Sunday, November 24, 2013

[Tifa] Membaca Sejarah lewat Garis

PERJALANAN dalam hidup menjadi sebuah pengalaman berharga bagi setiap manusia. Semua pertemuan hingga perpisahan selalu penuh dengan kejutan sehingga bagi kebanyakan seniman, hal itu bisa saja menjadi inspirasi.

Selama hampir 31 tahun menekuni dunia sketsa membawa penggambar Yusuf Susilo Hartono, 55, menuangkan semua pengalaman berharga lewat karyanya. Bermodal kertas dan pensil, dia pun mampu menangkap momen pada suatu peristiwa sejarah.

Lewat pameran bertajuk Menangkap Momen dan Memaknai Esensi di Gedung Masterpiece, Jakarta, 18-21 November, Yusuf menghadirkan ratusan karya yang dibuat sejak 1982 silam. Tentu saja, ada proses kreatif yang dia tuangkan lewat karya yang lekat dengan kegelisahan hingga kekagumannya dalam melihat kondisi sosial dan budaya di negeri ini.

Selain dipamerkan, sketsa-sketsa itu juga direproduksi lewat sebuah buku katalog lengkap tentang semua karya antara 1982 dan 2013. “Semua sketsa berbicara tentang saya dan keluarga, saya dan alam, dan saya dan Sang Pencipta,” ujar Yusuf di sela-sela pembukaan pameran, awal pekan ini.

Bang Bang Tut

Dari ratusan karya berupa sketsa, ada yang sangat menarik, yakni ketika Yusuf mencoba mengabadikan sebuah momen bersejarah, tragedi 1998, saat mahasiswa menuntut reformasi dan berhasil menjatuhkan penguasa otoriter saat itu, Soeharto.

Unik karena ayah dua putri itu mencoba memaknai apa yang dia lihat secara jeli dalam peristiwa bersejarah itu. Sedikitnya ada 19 karya yang mengupas tentang peristiwa ‘98. Salah satunya Bang Bang Tut (tinta di atas kertas, 24,5x17 cm) yang begitu kuat.

Dalam karya sketsa itu Yusuf mengabadikan ribuan mahasiswa yang masuk ke kompleks Gedung DPR. Mahasiswa membawa spanduk bertuliskan ‘Turunkan Soeharto’, ‘Soeharto Adili’, dan ‘Reformasi Yes!’.

Garis-garis yang terlihat membuat karya tersebut mengalami pendeformasian. Itu membuat gaya sketsa Yusuf lebih menitikbe­ratkan pada bakat alamiah. Ada anatomi yang sengaja dibuat ‘melenceng’ dari pakem.

Selain itu, Yusuf juga memasukkan sebuah karya Sepasang Kekasih di Tengah Demo (21x29,5 cm). Terlihat sang lelaki sedang memeluk erat kekasihnya sambil memandang ke kerumunan. Ada spanduk besar bertuliskan ‘Turun Harto!’.

Tak hanya potret buram ‘98, Yusuf yang juga bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah seni itu pun dalam pekerjaanya juga mengabadikan berbagai tradisi di daerah di Indonesia, mulai keraton, rumah adat, hingga ajang diskusi.

Saat berkunjung ke Pula Sumba, NTT atau Tanah Toraja, Sulsel, hingga Manado, Sulut, misalnya, dia tak luput mengabadikan khazanah budaya yang ada di daerah-daerah itu. Di Toraja, misalnya, dia menggambar rumah adat. Begitu pula di Sumba, dia menggambar tenun ikat yang unik dan khas.

Terlepas dari perjalanan sebagai seorang pegiat seni, Yusuf menunjukkan sebuah totalitas dalam dunia sketsa. Bahkan, sebagai proses pematangan, ada beberapa self potrait yang dia tuangkan dengan garis-garis berkelok-kelok.

Karya Yusuf membawa kita untuk bisa menerka pengelanaannya. Sayang, beberapa karya, khususnya yang berobjek manusia, masih terlihat datar sehingga tak ada letupan yang dahsyat. Karya idealis yang kuat dengan anatomi yang sempurna hanya terlihat pada Affandy (94x30 cm) yang Yusuf muda gambar pada 1987. Di karya itu terlihat pelukis Affandy tua sedang menikmati tembakau lewat cangklongnya. (Iwan Kurniawan/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 November 2013

  

No comments: