Sunday, November 03, 2013

Generasi Virtual dan Status Sosial

-- Mohamad Baihaqi Alkawy

DI dunia virtual, nyaris segalanya dapat diakses dengan mudah. Lewat beragam jaringan yang disediakan, kita mampu melihat peristiwa paling aktual dari belahan dunia mana pun. Kita tahu, setiap informasi mampu membuka wawasan dan pengetahuan yang lebih luas. Tapi di sana, banyak kabar yang tak jelas kebenarannya, tak jelas sumbernya.

Dalam Facebook misalnya, sebagai salah satu jejaring sosial yang paling banyak digemari kaum remaja sekarang tak sepenuhnya dapat dipercaya. Akhirnya rentan memicu konflik sosial. Namun hal tersebut tak disadari karena bergerak di bawah sadar para pengguna. Dengan mudah masyarakat percaya atas segala informasi yang muncul di layar piranti tekhnologi. Isu pun kian cepat berhembus karena tak ada filtrasi informasi. Akhirnya ruang untuk mencitrakan diri atau bahkan menyebarkan fitnah jadi sangat terbuka. Seperti apa yang terjadi baru-baru ini, tawuran antara siswa SMK 1 Kendari dan SMK 2 Kendari sedang dalam pemeriksaan. Kabarnya, kerusuhan tersebut dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman komunikasi antara kedua siswa tersebut lewat facebook (Bali Post, 27/09).

Sebagai pemegang estafet, di pundak generasi muda -sebagai generasi virtual pastinya tergantung harapan besar masyarakat. Sekarang, generasi muda hidup dalam pengaruh segala yang virtual atau sebaliknya, dunia virtual hadir menyambut generasi muda. Sebuah generasi yang tak hanya dipengaruhi, melainkan juga nyaris sepenuhnya dikuasai oleh jaringan internet: web, blog, twitter, dan facebook sebagai bagian dari virtualitas.

Generasi muda akan merasa dahaga bilamana telah membuka piranti internetnya dalam gadget, ponsel, atau I Pad. Fasilitas yang ditawarkan oleh benda-benda tekhnologis tersebut tak hanya menawarkan kemudahan, melainkan kesenangan dalam mengisi waktu-waktu senggang di tengah padatnya jadwal belajar.

Jumlah pengguna facebook dari tahun ketahun terus meningkat. Saat ini 1,15 miliar masyarakat dunia menggunakannya. Sementara pengunjung aktif jejaring sosial tersebut di Indonesia menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) secara global per Juni 2013 lalu mencapai 699 juta orang. Lima negara dengan pengguna terbanyak berasal dari Amerika Serikat, Brasil, India, Indonesia, dan Meksiko.

Menurut pihak facebook sendiri, sebagaimana yang dilangsir Jumat (20/9/2013), jumlah pengguna facebook per hari asal Indonesia mencapai angka 33 juta orang. Pengguna yang mengakses jejaring sosial ini via mobile setiap harinya mencapai angka 28 juta. Pelanggan aktif bulanan via situs web mencapai 65 juta. Pengguna yang secara aktif membuka facebook via mobile tercatat sebanyak 55 juta orang. Sedangkan pengguna aktif bulanan melebihi total keseluruhan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2012. Artinya generasi virtual tumbuh di Indonesia kurang lebih sebanyak 63 juta orang.

Derasnya arus informasi masuk sebagaimana hasil survei di atas dominan digunakan oleh remaja. Ia hadir seperti candu di saat generasi muda lebih melupakan realitas. Tantangan dan permasalahan real generasi muda dan ‘’candu tekhnologis’’ tersebut tak lepas dari tawaran-tawaran menarik yang tersedia di dunia virtual tak digunakan secara positif.

Bagi kaum muda yang belum memiliki pondasi hidup yang kuat atau identitas diriyang kokoh tidak tepat jika sebagian besar waktunya habis di depan jejaring sosial hanya demi menikmati pilihan jenis game di dalamnya. Kaum muda yang tengah berada pada masa transisi seperti ‘’terapung’’ dan bisa-bisa terjerumus ke dalam sesuatu hal baru yang dianggap trend dan mengasyikkan.

