Sunday, April 11, 2010

[Buku] Perempuan yang Mematahkan Nasib

Judul buku: Menebus Impian
Penulis: Abidah El Khalieqy
Penerbit: Qalbiymedia (Q-Med), Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: viii+ 304 halaman

MANUSIA memerlukan impian. Yaitu, imajinasi tentang masa depan. Mengapa? Sebab, impian adalah ruang bagi hadir dan berbiaknya benih harapan. Makin lebar dan luas ruang impian, makin mudah bagi seseorang membiakkan harapannya dan makin mudah baginya untuk menjelajahi masa depan. Imajinasi masa depan dapat menjadi tampak lebih nyata dan tidak samar-samar lagi. Dengan demikian, ini bisa menjadi rujukan manusia dalam melangkahkan hidupnya.

Dalam sebuah kisah sukses, tokoh sekaliber Mas Agung, ketika menjadi pedagang kecil, di rumahnya dia sudah menyimpan maket toko besar. Maket toko besar yang menjadi wujud impiannya itu tiap hari dia tatap mantap-mantap dan dia yakin-yakinkan kepada dirinya bahwa suatu hari akan menjadi kenyataan. Betul, dia mampu mewujudkan impiannya dan mampu membiakkan harapannya menjadi sesuatu yang secara nyata dapat dia rasakan sebagai sukses hidup itu.

Bayangkan jika manusia tidak memiliki atau tidak mampu membangun impiannya. Dia akan terperangkap, bahkan terpenjara dalam kenyataan sehari-hari. Dia akan mirip binatang yang terperosok ke dalam perigi atau sumur dalam. Dia tidak mampu lagi melihat luasnya cakrawala dan langit pun hanya tampak sepotong lingkaran yang sempit. Selama-lamanya, sampai akhir hayat akan tetap berada di situ. Mata rantai nasib buruk pun menjeratnya sampai di ujung waktu. Mata rantai nasib buruk yang merupakan wujud negatif dari imajinasi kenyataan hari ini bisa menjangkau ke masa depan yang gelap manakala dibiarkan berkuasa dan menindas manusia tanpa ampun.

Salah satu energi dahsyat yang luar biasa, yang tersembunyi di balik hadirnya impian adalah kemampuannya untuk memutus dan mematahkan mata rantai nasib buruk itu. Ini dapat dilihat dari kisah Nur, tokoh dalam novel yang diadaptasi dari sebuah film dengan judul yang sama ini. Nur punya ibu bernama Sekar yang pernah punya suami bernama Prakosa yang kerjaannya menyakiti perempuan sampai akhirnya bercerai. Lalu, Sekar punya ibu bernama Murni dan ayah bernama Susilo.

Kakek Nur suatu hari meninggal tertimpa reruntuhan tanah ketika menggali bahan gerabah di desanya. Nenek Nur bekerja di sebuah pabrik keramik dan ditindas oleh juragannya. Ibu Nur, Sekar, kemudian mengajak anak semata wayangnya tersebut ke kota.

Mata rantai nasib buruk yang tergelar sejak kakek dan neneknya itu pasti akan terus membelenggu Nur selama hidup jika dia hanya pasrah. Pasrah menjadi anak seorang perempuan tukang cuci belaka. Tetapi, Nur tidak demikian. Dia membangun impian. Ibunya juga membimbing agar impian itu tidak rapuh dihajar oleh kemalangan demi kemalangan. Termasuk, ketika suatu hari ibu Nur sakit parah, terkena kanker getah bening sehingga harus dioperasi.

Nur yang sedang senang-senangnya kuliah terpaksa cuti kuliah. Untuk membiayai operasi ibunya, Nur terpaksa berutang kepada Pak Roni, lintah darat yang ternyata merangkap lelaki begundal. Suatu hari Pak Roni nyaris memperkosa Nur. Selain itu, Nur terpaksa menggadaikan kalung pemberian neneknya untuk membiayai operasi ibunya.

