-- Atmakusumah*
ADA pertanyaan paling unik diungkapkan oleh anggota delegasi Uganda dalam diskusi tentang ”Media bebas, independen, dan pluralistik: Peranan yang dapat dilakukan Negara” di Paris, baru-baru ini. Ia bertanya kepada para panelis: ”Apa yang akan terjadi dengan media pers jika muncul diktator baru di suatu negara yang belum lama menikmati kebebasan pers dan berekspresi?”
Saya harus menjawab pertanyaan ini sebagai salah seorang dari tiga panelis di depan sidang ke-27 delegasi 39 negara anggota Intergovernmental Council untuk International Programme for the Development of Communication (IPDC) UNESCO yang diselenggarakan pada 24-26 Maret. Dua panelis lainnya adalah Lumko Mtimde, direktur eksekutif Media Development and Diversity Agency di Afrika Selatan; dan Gabriel Kaplun, Dekan Communication Sciences Faculty pada Universidad de la Republica di Uruguay.
Diktator sulit muncul lagi
Jawaban saya bagi pertanyaan itu adalah bahwa sangat sulit bagi seorang diktator baru untuk muncul dan berkuasa di suatu negara setelah masyarakat secara luas menikmati dan menghargai kebebasan, termasuk kebebasan berekspresi—yang mencakup pula kebebasan pers dan menyatakan pendapat. Di Indonesia sekarang boleh dikatakan setiap orang dapat mengutarakan keluhan dan pengaduan.
Akan tetapi, sebaliknya, media pers harus terus-menerus melakukan upaya untuk meningkatkan mutunya agar tidak ada alasan bagi pemerintah dan publik untuk menindas kebebasan pers dan berekspresi.
Sejak awal Dewan Pers independen berdiri pada April 2000, para anggotanya memandang sangat penting berkembangnya pemahaman publik terhadap makna kebebasan pers dan berekspresi. Publik bukan hanya masyarakat luas di luar kekuasaan negara, melainkan juga pejabat pemerintah—yang sama-sama terperanjat menyaksikan kelahiran media pers yang demikian cepat dan sangat bervariasi.
Dalam pernyataannya yang pertama pada 22 Mei 2000, Dewan Pers menunjukkan kerisauan terhadap timbulnya konflik antara media pers dan kelompok masyarakat yang tidak menyenangi atau merasa dirugikan oleh pemberitaan tentang mereka atau pemimpin mereka. Selama beberapa tahun pada awal masa Reformasi, kantor media pers di beberapa kota didemonstrasi, diduduki, dan malahan ada pula yang dirusak.
Ini mencerminkan ketidakpahaman di kalangan sebagian masyarakat terhadap makna kebebasan pers. Ketidakpahaman juga terjadi di kalangan para penegak hukum karena polisi kadang-kadang seolah-olah ”lepas tangan” dalam menghadapi peristiwa kekerasan terhadap pers dan wartawan dengan tidak melindungi kantor media pers yang diduduki atau dirusak oleh para demonstran. Malahan polisi di Medan akan menuntut para pengelola satu surat kabar karena memuat karikatur yang digugat oleh sejumlah demonstran.
Tidak takut berekspresi
Baik para politisi dan para pejabat negara, termasuk penegak hukum, maupun perundang-undangan sebaiknya mendukung dekriminalisasi—atau tidak mengkriminalkan—pikiran-pikiran kreatif yang muncul dalam berbagai forum dan media, misalnya, karya jurnalistik dalam media pers, pernyataan pendapat yang kritis dalam pertemuan terbuka, serta ekspresi yang keras sekalipun dari publik dalam demonstrasi atau forum lain, seperti surat pembaca di media massa dan media internet.
Seandainya pernyataan dan ekspresi itu melanggar hukum, tersangka dapat diproses melalui jalur hukum perdata, bukan dengan menggunakan hukum pidana yang mengkriminalkan karya atau pernyataan mereka. Akan tetapi, jalur hukum apa pun yang ditempuh, perdata ataupun pidana, hendaknya tidak berakhir dengan vonis berupa hukuman badan atau penjara, melainkan ganti rugi (dalam kasus perdata) atau denda (dalam kasus pidana) yang proporsional.
