-- Thompson Hs*
DUA hal penting dari tawaran yang ingin saya sampaikan di sini, yakni tentang Opera Batak itu sendiri dan kemungkinan posisinya dalam historiografi teater di Indonesia.
Pementasan Opera Batak dengan cerita Pulo Batu yang dipetik dari karya Sitor Situmorang dan disutradarai Thompson HS, Rabu (14/10) malam di Erasmus Huis, Jakarta, mendapat perhatian luas dari pencinta budaya. Opera digelar untuk memperingati 85 tahun sastrawan dan budayawan Sitor Situmorang.(KOMPAS/YURNALDI)
Pertama-tama, yang dimaksudkan dengan Opera Batak adalah opera gaya Batak. Meski ini bukan sebuah istilah baku dalam entitas kebudayaan Batak, di kalangan masyarakat Batak tidak jarang sebutan itu dianggap bagian dari tradisi kebatakan. Hal itu bisa dipahami mengingat para pelopor Opera Batak pada awal kemunculannya, pada 1920-an, adalah orang-orang Batak, seperti Tilhang Gultom, yang lebih dikenal daripada beberapa nama lainnya.
Mungkin juga suatu saat Opera Batak dapat menjadi entitas baru dalam kebudayaan Batak. Tentu saja setelah Batak harus berubah dari tradisi klasiknya dengan berbagai bentuk upacara (teater awal) dan tradisi pertunjukan, seperti teater boneka Sigale-gale dan Hoda-hoda (semacam jaran kepang di Jawa).
Namun, bagaimanapun kita harus tetap konsisten memahami Opera Batak bukan sebuah tradisi asli. Kehadirannya terkait pada suatu situasi transisi dalam masyarakat dan kebudayaan Batak, terutama sejak kehadirannya mulai dikenali pada tahun 1920-an.
Babak baru
Setelah keberadaannya mulai surut sejak awal 1970-an, tahun 2002 Opera Batak digali kembali secara total. Latar belakang penggalian berdasarkan hasil pemetaan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) atas potensi-potensi tradisi lisan di Sumatera Utara.
Penggalian dilakukan melalui metode pelatihan dan simulasi oleh 20 peserta dari generasi muda yang tidak punya latar belakang kesenian. Namun, sebagian dari mereka minimal sudah mendapat pendidikan di tingkat SLTA.
Sebanyak 20 peserta pelatihan dan simulasi inilah yang menjadi cikal bakal penggerak grup percontohan yang mengadakan pertunjukan teks ”Siboru Tumbaga” di Tarutung, Medan, dan Jakarta pada 2004. Tahun 2005, grup percontohan yang bernama Grup Opera Silindung (GOS) itu mendapat dukungan berupa dana hibah dari Yayasan Kelola untuk pentas keliling di tiga tempat/kota: Sipoholon, Laguboti, dan Pematangsiantar.
Beberapa fakta dan informasi tentang aspek-aspek Opera Batak mulai dapat dicatat berdasarkan pengalaman pelatihan, simulasi, dan pentas grup percontohan.
Secara umum, dramaturgi Opera Batak tersusun dengan pembagian yang tidak terbatasi oleh sejumlah selingan pada lakon cerita dan sambungannya. Antara lakon cerita dan selingan juga sering terjadi spontanitas penampilan untuk menciptakan daya tarik, baik untuk mempertahankan penonton maupun target saweran.
Contoh berikut adalah pembagian secara umum dramaturgi Opera Batak. Dramaturgi dimulai dari (1) pembukaan/prolog dan tiga penampilan (tari dengan iringan musik, lagu, repertoar musik); (2) lakon cerita; (3) selingan (lagu, musik, tari); (4) lakon cerita (sambungan atau lakon selipan); (5) selingan (tari, lagu, repertoar musik); (6) lakon cerita; dan (7) penutup/epilog dalam bentuk tari, musik, dan lagu. Pembukaan pertunjukan Opera Batak dibuka dengan intro musikal bernada do mi sol, sekaligus untuk membuka layar. Setelah layar terbuka, tari dengan iringan musikalnya dapat mengawali penampilan penari yang bisa juga sekaligus bernyanyi.
Selesai bagian pembukaan ini, prolog akan selalu mengantarkan judul dan penjelasan spontan atas lakon cerita. Lakon cerita disampaikan dengan gaya realis dengan mengandalkan kekuatan dialog yang bersifat spontanitas serta bantuan tutup buka layar untuk pergantian bagian atau sekaligus untuk menutupi teknik keluar-masuk pemain.
Setiap pemain, sebelum tampil sudah terbiasa mengurusi kostum dan rias masing-masing, sesuai dengan peran tokoh yang diberikan kepadanya. Sementara fungsi sutradara terutama menjadi pengatur dan pembuat cerita yang mengambil sumber folklor, silsilah marga, legenda (Opera Batak periode awal), dan cerita-cerita kepahlawanan serta situasi sosial (periode menjelang kemerdekaan dan revolusi).
Contoh-contoh lakon cerita pada periode awal, seperti Siraja Lontung, Sipiso Somalim, Batu Gantung, Siboru Tumbaga, dan Guru Saman. Adapun pada periode berikutnya dengan judul-judul seperti Sisingamangaraja dan Tiga Penggoda Ulung.
Lakon-lakon cerita Opera Batak mencapai lebih dari 100, judul dengan versi masing-masing, yang digarap oleh 30-an grup Opera Batak pada waktu itu. Sebagian dari cerita itu masih digemari masyarakat dan dapat mempertahankan perhatian penonton dari awal sampai akhir pertunjukan.
Materi pendukung
Aspek-aspek yang mewarnai pertunjukan Opera Batak tersusun secara tidak sinkron (a-sinkron). Antara musik/lagu/tarian dan lakon cerita tidak ada hubungan langsung dalam alur meski terkadang satu lagu sengaja diciptakan untuk suatu lakon cerita.
Materi-materi musik dan lagu dalam Opera Batak bersumber dari musik/lagu tradisi (Batak, Jawa, Aceh, Melayu-Deli) dengan instrumen iringan tidak terbatas pada instrumen musik uning-uningan plus sulim. Di grup Serindo, misalnya, digunakan juga instrumen musik gamelan dan biola. Namun, kecenderungan instrumen Batak Toba selalu sangat menonjol pada semua grup Opera Batak terdahulu.
Hadirnya instrumen musik dalam pertunjukan Opera Batak dapat menjadi representasi suatu repertoar, iringan musikal/lagu dan tarian. Akan tetapi, secara umum fungsi alat musik dalam Opera Batak bersifat mengiring. Hal itu dapat ditandai dengan penempatannya yang tidak menonjol di atas panggung atau diharuskan di belakang panggung.
Namun, efek dari fungsi musikal ini sering menjadi dominan dalam mengidentifikasi para pemain Opera Batak sebagai pemain-pemain yang pintar bermain musik. Identifikasi itulah yang sering menenggelamkan popularitas permainan lakon dan para penarinya. Keadaan ini mau tak mau selalu mendorong para pemain Opera Batak berusaha belajar dan bermain musik untuk menyaingi pemain-pemain lainnya.
Program revitalisasi
Tiga tahun di Kota Tarutung dengan grup percontohan Opera Batak, gagasan untuk melanjutkan revitalisasi Opera Batak dilakukan dengan menghadirkan Pusat Latihan Opera Batak alias PLOt di Pematang Siantar. Kota ini berada di pertengahan lintasan antardaerah di Sumatera Utara.
Dengan berkembangnya gagasan melalui PLOt, grup percontohan ini menjadi urusan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang ada di Tarutung. Tujuan selanjutnya, dengan menghadirkan PLOt, adalah memberikan fasilitas pelatihan dan produksi untuk generasi muda dan pemain-pemain Opera Batak terdahulu yang masih mau mendukung bangkitnya Opera Batak.
Selama PLOt beroperasi di Pematangsiantar, sejak 2005, pihak-pihak yang ikut memberikan dukungan semakin berkembang. Keberadaan PLOt dengan Opera Batak-nya ikut mendorong munculnya upaya-upaya penelitian dari kalangan akademisi. Catatan sponsorship Opera Batak yang terkait sampai kehadiran PLOt adalah sebagai berikut.
Dengan kehadiran PLOt, grup-grup baru yang mencoba menggairahkan Opera Batak mulai dirintis keberadaannya di beberapa tempat di Sumatera Utara. Masing-masing daerah di wilayah kebatakan merasa Opera Batak dapat menjadi salah satu pendukung otonomi daerah.
Opera Batak yang mulai bangkit itu ibarat sumur yang bersih airnya. Siapa pun bisa mengambil air itu. Harapan saya dan menjadi hal kedua dalam catatan singkat ini, semoga Opera Batak dapat tercantum dalam historiografi teater di Indonesia. Entah di mana pun posisinya.
* Thompson Hs, Sutradara yang Terlibat dalam Program Revitalisasi Opera Batak; Direktur Artistik Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Pematang Siantar
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Desember 2009
No comments:
Post a Comment