Semua seperti buntu. Nur mencoba mencari kerja. Dia pernah terkecoh temannya. Dia dicarikan kerja di tempat hiburan. Untung, dia selalu dapat membela kehormatan dirinya. Karena tidak tahan, dia keluar dari tempat hiburan itu. Akibatnya, Nur kembali berhadapan dengan masalah yang makin membuat hidup terasa makin pahit. Uang untuk kuliah belum tersedia, utang belum terlunasi. Untung, setelah sembuh, ibu Nur bisa melanjutkan kerja dengan membuka kembali jasa laundry di kampung.

Di kampung tempat tinggal Nur, terdapat terminal nasib, di mana banyak orang terdampar di situ ketika malam. Yaitu, sebuah kedai minum bernama Kedai Madrim. Di tempat itu, hadir bermacam-macam manusia. Para pecundang nasib yang biasa menggantang asap alias bermimpi, tetapi mimpi yang tidak produktif karena hanya menghasilkan bualan demi bualan kosong belaka.

Tetapi, di tempat itu pula ada manusia yang memilih menjadi pemenang kehidupan karena dia berani membangun impian yang produktif. Impian yang membangkitkan semangat untuk bekerja keras. Salah satu di antaranya adalah lelaki muda bernama Dian.

Nur berkenalan dengan Dian. Lewat pertengkaran dan salah paham yang lumayan beriku-liku, mereka kian dekat. Apalagi, Dianlah yang pernah menolong Nur ketika ibunya sakit dan dioperasi. Lelaki tersebut meminjami uang dan Nur menyerahkan kalung pemberian neneknya untuk jaminan.

Ibu Nur, ketika kecil pernah punya impian membangun istana untuk kehidupannya. Nur tahu itu. Dia punya cita-cita luhur untuk membahagiakan ibunya. Dengan membangun impian, hidup sukses lewat kerja keras. Tetapi, memang tidak mudah mewujudkan impian semacam itu.

Di sinilah kelebihan novel ini. Detik demi detik, proses demi proses, dan penderitaan demi penderitaan sebagai bagian tak terpisahkan untuk menebus impian itu diracik lewat adegan demi adegan yang menegangkan. Muncul begitu banyak bumbu jenaka di sana-sini. Abidah mampu menghadirkan novel gaul ini pas dengan bahasa dan plesetan anak muda zaman sekarang.

Hidup memang serius, impian memang serius, dan harapan bukan masalah sepele. Tetapi, untuk memasuki hidup, menebus mimpi, dan mewujudkan harapan, caranya tidak perlu dengan full speed atau full stress. Ibarat menyetir mobil, agar tujuan tercapai, pengemudi harus piawai memainkan gas, rem, dan setir itu sendiri. Sekali-sekali membunyikan klakson dan mendengarkan lagu Koes Plus atau lagu campur sari penyedap kuping.

Nur pun hadir dalam suasana yang seperti itu. Inilah yang justru kemudian mendewasakan dirinya. Pengalaman demi pengalaman hidup yang mendebarkan, mencemaskan, bermain silih berganti dengan pengalaman manis. Selain itu, banyak tanjakan duka menghadang jalan hidupnya. Sebagai perempuan, dia ditempa oleh semua itu. Tanpa sadar, dia mampu membangun jiwanya, membangun pribadinya menjadi perempuan kokoh.

Lantas, di mana Nur menemukan sumber energi untuk mematahkan mata rantai nasib buruk itu? Doa ibu, jelas. Harapan nenek yang muncul dalam simbol kalung juga jelas. Bacaan tentang surat-surat Kartini, nah ini yang penting. Ia mampu memompa semangat Nur karena dia suka membaca buku. Termasuk, surat-surat Kartini yang dia rasakan inspiratif. Juga cinta. Benarkah? Benarkah dia kemudian mampu menjalin hubungan cinta dengan Dian, lalu keduanya bersama-sama melaju ke perahu sukses sampai ke balik cakrawala nasib? (*)

Mustofa W. Hasyim, penyair tinggal di Jogjakarta

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 11 April 2010

No comments: