Thursday, April 15, 2010

[Sosok] Mardi, Inspirasi Industri Kreatif Desa

-- Mohamad Burhanudin

BEKERJA di bidang seni sejatinya menjadi cita-cita Mardi Rahayu sejak kecil. Namun, setelah menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, Mardi menjalani beragam profesi yang jauh dari keinginannya.

Namun, keteguhan hati membawa Mardi menemukan jalan kembali ke cita-citanya. Bahkan dengan seni kreatif, dia telah menginspirasi banyak pemuda di desanya.

Melalui galeri seninya di Desa Jeruklegi, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Mardi berkarya membuat aneka macam kerajinan bernuansa etnik dari tanah liat sejak tahun 1997. Kini produk-produk kerajinan etnik Mardi bukan hanya dipasarkan di Cilacap, melainkan juga ke mancanegara. Hasil kerajinan etniknya melanglang ke Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Eropa.

Namun, dari semua capaiannya itu, yang paling membuat dia bahagia adalah dapat menularkan ilmunya kepada ratusan siswa dan memberdayakan pemuda-pemuda desanya dengan kegiatan kreatif.

Ada 30 pemuda di galerinya yang setiap hari belajar membuat aneka macam kerajinan bernuansa etnik, mulai dari patung asmat, asbak, mug, pigura, guci, aneka macam suvenir pernikahan, dan tempat pensil.

”Para pemuda ini bukan hanya bekerja, melainkan juga saya arahkan untuk belajar. Nanti, apabila sudah mempunyai cukup modal dan keterampilan, mereka bisa berdiri sendiri,” ujar Mardi.

Beberapa bekas anak didik Mardi kini telah mampu berdikari. Mereka membuat aneka macam kerajinan di rumah masing-masing. ”Bagi saya, meskipun kini mempunyai usaha yang sama dengan saya, mereka bukan saingan, melainkan mitra. Saya bahagia kalau mereka sukses. Ini dunia kreatif. Kreativitas itu makin indah kalau banyak orang yang dapat menikmatinya,” ujarnya.

Tak mengherankan jika sejak 10 tahun terakhir Desa Jeruklegi dikenal sebagai desa seni. Banyak perajin kecil yang mengikuti jejak Mardi. Mereka bekerja dengan sistem plasma. Industri kreatif pun sekarang mampu menghidupi sebagian masyarakat Jeruklegi yang semula hanya dikenal sebagai desa pertanian.

Pemuda Pelopor

Berkat usahanya, pada tahun 2000 Mardi dianugerahi penghargaan Pemuda Pelopor Penggerak Industri Pedesaan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Beberapa kali Mardi dan anak didiknya juga memenangi lomba membuat suvenir etnik tingkat provinsi hingga nasional.

Di kalangan perajin etnik di Bali, nama Mardi pun tak asing. Hal ini karena sebagian besar produknya dialirkan ke sejumlah galeri seni di Pulau Dewata tersebut sebelum dibeli oleh pembeli dari luar negeri.

Mardi juga didapuk oleh sekolah-sekolah di Cilacap mengajari para siswa melukis. Dia menjadi guru tamu di sekolah-sekolah. ”Saya membantu mereka tentang cara membuat tempat pensil lalu melukisnya agar menarik. Membuat patung dan hiasan-hiasan beserta lukisannya juga saya ajarkan. Ternyata, dengan materi seperti itu, minat siswa justru tinggi daripada sekadar belajar menggambar,” katanya.

Melukis dalam pandangan Mardi bukan semata belajar teknik, melainkan juga minat. Dia menggali potensi dan minat para siswanya dalam menggambar suatu obyek. Lalu, minat itu disalurkan pada obyek yang nyata dalam keseharian dengan mendorong kreativitas setiap siswa.

Selain melukis dan membuat patung, Mardi juga mengajari para siswa membatik. Hebatnya, semua kegiatan mengajar itu dilakukan tanpa bayaran. ”Mengajar mereka seni saja sudah menjadi kepuasan bagi saya,” katanya.

