PENYAIR Kis Ws (Kiswa Wiriasasmita, 1922-1995) dan K.T.S (Kadir Tisna Sudjana, 1912-1987) diyakini sementara ka-langan kritikus sastra Sunda, sebagai penyair pembaharu dalam penulisan puisi Sunda modern. Kemodernan itu antara lain dilihat dari upaya ke-dua penyair tersebut dalam menulis puisi, yang membebaskan sintaksis dan semantik dalam larik-larik puisi yang di-tulisnya dari aturan baku seperti yang terdapat dalam penulisan puisi lama, yang disebut dangding, yang larik demi lariknya berpola pada guru lagu tertentu, bergantung pada pupuh apa yang ditulisnya.
Misal, aturan penulisan pu-puh kinanti sangat lain dengan pupuh mijil, baik pada guru lagu (rima) maupun banyaknya larik puisi yang ditulis dalam satu bait (pada). Dalam penulisan pupuh kinanti, satu baitnya terdiri dari enam pa-dalisan (larik) yang setiap pa-dalisan-nya terdiri dari delap-an suku kata (enggang) de-ngan vokal akhir u-i-a-i-a-i. Sedangkan pupuh mijil, satu baitnya terdiri dari dari enam padalisan (larik) yang masing-masing lariknya terdiri dari 10-6-10-10-6-6 suku kata (enggang) dengan masing-masing vokal akhir i-o-e-i-i-u di tiap lariknya.
Dan apa yang disebut dang-ding, menurut para pakar digolongkan ke dalam dua jenis bentuk penulisan, yang disebut guguritan dan wawacan. Yang dimaksud dengan guguritan adalah apa yang ditulis oleh penyairnya dalam satu buku hanya menggunakan satu pupuh, sedangkan wawacan di dalam satu buku bisa menggunakan lebih dari empat pupuh yang di dalamnya mengandung pengisahan. Seperti cerita babad, wayang, dan sebagainya, yang mengandung efek-efek dramatik dan mistik atas kesaktian para tokohnya.
Sebelum membaca dang-ding, para apresiator (pembaca teks tersebut) terlebih dahulu diingatkan oleh penulis gugu-ritan dan wawacan bahwa teks yang ada di hadapan dirinya itu harus dikawihkan atau ditembangkan, dalam pupuh sinom, mijil, asmarandana, magatruh, dan seterusnya. Adapun yang disebut pupuh, sebagaimana dikatakan pakar karawitan Sunda, Nano. S. S.Kar, dalam percakapannya dengan penulis mengandung dua pengertian. Pertama bisa mengandung arti puisi dan kedua mengandung arti lagu. Dalam pengertian secara keseluruhan adalah puisi yang dilagukan. Pada sisi yang lain jelas sudah, bahwa apa yang dinamakan musikalisasi puisi bukan merupakan barang baru dalam kebudayaan Sunda.
Bila si pembaca teks dang-ding bisa nembang, ia akan mendapatkan tafsir yang lain, yang tentunya tafsir tersebut berbeda dengan tafsir si penafsir yang tidak bisa nembang, yang meletakkan teks dang-ding semata-mata sebagai teks puisi itu sendiri. Teks-teks dangding dan wawacan yang demikian itu, antara lain ditulis dua sastrawan Sunda kenamaan pada zamannya, seperti Moehamad Moesa (1823-1886) dan Haji Hasan Mustapa (1852-1930). Di bawah ini secara berturut-turut bisa kita baca petikan puisi yang dimaksud dalam tulisan ini.
lebah ieu puseur bumi/ nu kamari gonjing ku lini/ ayeuna ngeplak saraga motah/ tineung mubul seah ngagalura// jerit aral diajam maratan mega/ kalah mendal neunggar cakrawala/ aya pamayang kaalunkeun ka basisir/ rubuh bari teu kendat kukubuk/kunu nyiptakeun lauk// angina lirih dina sela-sela dikir/ ngendat sakedep lacak nu ilang/ beurang teu aya nu langgeng/ peuting teu saendeng-endeng/ ngarusapan ngageurihan kuma `urang// di teluk liuh/ su-buh parahu palabuh/ ki pamayang alon ngagarewos alon:/ beurang peuting anu urang/ ayeuna kula narima/sakabehna// Cideres, Juli 1946/ Ciamis, 20 Februari 1986// (Kis Ws, Ilangna Mustika).
