Sunday, November 17, 2013

UU Hamidy Menggerunkan

-- Mosthamir Thalib

Dua tonggak ini, kebetulan muncul dari Batang Kuantan.
Satu menjadi sosok badannya.
Satu lagi meniupkan ruh sukmanya.


AKHIR tahun ajaran 1980-1981. Saya yang duduk di kelas III SMP Negeri 3 Tembilahan sedang menghadapi ujian akhir. Kami belajar bersama dalam satu kelompok yang dibuat sendiri. Tempat belajarnya, pada sebuah rumah gubuk berdinding papan, berlantai papan, bertongkat kayu bulat yang panjangnya terpancang di muara Parit 13 di tepian Sungai Inderagiri “yang paling asli kuala lumpur” itu. Banyak rumah gubuk serupa itu di sini. Untuk sampai ke rumah ini, mesti masuk gang pelantar kayu yang berkelit-kelit. Padahal luas kawasannya bukanlah besar. Tak sampai seperempat hektare.

Tengah-tengah belajar itulah, saya terpandang pada sebuah yang ada kata bertulisan nama Melayu dan Riau yang tergeletak pada rak papan yang sangat sederhana. Buku berjudul lengkap Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu tersebut milik abang dari teman tempat kami belajar itu. Siswa SMEA. Buku tersebut menyita perhatian saya. Lalu saya meminjam dan meraih buku itu untuk melihatnya. Membolak-balik isinya.

Buku ini benar-benar memancing minat saya. Sebab, selama ini saya memang termasuk seorang pelajar yang gemar membaca. Mungkin salah seorang pelajar SMP di Tembilahan —kala 1970-1980-an itu—  yang paling rajin mengunjungi perpustakaan dan dua buah toko buku yang ada di kota kecil ini ketika itu. Selama mengunjungi kedua tempat itu, jarang sekali saya tersua buku-buku tentang Riau, apalagi yang membahas Melayu Riau. Yang sekilas saja membahas Melayu payah didapat, apatah lagi yang membahas dengan mendalam.

Sementara itu, secara lisan, kadang-kadang terdengar oleh saya bahwa peranan bahasa dan budaya Melayu sangat penting di Nusantara ini, antaranya sebagai penyumbang bahasa Nusantara (Nusantara yang saya maksud sama dengan pengertian orang Malaysia, yaitu negeri-negeri berbahasa Melayu; Brunei, Indonesia dan Malaysia). Tetapi mendapat pembenarannya secara nyata, lewat buku atau radio, atau juga lewat ceramah dari siapa saja —termasuk guru di kelas— ketika itu, nyaris tidak ada sama sekali.

Saya memang sangat suka dengan buku-buku sejarah dan kesusastraan, termasuk juga cerita rakyat atau dongeng-dongeng. Dari sekolah sampai perpustakaan dan toko buku di Tembilahan, nyaris tak saya temukan sama sekali buku-buku dongeng tentang Melayu. Yang paling banyak itu selalu dari tanah Jawa, seperti cerita Sangkuriang, Ken Arok dan Kendedes. Dari Sumatera, paling-paling Malin Kundang Anak Durhaka. Cerita Melayu dari daerah atau provinsi lain, seperti dari Melayu Deli Medan yakni Musang Berjanggut. Itu pun payah sekali didapat. Perbendaharan ‘dunia Melayu’ malah saya dapatkan dari mendengar sekali-sekali siaran radio negeri jiran Malaysia atau Singapura. Itu pun jarang-jarang menyinggung tentang Melayu Riau.

Sementara itu dari mendengar, saya sangat yakin, bahwa Melayu kami di Inderagiri —sudah tentu termasuk Riau ini— adalah bagian dari Rumpun Melayu yang terlibat langsung dalam perjalanan sejarah bahasa dan kebudayaan Melayu dan Indonesia. Sebab, saya merasa bahasa yang kami pakai di Inderagiri atau Kepulauan Riau, dekat sekali dengan bahasa yang digunakan radio Malaysia atau Singapura.

***

Ketika saya mendapatkan sebuah buku UU Hamidy di sebuah rumah gubuk di Tembilahan itu, rasanya seperti mendapat seteguk air di tengah padang sahara, atau seperti juga mendapatkan sebatang ranting untuk berpaut di tengah laut luas.

