GUS DUR berpulang dan Indonesia kehilangan manusia yang paling komplet sekaligus kontroversial. Selama hidup, dua aras besar dimainkannya dengan gemilang: politik dan kebudayaan. Dan puncaknya terjadi 1999 silam, saat tampuk kepresidenan didudukinya.
Bukan cuma intelektual garda depan (simak pemikirannya yang amat mewarnai gerakan 1970--1980-an), Gus Dur, yang sudah tak bisa melihat saat memimpin negeri ini akibat serangan stroke Januari 1998, juga berjuluk "kiai haji". Dia pengamat sepak bola yang tekun, pengagum musik klasik kelas wahid, sekaligus hard core gerakan politik oposisional era Orde Baru. And most of all, semua ilmunya didapat secara otodidak, dia bukan lulusan universitas terkenal dalam negeri atau mancanegara.
Dengan pengetahuan dan tradisi keagamaan yang luas dan penguasaan ilmu sosialnya yang go beyond, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini mampu memahami dinamika agama dan modernisasi. Kepada kalangan teknokrat-birokrat dan luar-lingkar keagamaan, dia memberi perspektif liberal dan progresif kehidupan agama. Kepada kalangan agama, Gus Dur mencercahkan pandangan religius dari cita-cita kehidupan sekuler (modernisasi).
Melalui eksplorasi kritis teori-teori sosial mengenai hubungan agama dan perubahan, seperti dari Max Weber, Snouck Horgronye, Racliffe Brown, dan Malinowski, Gus Dur mengungkapkan dinamisnya agama sebagai penggerak perubahan. Dia berpendapat, pandangan keagamaan bergeser oleh tuntutan perubahan masyarakat. Jelas, tak ada pemahaman agama yang statis sepanjang aspirasi pemeluknya terus berkembang.
Di sisi lain, Abdurrahman Wahid, nama lengkapnya, merupakan pemikir besar yang melangkahi zaman. Bacalah majalah bergengsi Prisma (terbit pertama November 1971, opini Gus Dur muncul 1975--1980-an), dan kita mendapati pemikiran penitis darah biru NU ini di halaman-halaman awal, dengan bongkahan gagasan yang luar biasa. Atau artikelnya soal pesantren di Kompas sejak 1973. Atau saat dia menjadi pemrasaran dalam puluhan forum ilmiah bergengsi. Semua membuka mata seputar dunia kesantrian yang terpinggirkan zaman.
Selain pemikir kebudayaan kelas satu plus analis sepakbola andal, Gus Dur concern pada tema hubungan antaragama, ideologi, pembangunan dan negara, integrasi nasional, hak asasi, serta perubahan masyarakat-- termasuk peran yang mesti dimainkan pemerintah. Pada dimensi inilah, saat dia menjadi orang nomor satu di Republik ini, kita melihat beberapa beleidnya yang memicu ketegangan di level elite. Langkah Gus Dur memang banyak yang mengejutkan, tapi ditakzimi oleh umatnya.
Dengan "keningratannya", 15 tahun lebih kursi ketua umum PBNU identik dengannya. Saat itulah terjadi titik-balik, saat pikiran besarnya-- umur 11 tahun Gus Dur "khatam" Das Kapital-nya Karl Marx, ditulis dalam bahasa Jerman kuno 1856--mewarnai jagat pemikiran Tanah Air tapi sering tak terwadahi dalam "papan catur" keindonesiaan kontemporer yang terasa menyempit bagi idenya yang gigantis. n HERI WARDOYO/R-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Desember 2009
No comments:
Post a Comment