-- Sonya Hellen Sinombor
BULAN Oktober nanti, mereka akan pentas di Korea. Semua pemimpin Komunitas Lima Gunung diundang. Informasi dari Handoko (30), pemimpin Sanggar Warangan Merbabu, Magelang, itu kembali menegaskan bahwa tradisi terbukti menopang globalisasi.
Tari Kuda Lumping Komunitas Lima Gunung muncul dalam perjumpaan komunitas mereka di Dusun Gejayan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (28/3). Perhimpunan tradisi warga dari lima gunung, yaitu Andong, Merapi, Merbabu, Menoreh, dan Sumbing, kini menjadi perhimpunan cara pandang warga.(KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)
Tarian topeng ireng dan pitutur madyo yang selama ini dia pentaskan ternyata memiliki kekuatan luar biasa, yang membawa dirinya dikenal sehingga bisa bergabung dengan Komunitas Lima Gunung Magelang, Jawa Tengah.
Komunitas Lima Gunung, komunitas kesenian yang digagas budayawan Magelang Sutanto Mendut dengan melibatkan tokoh dan pemimpin kelompok seni tradisi dari gunung-gunung di Magelang, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Sejak tahun 2002, mereka menggelar Festival Lima Gunung dan menampilkan berbagai seni tradisinya. Festival yang dipersiapkan dan digelar dengan usaha susah payah oleh Sutanto dan kawan-kawannya itu pada akhirnya membawa nama Komunitas Lima Gunung dikenal luas publik Indonesia dan mancanegara. Forum itu lama-kelamaan kian berbobot karena dirancang Sutanto Mendut. Budayawan Rendra, misalnya, berkali-kali tampil di sana.
Mengapa berbobot? Yang mereka olah bukan sekadar pertunjukan. Juga wacana alternatif, counter argument atas isu-isu aktual. Pendeknya, di sanalah kehidupan diasah.
Tak heran, ketika Komunitas Lima Gunung makin mekar dan berakar, peri kehidupan seniman lima gunung (yang kesehariannya petani dan buruh itu) berangsur berubah. Handoko, misalnya. Sebagai petani, kini banyak diundang berpentas dan sering mengajar ekstrakurikuler seni tradisi di sejumlah sekolah.
Dari Gunung Merapi ada
Padepokan Tjipto Boedojo di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, pimpinan Sitras Anjilin. Padepokan kuno ini, warisan orangtuanya, Romo Yasa, yang dibangun pada 1937. Padepokan ini mengolah seni wayang orang, dan kini bermetamorfosa menjadi berbagai cabang seni tradisi: sastra, tari, ketoprak, gamelan, seni ukir, lukis, dan kerohanian. Di kalangan Komunitas Lima Gunung, kelompok Sitras sering disebut sebagai kasepuan ( kerohanian). Kekuatan sastra (wayang) membawa Sitras Anjilin pada tahun 2008 mengajar tari di sejumlah sekolah dasar di Inggris.
Merapi juga memiliki komunitas Teatrikal Gadhung Mlati pimpinan pematung Ismanto. Mereka bermukim di Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun. Komunitas ini adalah campuran keahlian mengukir patung batu gunung dan seni instalasi (performance). Komunitas ini tak pernah sepi dari pentas dan pesanan karya. Kehidupan Ismanto dan konco-konconya kini moncer, tetapi tetap ndeso, hati mereka mulia.
Ada juga kelompok kesenian Saujana di Dusun Keron, Desa Kroggowanan, Kecamatan Sawangan, pimpinan Sujono. Kendati baru beberapa tahun melahirkan seni topeng saujana, Sujono menjadi salah satu ujung tombak di Komunitas Lima Gunung. Pemuda dan anak-anak desa yang tidak sekolah diajaknya bergabung.
Dari Gunung Merbabu, di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut ada Kelompok Seni Topeng Ireng di Dusun Petung, Desa Petung, Kecamatan Pakis, pimpinan Timbul. Ada juga Kelompok Kesenian Wargo Budoyo di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, pimpinan Riyadi, serta Sanggar Warangan pimpinan Handoko.
Daerah Merbabu ini memiliki kesenian khas, seni truntung soreng (seni perkusi terbang).
Warga Gunung Andong memiliki Bekso Turangga Muda di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak. Pimpinannya Supadi Haryono.
Adapun di Gunung Sumbing, seni justru menjadi kebutuhan untuk menghadirkan kegembiraan bagi masyarakat di tengah hawa yang sangat dingin. Kelompok Seni Cahyo Budoyo Sumbing di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, pimpinan Sumarno mengangkat kesenian lengger.
Kelompok seni paling banyak tumbuh di daerah Borobudur, di lembang Gunung Menoreh, dan dikoordinasi Sutanto Mendut.
Oleh stamina para petani dan buruh tani yang nyambi jadi seniman—dan tentu saja berkat wacana dan kegigihan Sutanto Mendut yang mengoordinir dengan SMS-SMS-nya yang ”meneror” jaringan-jaringannya— termasuk gubernur, menteri, dan para orang berduit, Komunitas Lima Gunung kemudian menjadi kekuatan (seni, dan sosial budaya) yang luar biasa. Komunitas Lima Gunung dan kawasan mereka kini bahkan jadi laboratorium sosial para seniman/akademisi, dan daerah tujuan wisata.
Lima Gunung lalu menjadi magnet, seperti tergambar saat mereka menggelar pertunjukan di Dusun Gejayan, Kecamatan Pakis, Magelang, Minggu (28/3).
Direktur Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, Johan Salim mengatakan, semua seni tradisi di Indonesia ini adalah ritual. Namun, nilai-nilai egalitarian, dan kebutuhan akan hiburan membuat masyarakat gunung di Magelang terpacu untuk kreatif, dan menghadirkan kegembiraan.
Maka, walaupun dari strata sosial komunitas ini rata-rata dianggap ”sudra”, dalam kuasa seni mereka yang penuh rasa gembira dan merdeka, mereka adalah para ”brahmana” yang menembus kancah dunia. (han/egi)
Sumber: Kompas, Sabtu, 17 April 2010
No comments:
Post a Comment