Sebab pada masa itu, saya merasa secara tidak langsung orang Melayu mengakui dirinya sebagai penyumbang perekat Nusantara lewat bahasa dan seni budayanya. Sementara itu mereka juga seperti “malu-malu” —malah kecut— menunjukkan identitas diri sebagai Melayu. Sikap malu-malu atau kecut itu tersurat dan jarang sekali kita temukan literatur Melayu, juga karya seni; musik atau lagu serta kerajinan yang dihasilkan orang Melayu Riau. Katanya ada karya-karya itu, seperti bahasa Melayu yang dijadikan bahasa Indonesia atau juga musik seni Melayu. Nyatanya, kalaupun ada, adalah lagu-lagu Melayu yang didengar lewat radio-radio Malaysia-Singapura.

Melayu Riau, tanpa berani menunjukkan jati dirinya itu, paling kurang khususnya saya rasakan di Inderagiri Hilir. Bahasa di pasar-pasar lebih dominan bahasa daerah lain. Bahasa Melayu dari luar Riau. Bahasa Melayu digunakan di pinggiran-pinggiran kampung. Musik Melayu Riau tak ada sama sekali. Kalaupun ada, itu labelnya Melayu Deli. Ternyata kemudian, di Pekanbaru pusat ibukota Provinsi Riau, juga seperti itu. Malah terkesan lebih parah. Bahasa Melayu Riau sebagai cikal-bakal bahasa Nusantara ternyata “tak bertuan” di ibukota negerinya sendiri. Sedih nian.

Dengan mendapatkan buku itu, kemudian selesai ujian akhir SMP dan masuk SMA, masih di Tembilahan, saya jadi rajin bertandang ke rumah teman sekelas ini. Sekedar untuk membaca buku ini. Sebab dipinjam untuk dibawa pulang tidak dibolehkan. Si empunya khawatir, buku yang dipinjam jarang balik lagi ke rumah si empunya.

***

Berawal dari sinilah, saya mulai mendapat wawasan Melayu dari UU Hamidy. Saya mulai mengenal dan mengaguminya. Ingin membaca bukunya yang lain dan ingin mengenal sosoknya lebih jauh. Setiap saudara abang pulang kampung saat Lebaran, saya selalu bertanya tentang UU Hamidy. Pertama saya bertanya pada abang yang kebetulan ketika itu juga kuliah di FKIP. Tampak ia agak terheran kalau saya tahu dan ingin tahu tentang UU Hamidy. Ia tersenyum.

“Pak UU itu dosen yang tidak biasa. Mengajar pakai sepatu sandal. Baju tak pernah masuk ke dalam,” katanya seraya melanjutkan sedikit tentang suasana di Universitas Riau dan sekilas tentang UU Hamidy yang ia ketahui dan ia lihat.

Saya makin kagum. Ia —UU Hamidy— memang bukan orang biasa, pikir saya. Tidak seperti dosen kebanyakan atau guru yang biasa-biasa saja. Ia bersinar. Ia sebuah batu terendam yang bersinar dari banyaknya batu. Saya kadang-kadang menemukan beberapa tulisan tentang profil orang-orang hebat pada masa lalu, mereka rata-rata tidak biasa –malah disebut luar biasa. Begitu pula kesan yang saya tangkap sekilas dari cerita saudaraku tersebut.

Saya menangkap kesan, selain hebat otaknya, punya wawasan Melayu yang luas, bersusah-payah mengungkapkan dan menunjukkan bahwa Melayu hebat dan berjasa, juga ia adalah seorang yang sangat nyeni dan berani! Ketika masih pelajar SMP itu, saya berpikir kenapa pimpinan universitas tak menegur cara ia berpakaian (lucu juga, saya sempat berpikir dulu kampus itu suasananya seperti sekolah menengah, pimpinan sekolah harus menertibkan cara berpakaian, termasuk pada guru mereka).

Yang ingin saya katakan sebenarnya: “Ia adalah Melayu yang tidak biasa” atau termasuk “Melayu yang luar biasa”. Tidak seperti Melayu yang kebanyakan kita kenal selama ini. Seperti kadang-kadang disebutkan Dr M Diah ketika mulai memberi kuliah ketika saya kuliah di Universitas Riau, “Kalau duduk suka di belakang-belakang…” atau bertabiat tak suka tampil, baik tampil fisik maupun menampilkan buah pikiran, apalagi yang bersifat agak atraktif atau berani.

Seiring dengan itu, saya yang mungkin sebelumnya “mental Melayunya agak kena juga”, ciut, mulai merasa bangga pada Melayu. Semangat Melayu saya bergelora. Saya ingin muncul sebagai salah seorang “pejuang budaya Melayu”. Saya ingin mengarang atau menulis kembali cerita-cerita rakyat Melayu yang saya rasakan banyak sekali berserakan di kampung-kampung, utama sekali pada orang-orang tua renta. Saya tersulut oleh sinar sosok UU Hamidy walaupun saya baru mengenalnya secara sekilas, lewat bukunya dan lewat cerita sang abang yang juga cuma tahu sekilas, pikir saya.