Kahareup ngarah sajeujeuh/ ka tukang ngarah salengkah/ ka hareup lajurkeun tineung/ ka tukang ngawawaasna// Hirup nunggu-nunggu umur/ gumelar megat sakarat/ bilang ladang kumelendang/ ulah mulang ngalongkéwang// (K.T.S, Hirup)
Dangdanggula/ 1/ Dangdanggula anu awit digurit/ nu dianggit carita baheula/ nurun tina kitab kahot/ diturun kana lagu/ nu dipambrih réa nu sudi/ malar réa nu suka/ ari nu dicatur,/ aya sahiji nagara/Sokadana nagara gedé téh teuing/ murah keurkahirupan/ (Moehamad Moesa, Wawacan Panji Wulung)
Sinom /1/ Lekasan jeung wawarian/ sinom deui sinom deui/ wawarian jeung lekasan/ sinom deui sinom deui/ ramé beurang jeung peuting/ meunang tilu kali tujuh/ helaran arak-arakan/ rapih kaulaning Gusti/ reureundeukan leumpang laun lalaunan/ (Haji Hasan Mustapa, Sinom Wawarian)
Dari empat teks puisi tadi, bisa kita lacak bahwa ditulisnya puisi Sunda modern yang acap kali disebut sajak, merupakan sebuah gairah baru dari para penyair Sunda yang ingin melepaskan diri dari aturan-aturan (ugeran) penulisan puisi lama. Upaya baru semacam itu juga bisa kita baca dalam sejumlah puisi yang ditulis oleh penyair Chairil Anwar, yang membebaskan dirinya dari pola pantun, yakni pola yang terikat oleh rima yang ketat selain terikat oleh sampiran dan isi, yang ditulis dalam dua baris pertama dan dua baris kedua. Goenawan Mohamad menyebut Chairil sebagai penyair avantgarde angkatan pertama, dan apa yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono sebagai avantgarde kedua lewat kumpulan puisi ”Duka-Mu Abadi”, sebagai "Nyanyi Sunyi Kedua" setelah ”Nyanyi Sunyi”, Amir Hamzah, yang di dalam penulisan puisi-puisinya masih kita rasakan aroma pantun meski tanpa sampiran.
Adakah penilaian semacam itu, dalam hal ini pandangan Goenawan Mohamad, bisa di-terapkan juga pada kehadiran Kis Ws dan K.T.S dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan puisi Sunda mo-dern, yang mencapai puncaknya untuk sementara ini ditulis oleh penyair Godi Suwarna (1956 -…) sebagai avantgarde angkatan ketiga, bila kita menyakini bahwa Sayudi (1932-2000), Ajip Rosidi (1938) dan Wahyu Wibisana (1935) sebagai avantgarde angkatan kedua? Pertanyaan-pertanyaan sema-cam ini menarik untuk dite-lusuri dan dicarikan jawabannya seakurat mungkin. Dan apa yang disebut avantgarde pada satu sisi adalah kecenderungan seni dan sastra, yang pertama kali berkembang di Perancis, yang pada prinsip utamanya adalah seni sebagai sebuah bentuk penentangan terhadap segala bentuk tradisi dan institusi seni.
Pengamatan Goenawan terhadap puisi Sapardi semacam itu, bukan hanya bertolak pada tema puisi yang membebaskan diri dari hiruk-pikuk sosial politik, tetapi juga pada bagaimana kata-kata di dalam puisi Sapardi difungsikan sedemikian rupa dalam sejumlah puisi yang ditulisnya, yang mampu mengungkap tema-tema kecil, yang boleh jadi selama ini diabaikan, karena dianggap tidak berharga, seperti mengungkap soal daun gugur, hujan, dan kabut. Berkait de-ngan itu, dalam petikan empat puisi tadi, kita bisa merasakan bahwa apa yang ditulis Kis Ws maupun K.T.S tidak lagi meng-ungkap soal apa dan bagaimana cerita-cerita masa lalu, dengan tokohnya yang serba mistis dan sakti itu, atau nasihat-nasihat keagamaan. Selain itu, tidak juga terpaku oleh guru lagu di masing-ma-sing bait dan barisnya, sebagaimana yang ditulis oleh Moehamad Moesa dan Haji Hasan Mustapa.
Dalam konteks inilah, Kis Ws dan K.T.S., mencoba lain de-ngan maksud memberikan ruang yang lain, bagi hadirnya ruang kontemplasi yang lain di hati pembaca puisi-puisinya, yang penulis yakni boleh jadi dipengaruhi juga oleh unsur-unsur puisi yang datangnya dari Barat. Sebagaimana Chairil jelas sudah dipengaruhi oleh banyak penyair Barat. Bahkan Amir Hamzah sendiri, pernah pula bersentuhan dengan puisi-puisi Parsi Klasik, yang disadari atau tidak memberikan penga-ruh pada tema-tema puisi yang diterjemahkannya. (Soni Farid Maulana/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010
No comments:
Post a Comment