[JAKARTA] Sebanyak 73 persen ketidaklulusan ujian nasional (UN) tingkat SMA/SMK/MA disebabkan siswa tidak lulus mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal itu dinilai akibat sikap siswa yang menyepelekan mata pelajaran tersebut serta metode pembelajaran yang salah.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyebutkan, kebanyakan peserta UN SMA yang tidak lulus harus mengulang mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Biologi. Dari 154.000 siswa yang tidak lulus, sekitar 73 persen di antaranya mengulang pelajaran Bahasa Indonesia.
Nuh mengemukakan, kementeriannya akan menganalisis mengapa para siswa tersebut gagal dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
“Apakah karena soalnya terlalu sulit, sebab tentang prosa banyak yang gagal. Kami akan evaluasi tingkat kesulitannya. Kami akan melihat spesifikasi gurunya, bahan pelajarannya apakah mereka kekurangan perpustakaan atau buku bacaan, kita akan berikan solusi,” ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Pembinaan Bahasa, Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, Mustakim, di Jakarta, Kamis (29/4) menilai, faktor penyebab anjloknya nilai Bahasa Indonesia peserta UN tingkat SMA tahun ini, antara lain, siswa menyepelekan Bahasa Indonesia karena merasa sudah digunakan sehari-hari.
“Faktor lainnya, kemungkinan metodologi pengajaran bahasa di sekolah lebih ber-orientasi pada tata bahasa, bukan bagaimana menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar,” ujarnya.
“Kalau sampai nilai bahasa Indonesia anak-anak lulusan SMA/SMK rendah, ini sangat memprihatinkan dan sebuah ironi. Karena itu, Pusat Bahasa Kemdiknas akan melakukan penelitian mengapa ini terjadi,” ujarnya.
Dia menambahkan, Pusat Bahasa tidak dilibatkan dalam penyusunan soal UN mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Secara terpisah, mantan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Muhammad Surya, yang kini anggota Dewan Perwakilan Daerah, mengharapkan ada telaah mendalam atas ketidaklulusan mata pelajaran Bahasa Indonesia.
“Kalau ketidaklulusan hanya di beberapa sekolah, kemungkinan sekolahnya yang kurang dalam pengajaran. Namun, karena bersifat massal dan nasional, tentu bukan sekolahnya yang salah, karena sekolah biasanya mengajar sesuai dengan kurikulum. Jadi, masalahnya kemungkinan besar pada pembuatan soal,” katanya.
Dia memperkirakan, materi soal yang terlalu sulit mengakibatkan siswa tidak mampu menjawab. “Akibat sulitnya soal, tidak ada kesinambungan antara soal dan jawaban,” ucapnya.
“Biasanya dalam membuat soal ujian harus dibuat terstruktur, seimbang, dan mudah ditelaah oleh siswa,” tambahnya. Surya tidak sependapat bila ketidaklulusan ini dihubungkan dengan rendahnya minat siswa untuk belajar bahasa Indonesia.
Sedangkan Direktur Lembaga Pendidikan Teknos, Bagia Mulyadi menilai, anjloknya nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, merupakan cerminan rendahnya minat siswa mempelajari bahasa nasional ini. Peserta didik lebih ditekankan untuk belajar Bahasa Inggris dan Matematika.
“Warga negara Indonesia merasa tidak perlu belajar bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah ilmu, dalam soal-soal UN, Bahasa Indonesia menguji tingkat analisa sintesa yang cukup mendalam, yang dibuat oleh para pakar sehingga anak-anak tidak menangkap maksudnya. Akibatnya, mereka salah menginterpretasikan,” paparnya.
Menurut dia, kenyataan ini menunjukkan para guru tidak berhasil mengajar bahasa Indonesia. “Ke depan, Kemdiknas dan tenaga pengajar harus menekankan pelajaran Bahasa Indonesia sebagai ilmu bahasa. Menyejajarkan pelajaran Bahasa Indonesia dengan pelajaran lainnya,” tandas Mulyadi.
Menyangkut soal UN, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdiknas Mansyur Ramly menjelaskan, seluruh soal UN dibuat oleh para guru dan sesuai dengan kurikulum pendidikan nasional. “Ada standar isi, sebelum ujian kami sudah berikan ke semua sekolah namanya standar kompetensi kelulusan. Itu mengukur kemampuan dari mata pelajaran yang diujikan,” tuturnya.
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia dalam siaran persnya menyatakan, menolak UN sebagai satu-satunya standar kelulusan mulai 2011. Sebab, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang menghendaki otonomi, tidak sinkron dengan UN sebagai sistem evaluasi berbasis nasional.
“UN ibarat tiang gantungan yang menahan laju pendidikan nasional. Bagaimana mungkin mengedepankan otonomi ketika sistem evaluasinya tetap berbasis nasional. Jadi, pemerintah wajib mengevaluasi kebijakan UN,” kata Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia Fiqi Akhmad, seusai bertemu Mendiknas Muhammad Nuh di Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu.
Kontroversi seputar UN sebagai sistem evaluasi pendidikan berbasis nasional, tuturnya, belum menemukan simpul penyelesaian. Serangkaian tes kelulusan selain UN yang mengatasnamakan otonomi sekolah, seperti ujian akhir sekolah, uji kompetensi, tes akhlak dan sebagainya, sama saja tidak berguna ketika siswa tidak lulus UN.
Sementara itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan kekecewaannya menyusul kelulusan UN di daerahnya yang anjlok.
Dia mengaku, peringkat ketidaklulusan siswa di daerahnya yang paling tinggi se-Jawa, membuatnya prihatin. “Terus terang saya betul-betul kecewa, tetapi mau bagaimana lagi? Sekarang yang penting semua pihak harus mengevaluasi sistem pengajaran,” ucapnya.
Sultan pun mengagendakan memanggil seluruh kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten dan kota untuk membahas berbagai persoalan dalam pelaksanaan UN. Menurut dia, selain harus mengevaluasi, persoalan yang paling penting adalah membantu para siswa yang tidak lulus UN. “Sekarang yang penting bagaimana menolong anak-anak yang dinyatakan tidak lulus itu. Jangan sampai mereka jatuh mentalnya dan justru kembali tidak lulus pada ujian ulangan,” ucapnya. [M-15/N-6/152/D-11]
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 29 April 2010
No comments:
Post a Comment