Ganti rugi atau denda proporsional, yang sekarang semakin menjadi perhatian para pengamat hukum di berbagai negara demokrasi, dimaksudkan agar terhukum tidak mendapat kesulitan ekonomis karena pembayarannya disesuaikan dengan kemampuan finansial mereka. Sama pentingnya adalah bahwa mereka tidak mengalami tekanan batin akibat beban pembayaran ganti rugi atau denda yang sangat berat, atau eksesif, sehingga tidak lagi memiliki keberanian untuk menyuarakan isi hati nuraninya.
Lembaga Bantuan Hukum untuk Pers (LBH Pers) pada 23 Juli 2008 sudah mengajukan usulan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghapus beberapa pasal hukum yang dapat membelenggu kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Akan tetapi, sejauh itu, Mahkamah Konstitusi masih menolak usulan ini. Alasannya bahwa tuntutan warga yang merasa dirugikan oleh suatu pernyataan, misalnya yang dianggap mencemarkan nama baik, adalah konstitusional atau dilindungi oleh UUD kita.
Pada peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia tahun lalu, 3 Mei 2009, yang diadakan di Doha, Qatar, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB, UNESCO, menyerukan agar negara anggotanya ”menyingkirkan pasal hukum pencemaran nama baik atau penistaan dari undang-undang pidana.”
Kebebasan media eksesif
Pernyataan lainnya yang menarik dalam diskusi di Paris adalah kekhawatiran terhadap apa yang disebut ”kebebasan media yang eksesif, yang dapat mengganggu kestabilan negara”. Ini merupakan pandangan klasik yang juga beredar luas di Indonesia.
Saya menanggapinya dengan mengemukakan pengamatan selama ini di Indonesia bahwa upaya untuk ”mengontrol” media massa oleh lembaga-lembaga seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan media watch dapat memperkecil sensasionalisasi pemberitaan dan penyiaran. Lebih penting lagi adalah upaya selama satu dasawarsa terakhir oleh Dewan Pers untuk mengembangkan ”melek media” di kalangan masyarakat, termasuk para penegak hukum, dengan mengadakan diskusi bersama mereka tentang makna dan manfaat kebebasan pers dan berekspresi. Program ini kemudian diikuti oleh LBH Pers yang lebih memusatkan kegiatannya pada pendekatan kepada para penegak hukum.
Pemahaman publik terhadap profesionalisme pers sangat penting karena merekalah yang menjadi penguji terakhir bagi kelangsungan kehidupan media massa. Selama masa euforia kebebasan pada awal Reformasi pernah beredar 1.200 media pers cetak—surat kabar harian dan mingguan, tabloid, dan majalah. Namun, separuhnya, sekitar 600, hanya berumur kurang dari satu atau dua tahun karena, antara lain, ditinggalkan oleh para pembaca.
Program-program yang dijalankan oleh Dewan Pers, baik dalam pengembangan ”melek media” maupun sebagai mediator antara publik dan media pers dalam konflik akibat pemberitaan, mendapat perhatian pengamat pers internasional. Beberapa bulan yang lalu, Aiden White, Sekretaris Jenderal International Federation of Journalists (IFJ) di Brussels, Belgia, menyebut Dewan Pers Indonesia sebagai salah satu dewan pers yang terbaik di dunia.
Dalam pengamatan selama ini, saya tidak melihat terjadinya gejala buruk dari kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia yang dapat mengganggu kestabilan negara. Sebaliknya, para pemimpin negara memperoleh banyak informasi dari pemberitaan pers yang terbuka dan jujur sehingga dapat lebih mudah memahami aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
* Atmakusumah, Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme Lembaga Pers Dr Soetomo
Sumber: Kompas, Senin, 12 April 2010
No comments:
Post a Comment