***

Tamat SMA Negeri 2 Tembilahan, saya diminta kakak kuliah di Padang, Sumatera Barat. Permintaan ini, terus-terang, membuat saya merasa geli. Saya mau belajar apa di sana, pikirku. Agama? Sekolah pendidikan? Ekonomi? Hukum? Atau yang lainnya? Atau sastralah –sesuai minatku. Akan tetapi yang saya rasakan, apapun namanya tidak ada yang cocok bagiku untuk belajar di sana yang sesuai dengan minatku. Yang saya minat itu belajar kesusastraan yang banyak muatan Melayunya. Tempat yang pas itu tidak perlu jauh-jauh, cuma di Pekanbaru, dan berguru pada UU Hamidy!

Selama di SMA, saya sudah mengancang-ancang ke mana akan pergi setelah tamat. Saya ingin belajar sastra saja, yang tepatnya kesusastraan Melayu. Bukan belajar menjadi guru. Saya ingin jadi pengarang saja. Pengarang yang berakar dan mengangkat budaya Melayu.

Saya sempat ‘menyesalkan’ Universitas Riau ketika saya tamat SMA mengapa di sini tak punya Fakultas Sastra atau budaya. Tempat yang ada belajar sastra itu cuma di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Yang khusus ada sastra Melayu itu di Universitas Lancang Kuning (Unilak). Cuma ini swasta, dan tentu mahal. Orang seperti saya, anak petani kelapa, untuk soal kuliah, yang cocok hanya kuliah di universitas negeri. Biayanya murah disubsidi pemerintah. Tempat lain, yang sudah saya jajaki lewat informasi lisan, adalah Universitas Sumatera Utara (USU). Di Medan ada tokoh Melayu seperti Tengku Lukman Sinar, walaupun saya tak tahu benar, ‘’sarjana hukum” yang orang seni ini mengajar di Fakultas Sastra USU atau tidak?

Yang jelas, kalau tak lulus Universitas Riau dulu, saya berencana masuk Fakultas Sastra Unilak. Tapi nyatanya, saya lulus juga di Universitas Riau. Tak jadi ke Unilak, apalagi ke USU, sangat jauh. Tak mungkin saya meninggalkan ibunda yang sudah tua. Walaupun dalam kenyataannya, kemudian tahun 1990-1991 saya sempat juga merantau ke Binjai-Medan, jadi guru di sana, meninggalkan orang ibundaku cuma berdua dengan cucunya, kemenakanku di Kampung Melayu Sukajadi, Pekanbaru, hampir setahun lamanya.

***

Alhamdulillah, tahun 1984, akhirnya dapat juga saya menjadi “mahasiswanya UU Hamidy”…! Yang pertama saya ingin tahu mata kuliah apa yang diajarkannya. Sesudah itu ingin melihat sosok “dosen aneh” itu. Mengenai cerita UU Hamidy, dosen yang tidak biasa itu, bukan saja ada dalam pikiranku. Akan tetapi juga bagi teman-teman lainnya. Selain nyentrik, ia disebutkan juga suka “main todong saja” atau suka “main tembak saja”. Jarang senyum. Sikit pun! Inilah tampaknya membuat beberapa teman mahasiswa kecut, lebih-lebih mahasiswi, jika berhadapan dengan UU Hamidy.

Ketika akan mulai masuk kuliah dengan UU Hamidy, semuanya tampak lebih siap. Kesannya, memang manusia tak biasa akan hadir di tengah-tengah mahasiswa baru. Ini tidak saja berlangsung pada kuliah pertama, tetapi sampai pada kuliah-kuliah berikutnya. Mahasiswa datang lebih cepat, duduk tertib dan fokus. Sementara itu aku yakin, fokusnya para mahasiswa ini bukan semuanya karena suka dengan pelajaran sastra, tetapi juga karena rasa gerun. Fokusnya mereka pada UU Hamidy bukan karena namanya saja yang sudah begitu kuat, tetapi juga dengan ilmu yang dikuasainya “terbilang langka di tanah airnya sendiri” dan cara ia mencurahkan ilmunya kepada para mahasiswanya.

Membangkitkan dan menggelorakan semangat Melayu! Itulah materi kuliah yang sebetulnya diberikan UU Hamidy lewat mata kuliah sastranya dan sejarah kebudayaan Melayu. Ia mulai bercerita tentang kebesaran kesusastraan dan pusat ilmu pengetahuan Melayu pada masa lalu di Riau, khususnya pada Kerajaan Melayu Riau-Lingga, yang pada puncaknya melahirkan seorang seniman besar yang diakui paling kurang di dunia Melayu Nusantara, yaitu Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya. Raja Ali Haji adalah peletak dasar-dasar tata bahasa Indonesia lewat buku Pohon Perhimpunan-nya.

UU Hamidy membuka mata hati yang berselaput. Mengungkit batang yang terendam. Mengasah pisau-badik yang tumpul. “Anda! Anda! Anda..!!!” Itulah kata ‘sergahan’ dan cara UU ‘meneror’ untuk menyadarkan mahasiswanya, apa itu khazanah dan perbendaharaan Melayu? Apa yang telah Melayu berikan? Sampai akhirnya ia menyentakkan, bahwa Riau hanya jadi padang perburuan. Akan tetapi apa yang kita dapatkan sebagai “Bangsa Riau”? Sepertinya berterima kasih pun tidak.

Saat-saat seperti inilah banyak membuat mahasiswa merasa tegang, gelagapan dan terbata-bata menjawab. Sebab arah peluru bisa diluncurkan UU Hamidy kepada siapa saja, yang langsung dilontarkan dan menembak pada orang per orang mahasiswanya. Lagi-lagi, “Anda! Anda! Anda..!!!” Arah tuju pertanyaannya selalu main acak. Siapa saja bisa mendapatkan pertanyaan yang datang tiba-tiba. Tak peduli yang duduk di depan, di tengah, di samping kiri atau kanan, atau malah di sudut belakang. Sementara ada yang tegang, tentu ada juga yang menikmati cara belajar yang seperti ini. Inilah satu cara untuk “menggelorakan semangat Melayu yang padam, atau paling kurang malap”, khusus bagi mereka yang berminat pada ilmu sastra atau kebudayaan Melayu.

Bagi sebagian teman, agaknya UU Hamidy ini seolah-olah jadi peneror! Tetapi bagi saya, ia adalah motivator. Kalaupun peneror, paling tidak, inilah “Teroris Kreativitas”. Saya benar-benar bangkit kemudian, paling kurang sebagai penulis lokal, inilah juga berkat dari “Teror UU Hamidy”. Saya sangat percaya diri dengan “muatan lokal” dalam tulisanku dengan memasukkan sukma atau ruh resa dan rasa Melayu dalam tulisan-tulisanku. Mulai dari pola tata bahasa tutur Melayu sampai pada semangat, perangai, tabiat, telatah, gelagat, kerenah, remeh-temeh Melayu, selalu terbungkus dan teradon dalam setiap tulisanku, utama sekali pada tulisan-tulisan ‘’Telatah Wak Atan’’.

Begitu juga pada tulisan ‘’Ketika Talang Mamak Terjerat Getah Ijon’’, yang memenangkan Anugerah Adinegoro 1998, sebuah penghargaan tertinggi untuk karya jurnalistik Indonesia dari PWI Pusat. Saya mengisi dengan penuh seluruh ruh sukma Melayu dalam tulisan ini. Ternyata menang juga, walaupun dewan jurinya banyak dari Jawa, cuma wartawan senior Rosihan Anwar yang dari Pulau Sumatera. Dua juri lainnya, satu dari dosen senior ilmu komunikasi UI dan seorang lagi Kepala Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia.

 ***

Saya sebenarnya tidak ingin sekilas saja dapat mengagumi, menghargai, dan menghormati orang-orang hebat yang di depan atau di sekitar saya, seperti UU Hamidy ini. Akan tetapi juga kalau dapat bisa pula berteman, teman yang sebenarnya sebagaimana orang berteman. Teman berkisah, teman makan, sampai teman bergurau, sebagaimana hubungan saya dengan Prof dr Tabrani Rab, yang malah lebih jauh lagi seperti teman tanpa batas. Ia adalah teman berkisah, teman makan, teman bergurau, teman dalam perjalanan, malah teman dalam nyaris segala hal. Ia juga terasa seperti ayahku. Ujung-ujungnya teman membangkitkan kreativitas.

Ada beberapa senior yang saya dapat berhubungan seperti ini. Mereka menjadi guru setiap saat bagiku, selain Tabrani Rab, antaranya Sudarno Mahyuddin. Sayangnya, tak semua pula dapat kita dekati. Antaranya mungkin rasa sungkan kita yang berlebihan khawatir mengganggu mereka. Ada pula yang merasa mereka kalau sudah jadi pemimpin, tak layak berkawan dengan orang yang “bermental anak buah”.