Jalan panjang

Jalan panjang harus ditempuh Mardi sebelum menemukan jalan hidup seperti sekarang. Selepas lulus dari Jurusan Seni Rupa IKIP Negeri Yogyakarta tahun 1992, dia merantau ke Lampung. Di sana, Mardi menjadi guru seni rupa di sejumlah sekolah swasta. Kurun waktu dua tahun dia menjalani profesi sebagai guru tidak tetap dengan gaji pas-pasan.

Berhasrat untuk memperbaiki kondisi ekonominya, pada tahun 1994 dia hijrah ke Jakarta. Di Ibu Kota, dia menjalani berbagai profesi, mulai dari tukang sablon, karyawan percetakan, hingga perusahaan desain.

Setahun kemudian, dia kembali ke kampung halamannya di Jeruklegi, Cilacap. Setelah setahun menjadi guru swasta, Mardi mulai membuka usaha kecil-kecilan. ”Waktu itu, menjadi guru serasa kurang tantangan. Saya lalu membuat usaha reklame. Reklame, kan, ada unsur seninya. Berarti sama dengan cita-cita dan hobi saya. Namun, mendekati tahun 1997 pesanan sepi karena menjelang krisis,” katanya.

Pada pertengahan 1997, Mardi beralih membuat kreasi dari tanah liat. Dia membuat beragam kerajinan seperti patung, asbak, keramik, dan mug. ”Dalam pikiran saya waktu itu, bagaimana agar barang-barang itu bernilai etnik. Lalu, saya mendesain patung dengan nuansa khas Asmat dan melukisi semua barang tersebut. Selain memberikan nuansa etnik, saya juga dapat menuangkan hobi melukis,” katanya.

Awalnya, usaha Mardi itu dianggap aneh oleh warga sekitarnya. Mardi juga kesulitan menjual produknya ke pasar-pasar di Cilacap karena dianggap tidak umum. Kondisi tersebut dia jalani selama hampir setahun.

Namun, dia tak putus asa. Dengan tabungan yang semakin tipis, dia nekat jalan-jalan ke Yogyakarta dan Bali. Di dua tempat itu Mardi memperkenalkan produk buatannya.

Sejumlah galeri dan toko seni berminat memajang karya Mardi, terutama patung Asmat. Sebulan kemudian, barang-barang titipan Mardi habis dibeli turis-turis mancanegara. Bukan hanya itu, permintaan dari luar negeri juga mulai berdatangan, seperti dari AS, Australia, dan negara-negara Eropa.

Pada saat bersamaan, krisis moneter terjadi. Nilai tukar rupiah yang semula Rp 2.500 melonjak menjadi Rp 12.000 per dollar AS. Tak kurang dari 7.000 hingga 10.000 buah aneka macam kerajinan etnik dari tanah liat dapat diekspornya dalam sebulan. Keuntungan berlipat pun dia peroleh. ”Sejak saat itu saya dapat memperbesar galeri saya dan menambah tenaga kerja menjadi sekitar 40 orang,” kata Mardi.

Para tetangga Mardi, yang semula memandang sebelah mata, kini berbalik ingin mengikuti jejaknya. Banyak pemuda di sekitarnya yang belajar cara membuat kerajinan etnik dan melukis. Dengan senang hati Mardi menuntunnya.

Yang membuat dia semakin senang, makin banyak pemuda di desanya yang mau belajar membuat karya seni dan melukis kepadanya. ”Sekarang banyak pemuda di sini yang mahir membuat patung,” katanya.


***

MARDI RAHAYU

• Lahir: Cilacap, 14 Mei 1967
• Pendidikan: Jurusan Seni Rupa IKIP Negeri Yogyakarta
• Istri: Yuni Fatmawati (32 tahun)
• Anak: Tirto Nugroho (2 tahun)
• Penghargaan:
- Pemuda Pelopor Penggerak Industri Pedesaan Tingkat Jawa Tengah (2000)
- Juara I lomba suvenir tingkat nasional di Pontianak (2000)


Sumber: Kompas, Kamis, 15 April 2010

No comments: