DATANGLAH ke Bandung. Maka Anda sebenarnya tidaklah berada dalam sebuah kota, melainkan berada dalam sebuah labirin. Labirin yang sesak dan dikonstruk oleh berbagai kepentingan komersial. Kota dan seluruh ruang di dalamnya dibangun bukan lagi untuk kepentingan publik, melainkan demi melayani hasrat-hasrat kuasa para pemilik modal. Lihatlah, berbagai penunjuk jalan pun muncul dan memberi informasi ihwal lokasi komersial, mulai dari mal hingga factory outlet sehingga seluruhnya seolah telah menjadi bagian utuh dari tubuh kota. Inilah kisah kota dalam labirin konsumerisme. Kota yang tubuhnya dipenuhi oleh kekerasan simbolis.
Inilah "Kisah Kota yang Luka", karya instalasi yang dipresentasikan Jejen Jaleni dan Valerie Putti K. dalam projek akhir para siswa Lateral School di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), 14 April 2010. Karya berada di ruang sayap kiri GIM, terbuat dari material kardus yang dilapisi koran, dengan dimensi 8x5x2 meter. Pada beberapa sudut labirin terpasang papan penunjuk jalan dengan warna dan model huruf yang banyak kita temukan di Kota Bandung. Papan penunjuk yang terbuat dari material styrofoam ini digantung nyaris mengepung setiap sudut labirin.
Papan penunjuk jalan itu mencantumkan berbagai kawasan di Bandung, sekaligus juga penunjuk arah untuk menuju suatu mal atau pusat perbelanjaan. Bahkan bisa dikatakan papan penunjuk arah ini yang menjadi pusat dari gagasan karya instalasi tersebut. Labirin kota yang sesak dengan berbagai teks media (koran), menjadi kisah sebuah kota yang seluruh geraknya diwarnai oleh ruang-ruang komersial. Mal, factory outlet, dan berbagai pusat perbelanjaan di Bandung yang banyak dicantumkan dalam penunjuk jalan, menjelaskan bagaimana tubuh sebuah kota telah menjadi milik berbagai kepentingan pemilik modal.
Maka kota pun bukan lagi menjadi milik warga atau publik. Berbagai ruang komersial yang selalu ada dalam penunjuk jalan menyimpan pengertian bahwa ruang-ruang komersial tersebut lebih dari sekadar ruang geografis, sebagaimana kota itu sendiri. Ia adalah ruang di mana terjadi berbagai pertempuran kepentingan. Dan itu selalu dimenangkan oleh kepentingan konsumerisme ketimbang kepentingan publik.
Memasuki instalasi labirin karya Jejen Jaelani dan Valerie Putti K. ini adalah bertemu dengan kepungan dan kelokan yang menyesakkan. Karya instalasi labirin ini tampaknya hadir untuk lebih dari sekadar menjadi replika fisik Kota Bandung. Melainkan mencoba merekam fenomena kehidupan urban dengan budaya konsumerisme yang menjadi panglimanya. Di hadapan keinginan hasrat konsumerisme inilah kisah kota dikontruksi oleh berbagai kebijakan. Dan ironisnya, seluruhnya berlangsung seakan-akan sebagai suatu kelaziman demi kebutuhan melayani modernitas.
Lepas dari keinginan untuk memperkarakan bagaimana Jejen Jalelani dan Valerie Putti K. mengolah unsur kebentukan, karya instalasi ini lagi-lagi lebih inginmendedahkan dirinya pada fenomena aktual yang tengah berlangsung, bersama konsep penyikapan dan pemikiran yang membayang di belakangnya.
Keduanya menuturkan bahwa kota dalam masyarakat modern merupakan representasi dari penguasaan sebuah wacana yang menjadi penguasa. Disadari betapa siapapun yang memenangkan wacana dalam suatu masyarakat, maka dengan wacana itulah ia akan menjadi penguasa. Penguasa yang memiliki otoritas untuk mengontrol dan membentuk cara berpikir masyarakat tersebut.
Penguasaan wacana dalam ranah linguistik bisa dilihat dalam penunjuk jalan sebagai bentuk penguasaan simbolis. Menurut keduanya, kuasa simbolik dalam penunjuk jalan dengan berbagai nama tempat komersial semacam itu dilakukan dengan mekanisme yang sangat halus. "Ia menjadi semacam kejahatan terselubung yang tidak disadari masyarakat," tulis Jejen dan Valerie.
Untuk hal ini keduanya meminjam teori sosiolog Prancis Bourdieu, yakni ihwal kekerasan simbolis (symbolic violence). Dalam teori itu mengemuka pemikiran kritis bahwa terdapat bentuk tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bahasa. Kekerasan simbolis merupakan kekerasan dalam bentuknya yang halus dan lembut. Kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, malah sebaliknya menjadi sebuah kompromi karena telah mendapat legitimasi yang juga terjadi secara terselubung dan halus.
Jejen dan Valeri mengamati bahwa penunjuk jalan dengan pencantuman nama-nama tempat komersial tersebut tidaklah terjadi dengan sendirinya. Ia merupakan implikasi dari pembangunan kota yang massif, sekaligus juga menjelaskan tabiat dari visi politik pembangunan pemerintah.
"Kian banyaknya penunjuk jalan tempat-tempat komersial menunjukkan bahwa kota yang selama ini dilakukan mengarah pada pembangunan fasilitas-fasilitas komersial. Hal ini mengimplikasikan betapa pembangunan kota tempat kita tinggal disetir oleh kekuatan-kekuatan kapitalis. Akan tetapi, masyarakat menganggap tempat-tempat semacam itu sebagai hal yang sangat biasa, bahkan tanpa disadari menjadikannya sebagai bagian dari hidupnya" tulis keduanya lagi. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010
No comments:
Post a Comment