-- Iwan Kurniawan
IRAMA blues yang bergema mengiringi orasi singkat pelukis Syahnagra Ismaill. Ia bertutur di depan para undangan, sesama seniman, hingga wartawan tentang corak dan motif di balik pameran tunggalnya. Baginya, takdir dan pengalaman harus disampaikan meski tak semua memahami makna di balik setiap goresannya.
Ya, Syahnagra sedang menggelar pameran tunggal bertajuk Indonesia Raya di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sejak Minggu (3/11) hingga Jumat (15/11) mendatang.
Sejumlah 25 karya dengan berbagai obyek ia hadirkan. Tentu saja, ada yang menjadi sebuah perhatian. Pasalnya, ia pun mengklaim dirinya sebagai Pangeran Diponegoro. Memang hal itu cukup naif. Namun, lelaki kelahiran Teluk Betung, 18 Agustus 1953 itu punya dalil. Ia kukuh mempertahankannya. Terutama, lewat poster pameran yang menggambarkan ia sedang meÂngendarai ‘kuda besi’.
“Diponegoro selalu mengendarai kuda saat pergi berperang ke medan pertempuran. Ini yang menginspirasi sehingga saya pun mengendarai kuda besi (motor gede). Saya ini ibarat Diponegoro masa kini, haha,†candanya saat pembukaan pameran, pekan lalu.
Pengklaiman Syahnagra sebagai ‘Diponegoro’ memang diucapkan sebagai kelakar biasa. Namun, itu mengingatkan kita saat penyair Sutardji Calzoum Bachri mengklaim dirinya sebagai presiden penyair.
Tentu saja itu masih menjadi sebuah perdebatan panjang. Apalagi tak semua orang pasti setuju. Namun, di era pascareformasi ini semua bebas mengklaim. Asalkan, jaÂngan pernah mengklaim istri oÂrang lain sebagai istri kita, bukan?
Menafsir kelana
Jika diperhatikan, karya Syahnagra memang penuh dengan berbagai corak. Pengelanaan mengitari Asmat, Papua, tahun lalu, misalnya, menjadikan ia memasukkan pendekatan sosial-kultural dalam beberapa karya.
Tengok saja Rumah di Tepi Hutan (185x135 cm) yang menjadi renungan setelah ia menelusuri beberapa tempat di Bumi Cendrawasih itu. Corak yang penuh gaya ekspresionis masih menjadi ciri khas alumnus Konstskolan Graphic Arts Institut, Stockholm, Swedia (1989 dan 1992) itu.
Dalam karya itu, rumah-rumah kayu yang berjejer rapi. Ia seakan melukis dari atas pebukitÂan sehingga terlihat lanskap yang begitu bermakna. Terutama, tradisi dan budaya penduduk di pinggir hutan lebat.
Begitu pula dengan Cahaya dari Dalam Hutan (185x148 cm) yang menghadirkan pepohonan yang berjejer rapi. Berkas-berkas cahaya matahari yang menembus sela-sela pepohonÂan menjadi penghayatan akan keindahan alam Papua.
Kendati demikian, Syahnagra tak menghadirkan secara spesifik daerah mana yang ia maksudkan. Apalagi, tak ada rumah tradisonal Papua seperti honai atau lopo di Timor, misalnya, yang termuat dalam konteks dan isi pada karya itu.
Karya bernuansa keindonesiaan menjadi pilihan tema Syahnagra. Ia memetakan setiap guratan saat menginjakkan kaki di berbagai daerah, mulai dari Sumatra, Nusa Tenggara, hingga Papua. Tak mengÂherankan bila deskripsi tentang jiwa nasionalismenya begitu tertuang meski sedikit menyerupai gaya deformasi.
Nuansa begitu kuat, bisa kita dapatkan pada Kapal Putih dan Langit Fajar (150x70 cm). Karya itu termuat dalam tiga panel berbeda. Semua begitu mirip. Gambar tersebut menghadirkan sebuah kapal yang sedang melayar. Degradasi warna matahari yang menyembul menjadi begitu pas. Fajar itulah yang Syahnagra artikan sebagai asal muasal Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia.
Gaya Syahnagra memang mengingatkan kita pada beberapa pelukis dunia di Eropa Edvard Munch (1863-1944) yang berkebangsaan Norwegia atau maestro seni lukis Indonesia, Affandi Koesoema (1907-1990). Terlepas dari corak dan gaya Syahnagara yang diilhami dari perjalanannya mengunjungi sebagai besar daerah Indonesia hingga beberapa di benua Amerika, Eropa hingga Australia, ia masih memiliki kecemasan.
Sejatinya, ia harus tetap berkarya sehingga namanya dikenang kelak di jalur seni rupa Indonesia. “Selama hidup, saya sudah mengunjungi empat benua. Hanya Afrika yang belum kesampaian. Suatu saat saya ingin melukis di sana,†ungkap suami Zuezi Zikri, itu.
Melihat karya-karya Syahnagra membawa kita untuk melihat sisi lain dari keindonesiaanya. Ia mencoba mengungkapkan semua kekecewaan sekaligus kepenatan tentang kondisi negara lewat emosi jiwanya. Tentu saja Syahnagra punya pesan yang diungkapkan lewat goresan yang penuh arti, menjadikan ia serupa Diponegoro masa kini.
“Ada amarah terhadap moralitas. Korupsi yang menjalar membuat Syahnagra mencoba melihat realitas keindonesiaan lewat gaya ekspresif. Keindonesiaan di sini adalah suasana jiwa dan dirinya,†nilai pemerhati seni Sri Warso Wahono. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 10 November 2013
IRAMA blues yang bergema mengiringi orasi singkat pelukis Syahnagra Ismaill. Ia bertutur di depan para undangan, sesama seniman, hingga wartawan tentang corak dan motif di balik pameran tunggalnya. Baginya, takdir dan pengalaman harus disampaikan meski tak semua memahami makna di balik setiap goresannya.
Ya, Syahnagra sedang menggelar pameran tunggal bertajuk Indonesia Raya di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sejak Minggu (3/11) hingga Jumat (15/11) mendatang.
Sejumlah 25 karya dengan berbagai obyek ia hadirkan. Tentu saja, ada yang menjadi sebuah perhatian. Pasalnya, ia pun mengklaim dirinya sebagai Pangeran Diponegoro. Memang hal itu cukup naif. Namun, lelaki kelahiran Teluk Betung, 18 Agustus 1953 itu punya dalil. Ia kukuh mempertahankannya. Terutama, lewat poster pameran yang menggambarkan ia sedang meÂngendarai ‘kuda besi’.
“Diponegoro selalu mengendarai kuda saat pergi berperang ke medan pertempuran. Ini yang menginspirasi sehingga saya pun mengendarai kuda besi (motor gede). Saya ini ibarat Diponegoro masa kini, haha,†candanya saat pembukaan pameran, pekan lalu.
Pengklaiman Syahnagra sebagai ‘Diponegoro’ memang diucapkan sebagai kelakar biasa. Namun, itu mengingatkan kita saat penyair Sutardji Calzoum Bachri mengklaim dirinya sebagai presiden penyair.
Tentu saja itu masih menjadi sebuah perdebatan panjang. Apalagi tak semua orang pasti setuju. Namun, di era pascareformasi ini semua bebas mengklaim. Asalkan, jaÂngan pernah mengklaim istri oÂrang lain sebagai istri kita, bukan?
Menafsir kelana
Jika diperhatikan, karya Syahnagra memang penuh dengan berbagai corak. Pengelanaan mengitari Asmat, Papua, tahun lalu, misalnya, menjadikan ia memasukkan pendekatan sosial-kultural dalam beberapa karya.
Tengok saja Rumah di Tepi Hutan (185x135 cm) yang menjadi renungan setelah ia menelusuri beberapa tempat di Bumi Cendrawasih itu. Corak yang penuh gaya ekspresionis masih menjadi ciri khas alumnus Konstskolan Graphic Arts Institut, Stockholm, Swedia (1989 dan 1992) itu.
Dalam karya itu, rumah-rumah kayu yang berjejer rapi. Ia seakan melukis dari atas pebukitÂan sehingga terlihat lanskap yang begitu bermakna. Terutama, tradisi dan budaya penduduk di pinggir hutan lebat.
Begitu pula dengan Cahaya dari Dalam Hutan (185x148 cm) yang menghadirkan pepohonan yang berjejer rapi. Berkas-berkas cahaya matahari yang menembus sela-sela pepohonÂan menjadi penghayatan akan keindahan alam Papua.
Kendati demikian, Syahnagra tak menghadirkan secara spesifik daerah mana yang ia maksudkan. Apalagi, tak ada rumah tradisonal Papua seperti honai atau lopo di Timor, misalnya, yang termuat dalam konteks dan isi pada karya itu.
Karya bernuansa keindonesiaan menjadi pilihan tema Syahnagra. Ia memetakan setiap guratan saat menginjakkan kaki di berbagai daerah, mulai dari Sumatra, Nusa Tenggara, hingga Papua. Tak mengÂherankan bila deskripsi tentang jiwa nasionalismenya begitu tertuang meski sedikit menyerupai gaya deformasi.
Nuansa begitu kuat, bisa kita dapatkan pada Kapal Putih dan Langit Fajar (150x70 cm). Karya itu termuat dalam tiga panel berbeda. Semua begitu mirip. Gambar tersebut menghadirkan sebuah kapal yang sedang melayar. Degradasi warna matahari yang menyembul menjadi begitu pas. Fajar itulah yang Syahnagra artikan sebagai asal muasal Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia.
Gaya Syahnagra memang mengingatkan kita pada beberapa pelukis dunia di Eropa Edvard Munch (1863-1944) yang berkebangsaan Norwegia atau maestro seni lukis Indonesia, Affandi Koesoema (1907-1990). Terlepas dari corak dan gaya Syahnagara yang diilhami dari perjalanannya mengunjungi sebagai besar daerah Indonesia hingga beberapa di benua Amerika, Eropa hingga Australia, ia masih memiliki kecemasan.
Sejatinya, ia harus tetap berkarya sehingga namanya dikenang kelak di jalur seni rupa Indonesia. “Selama hidup, saya sudah mengunjungi empat benua. Hanya Afrika yang belum kesampaian. Suatu saat saya ingin melukis di sana,†ungkap suami Zuezi Zikri, itu.
Melihat karya-karya Syahnagra membawa kita untuk melihat sisi lain dari keindonesiaanya. Ia mencoba mengungkapkan semua kekecewaan sekaligus kepenatan tentang kondisi negara lewat emosi jiwanya. Tentu saja Syahnagra punya pesan yang diungkapkan lewat goresan yang penuh arti, menjadikan ia serupa Diponegoro masa kini.
“Ada amarah terhadap moralitas. Korupsi yang menjalar membuat Syahnagra mencoba melihat realitas keindonesiaan lewat gaya ekspresif. Keindonesiaan di sini adalah suasana jiwa dan dirinya,†nilai pemerhati seni Sri Warso Wahono. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 10 November 2013
No comments:
Post a Comment