Khusus pada Pak UU Hamidy, walaupun tak bisa seluruhnya “berteman dekat kepada bapak”, tetapi saya sudah merasa “lebih daripada berteman”. Semangatnya sudah menjadi ruh dan sukma yang menemani setiap orat-arit tulisan-tulisan saya. Hanya sayangnya, saya tak seperti dia, yang masih tetap kreatif menulis sampai usia tua. Sedangkan saya, baru “setengah tua” (setengah baya), sudah mulai mengendur. Potensi masih terasa ada, cangkul masih kuat, benih dan bibit masih ada, cuma lahan ladang untuk menghamparkan tanaman terasa sudah membatu.

***

Saya menyayangi mereka semua. Menyayangi guru-guruku. Saya banyak belajar dari mereka. Mereka telah mencurahkan ilmu dan pengalaman mereka, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, baik mereka sadari maupun tak mereka sadari. Saya telah menyadur lewat perilaku dan apa-apa yang telah mereka buat.

Khusus pada Pak UU Hamidy, beliau telah meluncurkan dan melancarkan semangat kemelayuan yang tersendat-sendat dalam darah dagingku. Semangat mengenal jati diri riwayat hikayat perjalanan Melayu. Semangat berbangga menjadi orang Melayu. UU Hamidy, bukan saja telah membuka mata betapa hebatnya Melayu, tetapi juga telah menyadarkan, bahwa betapa telah begitu banyak yang telah disumbangkan kepada Nusantara ini. Akan tetapi apa yang telah kita sumbangkan tanpa pamrih itu seakan dinafikan begitu saja.

UU Hamidy, guru yang memberikan ruh sukma dan warna pada karya-karyaku. Semoga Allah SWT tetap memberikan kesehatan dan kekuatan kepadamu, sehingga terus bisa melahirkan karya-karya, yang kelak tetap menjadi catatan penting tentang Sejarah Sastra dan Kebudayaan Melayu Riau khususnya dan Melayu Nusantara umumnya. Yang juga akan menjadi rujukan penting bagi orang-orang yang ingin “belajar Melayu dan memahami Melayu”.

November 2013 ini, Bilik Kreatif Press menerbitkan buku bertajuk Gelanggang Budaya Melayu. Buku yang ditulis untuk 70 tahun UU Hamidy ini cukup unik sebab merupakan perpaduan biografi dan autobiografi. Di dalamnya ada beberapa kisah tentang kehidupan UU Hamidy yang ditulis oleh beliau sendiri dan ada pula beberapa cerita tentang kehidupan UU Hamidy yang ditulis oleh orang lain. Selain itu, ada juga sejumlah tulisan dari para sahabat, teman, rekan sejawat dan mantan murid UU Hamidy tentang sosok beliau dari sudut pandang mereka masing-masing. Selamat menempuh usia ke-70 tahun kepada Pak UU Hamidy yang tepat jatuh pada Ahad, 17 November ini. 

Terima kasih Pak UU Hamidy. Terima kasih karena telah menyadarkan kami bahwa perlunya kita melekatkan identitas jati diri kita sebagai Melayu, dengan semangat, wawasan dan keterampilan Melayu. Terima kasih ini juga perlu saya persembahkan kepada sosok yang tak pernah saya kenal, tetapi sangat berjasa “menyematkan identitas Melayu secara abadi” daerah ini, yaitu Ma’rifat Mardjani, sosok pejuang yang menjadikan Riau sebagai provinsi sendiri dengan identitas Melayunya, lepas dari Sumatera Tengah. Sosok yang tetap miskin sampai akhir hayatnya ketika Riau dan orang-orangnya sebagian sudah bergemah ripah.

UU Hamidy dan Ma’rifat Mardjani, dua sosok yang kebetulan datang dari satu batang yang sama. Yaitu Batang Kuantan, yang berhulu di Sungai Keruh, Inderagiri. Yang satu memberi bentuk pada badan Riau (Ma’rifat Mardjani). Satu lagi (UU Hamidy), telah meniupkan ruh sukma atau jiwa bagi badan yang namanya Provinsi Riau tersebut. Yang sebelumnya, beberapa dekade, terasa ada badan yang berjalan tanpa jiwa, yang sekaligus tak memperlihatkan jati dirinya yang sejati. n

Mosthamir Thalib, sastrawan Riau, terkenal dengan tulisan-tulisannya dalam Telatah Wak Atan

Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 November 2013

 

No comments: