-- Putu Fajar Arcana
Koreografer Tom Ibnur mengingatkan tentang kesenian ronggeng yang (pernah) hidup di tanah Melayu. Dalam fragmen yang menarik, ia menggambarkan kehidupan para ronggeng yang senantiasa berada di bawah kekuasaan para tauke: untuk sekadar menari bersama pasangannya harus minta ”izin”.
Tari Zapin dibawakan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta, dalam Panggung Melayu Serantau, Jumat (9/4). Seni pertunjukan melayu tersebut menampilkan enam tarian, balas pntun, dendang, dan alunan musik. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Fragmen kehidupan para ronggeng di pedesaan Pulau Sumatera itu menjadi penutup pementasan Panggung Melayu Serantau, 9-10 April 2010 di Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pentas ini didahului workshop tentang kebudayaan Melayu yang diselenggarakan Fakultas Seni Pertunjukan IKJ, 22-27 Februari 2010. Workshop yang melibatkan Tom Ibnur sebagai koreografer dan kelompok musik gambus pimpinan M Yusuf tak kurang melibatkan 90 mahasiswa, anggota sanggar, serta guru-guru tari di sekitar Jakarta.
Dalam pentas berdurasi hampir 1,5 jam itu, Tom memang tidak menampilkan wajah Melayu sebagai entitas kebudayaan yang utuh. Beberapa koreografi, baik karyanya sendiri maupun karya koreografer Sauti, ditempatkan sebagai semacam cuplikan terhadap entitas kultural Melayu. Ia ibarat sekapur sirih, yang menjadi kebiasaan orang-orang Melayu ketika menyambut tamu-tamu mereka.
”Dulu tamu tak pernah curiga terhadap apa yang disajikan tuan rumah. Sekarang mengapa harus curiga diracun?” kata Tom, yang malam itu berperan ganda: selain koreografer, ia juga menari dan menjadi narator.
Di atas pentas kemudian terjadi perayaan untuk mengingat kembali identitas kultural yang mengonstruksi national state bernama Indonesia. Apalagi ketika Tom menyuguhkan koreografi karyanya berjudul ”Tari Sembah Makan Sirih”. Tampak makin nyata di situlah termaktub semacam etika Melayu (Indonesia) dalam tata cara penyambutan tamu yang ”bersaudara”.
”Tari ini simbol rasa hormat pada tamu. Nilai hormat ini yang nyaris hilang sekarang, orang selalu curiga terhadap tamu,” kata pengajar IKJ kelahiran Padang, Sumatera Barat.
Koreografi yang diciptakan Tom sekitar tahun 1987 itu kini ibarat tarian ”wajib” yang selalu ditarikan oleh para pemuda dan pemudi Melayu saat menyambut tamu resmi pemerintah.
Karya Sauti
Pementasan dua karya koreografer Sauti, ”Tari Mak Inang Pulau Kampai” dan ”Serampang Dua Belas”, semakin memperjelas upaya workshop dan pentas Panggung Melayu Serantau itu sebagai jalan Tom Ibnur melacak nilai-nilai Melayu dalam wadah kebudayaan nasional.
Serampang Dua Belas, kata Tom, diciptakan Sauti sekitar tahun 1950-an atas permintaan Presiden RI Soekarno. Permintaan itu, dalam interpretasi Tom, tidak sekadar selesai dengan membuat koreografi, tetapi lebih dari itu, pada tahun-tahun tersebut Indonesia membutuhkan legitimasi tak hanya dari sisi hukum dan politik. Legitimasi kebudayaan jauh lebih berarti bagi negara yang baru terbentuk. Soalnya, di dalam kata ”Indonesia” waktu itu, sama sekali belum ditemukan unsur-unsur yang memiliki landasan kultural kuat.
Itulah, makanya, tambah Tom, pada masa Orde Baru dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), di mana kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Meski tidak mengamini terhadap klaim GBHN itu, Tom melihat tetap saja yang memberi warna terhadap kebudayaan nasional adalah kebudayaan-kebudayaan yang didukung oleh beragam etnis di Indonesia.
Barangkali itu pulalah soalnya mengapa Tom ”keras kepala” mendalami seni zapin, sampai akhirnya ia membuat komposisi tari berjudul ”Zapin Dana Bedana”. Tarian ini mencoba merunut sejarah zapin, yang berasal dari Yaman, sampai akhirnya berkembang dalam berbagai versi di Indonesia. Meski begitu, di tanah Melayu seperti Jambi dan Riau, zapin mengalami ”naturalisasi” sehingga seolah-olah menjadi milik kebudayaan setempat.
”Zapin juga milik Melayu,” ujar Tom sebelum berkelebat menari. Penari yang juga mengajar di Singapura dan Malaysia, ini kemudian memeragakan gerakan-gerakan rancak bersama seorang penari lain di atas selembar karpet. ”Kita tidak boleh melewati gelaran karpet itu. Itulah inti zapin,” kata Tom.
Belakangan nasib kebudayaan Melayu memang tidak setragis para ronggeng yang harus minta izin tauke untuk sekadar menari, tetapi ia tidak lagi dihayati sebagai satu kebudayaan yang turut serta mengonstruksi ”kebudayaan Indonesia”. Melayu tak lebih dari komunitas etnis yang hidup dalam satu gugusan pulau yang monokulturalistik. Ia seolah dikembalikan ke pangkuan puak Melayu dan oleh karena itu merekalah yang paling bertanggung jawab terhadap hidup-matinya.
Workshop yang dilakukan IKJ dengan Tom sebagai penebar api Melayunya mungkin bukan hal besar. Namun, setidaknya aktivitas ini menggugah sebagian orang untuk mengingat kembali peran Melayu dalam pembentukan dan pertumbuhan bangsa Indonesia.
Sumber: Kompas, Minggu, 18 April 2010
No comments:
Post a Comment