Maka, semakin intens kita mempergunakan benda tekhnologi, semakin kuatlah posisi benda tekhnologis yang memungkinkan seseorang memposisikannya sebagai kebutuhan primer.   

Status Sosial

Pengaruh internet sampai saat ini tak bisa kita pungkiri telah merambah ke semua bagian dan lapisan masyarakat. Dari desa apalagi di kota, dari kaum muda sampai anak-anak. Apalagi fasilitas ber-internet tersedia pada ponsel. Lewat gadget, ponsel dan iPad misalnya, internet hadir dan bisa diakses. Waktu senggang banyak terkuras hanya untuk berhadapan dengan ponsel daripada membacabuku, atau melaksanakan aktivitas-aktivitas lainnya. Penggunaan ‘’candu tekhnologis’’ tersebut menjadi sangat terbuka, dalam artian generasi muda mudah untuk mengekspresikan diri. Dan tak jarang di sebuah beranda terdapat banyak keluhan-keluhan hidup.

Sudah pasti suatu generasi bisa hadir dari zamannya masing-masing. Generasi virtual pun demikian, hadir dalam situasi yang gegap oleh benda-benda tekhnologis. Dan tak ada yang mampu menghadang laju zaman yang begitu deras, suatu yang niscaya. Misalnya dalam persentuhan kaum muda dengan benda-benda tekhnologis. Dalam setiap aktivitasnya kaum muda selalu ingin tampil trendy, gaya hidup lebih mengacu pada gengsi demi eksistensi diri. Eksistensi yang dominan dipahami dan dijangkau lewat konsumerisme dan pencitraan.

Kalau dahulu, sebut misalnya di masa kemerdekaan, status sosial atau eksistensi diri dicapai dari buah karya, hasil pemikiran dan daya cipta kaum muda yang mampu mendongkrak status sosial menjadi lebih tinggi. Sementara sekarang, setelah generasi muda larut dalam virtualitas, yang ada hanya memikirkan statusnya di depan layar. Status tersebut secara tidak langsung menjadi bagian dari usaha untuk mencitrakan diri terhadap orang lain, termasuk dalam kehidupan sosialnya.

Suatu kondisi yang semakin haus akan eksistensi dan wahana mengekspresikan diri. Status-status untuk mencitrakan diri di luar dari diri yang sebenarnya. Kondisi ini menunjukkan posisi kaum muda yang tengah menghadapi sebuah desakan untuk mengikuti trend zaman dan pada akhirnya terjebak jadi candu.

Fungsi tekhnologi kadang tak disadari oleh generasi muda, malah yang sering tampak dan banyak terjadi adalah tumbuhnya generasi yang bergantung dan diperbudak oleh tekhnologi. Dunia virtual tidak dipahami sebagai fasilitas untuk memudahkan aktivitas-aktivitas sehari-hari. Dampaknya, kaum muda menjadi generasi yang ‘’diinstankan’’. Dampak dari persepsi yang mengagungkan kerja-kerja dunia virtual, generasi muda menciptakan status palsu di tengah kehidupan sosialnya.

Aktivitas yang seharusnya dilaksanakan secara maksimal seperti di sekolah atau di tempat kerja menjadi tersita hanya dengan sesering mungkin membuka pilihan piranti alat telekomunikasi, melihat status teraktual dan terpopuler di acountnya.

Bila realitas kaum muda yang demikian larut dalam cengkeraman benda tekhnologis tak disikapi secara kreatif jelaskan menjadi ancaman. Ketika perangkat yang pada dasarnya diciptakan untuk memudahkan aktivitas manusia malah terbalik memperbudak kita. Memperbudak generasi muda. n

Mohamad Baihaqi Alkawy, Lahir di Toro Penujak, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 09 Mei 1991. Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Royuna IAIN Mataram, serta Bergiat di Komunitas Nafas. Selain puisi juga banyak menulis artikel, dimuat di, Bali Post, Koran Kampung,Lampung Post, Radar Surabaya, Sinar Harapan, Lombok Post, Suara NTB, Radar Lombok, Radar Mandalika, Buletin Replika, Buletin Egaliter, MajalahSantarang, dan Buletin Kappas.


Sumber: Riau Pos, Minggu, 3 November 2013

No comments: