Sunday, April 11, 2010

Berfilsafat Itu Berteka- teki

-- St Sularto

TEPAT yang disampaikan pengajar filsafat di Unika Atma Jaya Jakarta, Aloys Agus Nugroho, saat peluncuran buku. Filsafat adalah solusi teka-teki. Teka-teki dalam bahasa populer adalah kegiatan mengisi waktu senggang. Berfilsafat adalah pekerjaan mengisi waktu senggang. Kata pepatah Latin, orang berfilsafat setelah perut kenyang.

Pepatah klasik itu diruntuhkan saat kita membaca 13 artikel, yang semua penulisnya berlatar belakang ilmu filsafat ini. Dipersembahkan dalam rangka ulang tahun ahli filsafat Sastrapratedja, teolog Mardiatmadja dan Sarjumunarso, artikel-artikel itu sarat dengan ungkapan berlatar belakang ilmu filsafat.

Berfilsafat bukanlah pekerjaan mengisi waktu senggang atau menjaga agar tidak cepat pikun. Berfilsafat adalah pekerjaan normal para ilmuwan filsafat, analog dengan yang dilakukan ilmuwan ilmu-ilmu positif lain, tentu dengan ranah lebih spekulatif karena filsafat membuat banyak pengandaian, persis seperti mengisi teka-teki silang.

Artikel-artikel ini merupakan hasil riset penulis yang berpijak pada manusia dan dunianya, meskipun memakai dimensi ilmu positif sebagai pintu masuk. Misteri manusia menjadi batu sendi sekaligus batu penjuru. Cara kerja dan hasilnya mirip dengan riset ilmu positif. Filsafat pun tidak lagi payung atau ancilla theologiae (abdi teologi), juga bukan ancilla scientiae (abdi ilmu pengetahuan), tetapi sahabat ilmu-ilmu positif.

Hasil riset filsafat atas dimensi kemanusiaan tersebut menawarkan antara lain ajakan tentang makna kehidupan ekonomis. Dari sisi itu ada simbiose mutualistik, saling memperkaya. Bahkan seperti pernah dikatakan ahli filsafat lainnya, Soerjanto Poespowardojo, ilmuwan positif memperoleh penguatan dan penajaman berkat ilmu filsafat, terutama dalam hal memberikan penjelasan.

Lewat spesialisasi penulisnya, yang erat dengan dunia pemikiran spekulatif, semua artikel ini memenuhi pernyataan Soerjanto Poespowardojo. Para ilmuwan positif niscaya memperoleh sumbangan mempertajam keilmuan positif mereka, termasuk bidang teologi. Konteks ini khususnya terlihat dalam tulisan Matius Ali (Manusia Menurut Buddhisme dan Hinduisme, hal 83-100)— bahwa benarlah hidup itu memang latihan untuk mati. Bersiaplah agar hidup dengan lebih baik karena dengan itu kematian disambut dengan sukacita.

Hasrat selalu bertanya

Dimulai dengan pengantar editor, ke-13 artikel itu mempertajam dasar paling dasar ilmu filsafat, yakni hasrat manusia untuk selalu bertanya. Karena pertanyaan-pertanyaan itu sudah dirintis dan dikembangkan mendalam oleh deretan filsuf-filsuf besar dunia, tidak terhindari pemikiran mereka menjadi referensi yang memperkaya dan mempertajam analisis.

Relevansi dengan dunia kini, menyangkut hak-hak politik sebagai warga negara, disinggung dan menjadi titik berangkat artikel Franz Magnis-Suseno. Ia merujuk ke gagasan Herbert Marcuse yang menawarkan pemikiran tentang ruang seni sebagai paradigma masyarakat baru yang berorientasi pada indeks prestasi, di mana eksistensi manusia dihargai karena prestasi kerjanya (hal 23-40).

Dalam seni, tidak dimungkinkan penjajahan ukuran-ukuran indeks prestasi karena yang dibangun adalah prinsip-prinsip etis yang justru menjadi faktor positif, yakni—menurut rumusan Magnis—”pekerjaan menjadi kegiatan yang menyenangkan, dilakukan dengan rileks dan bersemangat, mirip orang main-main”.

Dalam konteks itu, tepat kategorisasi artikel yang dilakukan editor. Tulisan Magnis-Suseno berjudul Nafsu dan Roh. Utopi Masyarakat Baru Herbert Marcuse menjadi artikel pertama penjelasan manusia dan kemanusiaan, dan ditutup dengan upaya manusia menjawab teka-teki tentang alam dunianya (Teka-teki Nokturnal-Karlina Supelli, hal 261-293).

Karlina menyebut apa yang terjadi adalah sebuah teka-teki nokturnal, membahas gejala dan realitas peristiwa alam dengan titik berangkat penjelajahan manusia. Manusia menjadi misteri yang harus dikenali dan diuraikan. Di antara ”pembuka” dan ”penutup” itulah penjelajahan misteri manusia dengan segala dimensinya diterangkan.

Misteri manusia

Membaca buku ini kita dihadapkan pada uraian tentang manusia dan kemanusiaan, tentang misteri manusia. Mengutip pertanyaan Plato tentang dualisme tubuh dan jiwa, bahwa jiwa lebih tinggi dari tubuh, sementara tubuh adalah instrumen yang melekat pada jiwa. Dalam rentangan dualisme itulah muncul dorongan untuk terus hidup yang kemudian diwujudkan dalam politik dan ekonomi.

Ketakutan untuk mati mendorong manusia untuk mempertahankan hidup, yang kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran tentang ekonomi kapitalis seperti diuraikan B Herry Priyono (hal 223-260). Memahami teka-teki manusia yang bergulat untuk terus hidup, bergulat dengan dualisme tubuh dan jiwa, tidak bisa meninggalkan faktor alam semesta.

Bagi para peminat pengisi teka-teki silang, membaca buku ini akan memperoleh pencerahan tentang memahami manusia. Bahwa manusia tetaplah teka-teki yang tak pernah habis ditelaah. Semakin kita memperoleh telaah tentang manusia dan kemanusiaan, semakin memiliki kepekaan tentang masalah humaniora.

Membaca buku ini tidak perlu berkerut kening, walau penguraiannya padat dan selalu mengandaikan pengetahuan sebelumnya. Pendapat dan uraian disampaikan gamblang, dan cocok dengan maksud buku, yakni serius tetapi ringan, persis seperti mengisi teka-teki silang dengan obyek manusia.

Sumber: Kompas, Minggu, 11 April 2010

No comments: