[JAKARTA] Di mata budayawan Butet Kertaradjasa, Gus Dur adalah sosok yang luar biasa. Bahkan, Butet menyebut Gus Dur sebagai se- orang sufi karena mampu mengolok-olok dan menertawakan diri sendiri. Sesuatu yang jarang bisa dilakukan orang lain.
Gus Dur menunjukkan buku berjudul "Gus Dur Bertutur" seusai peluncuran buku tersebut di Semarang, beberapa tahun yang lalu. (Antara)
"Beliau memang sosok yang humoris sekali. Humor tertinggi adalah saat sese- orang bisa menertawakan diri sendiri. Itu sudah sekelas sufi. Dan, Gus Dur sudah pada tingkat itu. Ia bisa menciptakan kejenakaan dengan mengolok-olok dirinya sendiri. Itu menunjukkan kematangan jiwa seseorang," tutur Butet kepada SP, Kamis (31/12).
Selain itu, Butet juga mengaku kagum akan semangat Gus Dur menjunjung tinggi pluralisme, menghargai, dan menghormati keragaman di Indonesia. Apalagi, ia melanjutkan, salah satu ciri kebudayaan Indonesia adalah keberagaman itu sendiri.
"Gus Dur adalah penjaga nilai spirit pluralisme yang diamanatkan pendiri bangsa ini," katanya.
Selama menjadi budayawan, Butet mengaku kerap bertemu dan bersinggungan dengan Gus Dur. Bahkan tak jarang, Butet melontarkan guyonan tentang Gus Dur dalam pentas monolog yang dihadiri oleh sang mantan presiden itu. Bukannya tersinggung, Gus Dur malah tertawa karena beliau juga menyukai humor.
Oleh karena itu, Butet merasa sosok Gus Dur haruslah diteladani banyak pihak, terutama para birokrat dan politikus Indonesia. "Namun, saya yakin, kader-kader Gus Dur, yakni para intelektual muda NU juga mengusung semangat pluralisme. Saya tidak cemas atau khawatir karena Gus Dur menyisakan warisan berupa kader-kader yang bisa menjunjung semangat pluralisme. Kita masih ada Gus Mus, Ulil, Muslim Abdurrahman, Komarudin Hidayat, Yudi Latief, orang-orang Islam yang moderat," kata Butet.
Berbeda
Sementara itu, seniman kawakan Indonesia, Slamet Rahardjo Djarot menjelaskan, seperti halnya Presiden pertama RI, Soekarno, Gus Dur membuat dirinya berbeda dengan para politisi bangsa Indonesia saat ini karena dia seorang budayawan.
"Artinya, sebagai seorang budayawan, Gus Dur memiliki jiwa seni dan sosial yang tinggi. Sehingga, ketika dia terjun ke dunia politik, beliau mewarnai semuanya itu dengan kekayaan berkesenian yang beliau miliki dan dalami. Lahirnya pluralisme, merupakan salah satu keputusan Gus Dur sebagai seorang budayawan yang berpolitik. Harus diakui, soal pluralisme ini, merupakan langkah berani Gus Dur dalam mengambil risiko," kata Slamet.
Lebih lanjut, pemain film, teater, dan sutradara ternama Indonesia menambahkan, segala kepiawaian yang dimiliki Gus Dur, khususnya untuk bangsa ini, tidak bisa dilepaskan dari kehidupan beliau dari sisi budaya yang tentunya sangat mengedepankan keindahan.
"Yang jelas, di mana ada krisis, di situ ada Gus Dur sebagai sang penyelamat. Di mana ada ketidakadilan di situ ada Gus Dur sebagai sang pengadil," ujarnya.
Kematian itu, kata Slamet, adalah keniscahyaan. Jarang sekali ada orang yang meninggal secara terhormat seperti Gus Dur. Maka, banggalah keluarga punya ayah dan suami yang sangat berjasa buat negara. [D-10/F-4]
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 31 Desember 2009
No comments:
Post a Comment