China, seperti Fa Shien (Faxian) dan Zhao Rugua.

Beberapa laporan historis mencatat mengenai aksi bajak laut China di Asia Tenggara (Young: 29-31). Bagaimana sebuah kongsi (triad) di Singapura dan Kalimantan Barat begitu dominan di antara kesultanan atau kerajaan pribumi pada abad XVIII hingga pertengahan abad XIX.

Terlepas dari itu, buku ini adalah sebuah karya komprehensif mengenai sejarah maritim di Nusantara, khususnya kawasan laut Sulawesi.

* Akhriyadi Sofian, Antropolog; Anggota Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat Kota Singkawang

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Desember 2009

No comments: