Sunday, December 27, 2009

[Kehidupan] Kisah Mereka yang Terpisah

-- Dahono Fitrianto

SUASANA perayaan Natal bulan Desember hampir selalu diidentikkan dengan salju dan cuaca yang sejuk dingin. Di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, jangankan salju, setetes air pun seolah begitu sulit didapat.

Seorang pengungsi menggendong anaknya, melintasi jarak yang jauh menuju wilayah Republik Indonesia setelah kerusuhan di Timor Timur pascajajak pendapat 1999. Reka adegan ini untuk keperluan shooting film Tanah Air Beta di daerah Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, Senin (7/12). (KOMPAS/DAHONO FITRIANTO)

Dataran dan perbukitan berbatu-batu, tandus berwarna coklat, terbentang hampir sejauh mata memandang di kawasan Ponu, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT.

Jarum jam baru menunjukkan pukul 07.30 Wita, Selasa (8/12), tetapi panas matahari serasa sudah menyengat luar biasa. Hampir tak ada tempat berteduh kecuali bayang-bayang mobil yang sedang diparkir dan sebatang pohon di puncak sebuah bukit batu.

Dalam cuaca seperti itulah sekitar 500 pengungsi eks Timor Timur dari beberapa kamp penampungan di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara melakukan reka ulang perjalanan penuh kepedihan mereka saat mengungsi dari kampung halaman masing-masing 10 tahun lalu setelah Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.

Ratusan orang, tua-muda, lelaki-perempuan, bahkan ada kakek-kakek serta anak balita yang masih digendong ibunya berjalan beriringan dengan kepala tertunduk. Beberapa orang membawa bendera Merah Putih yang diikatkan di tongkat kayu. Di samping mereka, truk-truk berbendera Merah Putih membawa barang-barang yang sempat mereka selamatkan: gulungan kasur, meja-kursi kayu, lemari pakaian, hingga sepeda dan gerobak.

”Suasananya benar-benar persis seperti ini sepuluh tahun lalu. Bedanya, waktu itu semua orang mengenakan ikat kepala merah putih,” ujar Prajurit Kepala TNI Antonio Soares (51), tentara dari Kodim 1605/Belu, yang menjadi saksi hidup eksodus masyarakat Timor Timur pro-integrasi tahun 1999 tersebut.

Reka ulang kolosal tersebut merupakan bagian dari shooting film terbaru produksi Alenia Pictures milik pasangan suami istri Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen-Sihasale. Film berjudul Tanah Air Beta itu adalah film kedua yang disutradarai sendiri oleh Ale, panggilan akrab Ari Sihasale, setelah film King (2009). ”Total kami melibatkan sekitar 1.000 pengungsi untuk menjadi extras dalam film ini sehingga benar-benar bisa menampilkan suasana pengungsian waktu itu,” ungkap Ale.

Terpisahkan

Film ini mengisahkan keluarga-keluarga yang tercerai-berai setelah lepasnya Timor Timur, bekas jajahan Portugal yang menjadi provinsi ke-27 RI sejak tahun 1976.

Dikisahkan seorang ibu muda bernama Tatiana (diperankan aktris Alexandra Gottardo) yang terpisah dengan anak pertamanya, Mauro (Marcel Raymond), saat terjadi kekacauan pascajajak pendapat 30 Agustus 1999. ”Nama-nama tokoh sengaja tidak memakai nama belakang karena menyangkut marga orang banyak,” tutur Ale.

Suami Tatiana hilang dalam kerusuhan dan dia hanya sempat mengajak anak keduanya, Merry (Griffit Patricia), mengungsi ke wilayah Indonesia. Setelah ketegangan mulai mereda, Tatiana kembali ke perbatasan untuk mengetahui nasib Mauro.

Saat mencari anak pertamanya itu, Tatiana berjumpa dengan pengungsi lain bernama Abu Bakar (Asrul Dahlan) yang terpisah dari istrinya saat kerusuhan. Mereka pun menjalin persahabatan di tengah penderitaan di pengungsian.

Tanah Air Beta adalah kisah fiksi yang diangkat dari latar belakang peristiwa sejarah. Menurut Nia Zulkarnaen, produser eksekutif film ini, karakter Tatiana dan kisah hidupnya merupakan gabungan dari beberapa sosok pengungsi eks Timor Timur yang diwawancarai sebagai narasumber saat riset film ini. ”Agustus lalu kami ke sini untuk mewawancarai para pengungsi sekalian survei lokasi,” kata Nia.

Ale menambahkan, ide untuk membuat film ini sudah muncul sejak dua tahun lalu sebelum ia dan Nia menggarap film King. ”Waktu itu kami membaca artikel di Kompas dan liputan di Metro TV tentang Jembatan Air Mata, jembatan di perbatasan Indonesia-Timor Leste di Motaain yang menjadi tempat bertemunya kembali para anggota keluarga yang terpisah,” ungkap sutradara yang juga aktor ini.

Nilai keluarga

Sejak itu, mereka mengumpulkan data tertulis seputar peristiwa tersebut sebagai latar belakang cerita. Agustus lalu Ale dan Nia, didampingi line producer Gunawan Raharja dan penunjuk jalan Noel Radjapono, survei lapangan ke daerah Atambua dan sekitarnya. ”Bahan-bahan hasil survei kemudian kami serahkan kepada penulis Armantono untuk diolah menjadi cerita dan skenario,” kata Ale.

Begitu skenario selesai, pengambilan gambar dilakukan di beberapa lokasi di sekitar Atambua dari 28 November-22 Desember. Kru sejumlah 40 orang beserta seluruh peralatan diterbangkan dari Jakarta menuju Kupang, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat selama tujuh jam menuju Atambua. ”Kami terpaksa membuat set perbatasan di Ponu karena perbatasan asli di Motaain sudah jauh berubah dibanding dengan tahun 1999,” ungkap Nia.

Film yang melibatkan juru kamera Ical Tanjung dan asisten sutradara Azhar ”Kinoi” Lubis ini merupakan film keempat dari Alenia setelah Denias, Senandung di Atas Awan (2006), Liburan Seru (2008), dan King (2009). Semuanya mengangkat kisah seputar anak-anak dan keluarga. ”Memang komitmen kami ingin selalu membuat film yang mengangkat nilai-nilai keluarga. Dalam Tanah Air Beta pun, kami tidak akan mengangkat masalah politiknya, tetapi lebih fokus pada kisah keluarga yang terpisah,” tutur Ale.

Film ini menurut rencana akan dirilis pada masa liburan panjang sekolah, Juni 2010.

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Desember 2009

No comments: